mengapa gratis kalau bisa bayar armin bell

Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?

Pertanyaan mengapa bayar kalau bisa gratis adalah pertanyaan paling sering didengar dalam percakapan kita. Kok bisa?


Pernahkah bertanya terbalik: mengapa gratis kalau bisa bayar?

Ketika menulis catatan ini, saya teringat akan term populer di zaman masih kuliah. Biasanya dipakai untuk mengejek, mengolok-olok, bercanda dengan teman yang hobi gratisan: orang yang romantis. Yang romanti adalah predikat yang akan disandangkan pada mahasiswa dengan tipe seperti itu. Pernah dengar soal romantis, kan? Bukan romantis dalam pengertian suasana yang indah bersama orang-orang terkasih. Bukan! Tapi romantis yang adalah akronim dari rokok makan gratis. Sindiran. Untuk teman atau siapa pun yang senang dengan apa saja yang gratis.

Ada juga candaan yang kerap didengar di kalangan perokok: modal paru-paru. Itu untuk mereka yang senang merokok tetapi tidak senang membelinya sendiri–bahkan korek api saja minta, bahkan terima kasih juga tidak. Pernah begitu? Ya, begitulah. Kita (untuk tidak menyebut nama seseorang, eh?) suka yang gratis-gratis ta?

Tapi, apa sebenarnya gratis?

Boleh jadi gratis adalah salah satu dari sekian banyak kata dalam bahasa Indonesia yang berakar pada bahasa Latin. Dia bersumber pada kata gratiae yang berarti berkat (gracias dalam bahasa Spanyol yang berarti terima kasih). Artinya, boleh jadi juga, gratis berarti berkat; gratis berarti terima kasih . Berdasarkan dua arti tersebut, maka saya memaksa diri membuat pengertian berikut: Gratis adalah berkat yang kau terima dan harus kau syukuri dengan mengucapkan berterima kasih.

Seberapa benar pengertian gratis yang saya buat bukanlah persoalan yang paling penting. Soal kita adalah seberapa besar kemampuan kita bersyukur dan berterima kasih atas anugerah yang kita terima secara “tanpa mengeluarkan biaya”. Sebelum menjawab itu, saya ingin berdebat dulu dengan mereka-mereka yang bilang “tidak ada yang gratis zaman sekarang”. Selain karena sekarang ini masih banyak orang-orang romantis, juga karena sebenarnya masih banyak hal yang kau bisa nikmati ‘tanpa harus mengeluarkan biaya/rupiah’.

Mau contoh? Paling hebat adalah sesuatu yang bisa kau nikmati tanpa biaya, tetapi membuatmu hidup dan boleh meminta rokok di temanmu yang sebenarnya kesal sebab kau hanya membawa paru-paru sebagai modalmu. Dia adalah oksigen yang kau hirup sekarang ini, jadi napasmu, dan membuat kau ada. Kau tidak harus mengeluarkan rupiah untuk bernapas bukan?

Yang perlu kau lakukan adalah memperhatikan keseimbangan lingkungan agar kau bisa terus bernapas dan kau bisa memulainya dengan hal-hal yang sederhana; seperti buang sampah pada tempatnya. Tetapi seberapa sering kita melakukannya? Bukan bernapas tapi buang sampah pada tempatnya.

Baca juga: HIV/AIDS Terlampau Dekat

Mau contoh lain? Setiap hari kau bisa menikmati sesuatu yang indah dengan ‘tanpa mengeluarkan rupiah’. Misalnya, buat para lelaki: menyaksikan perempuan seksi, cantik, dan menyenangkan berjalan di depanmu. Kehadirannya bisa membuat kau nyaman atau malah menginspirasimu melakukan hal-hal yang positif. Tetapi seberapa sering kau mensyukuri hal seperti itu tanpa disertai dengan kata-kata, “Cantik sih, tetapi kan kentutnya bau.”

Ayolah….. mengapa harus berpikir tentang bau kentutnya jika kau sebenarnya bisa memandang kecantikannya gratis tanpa bonus kentut? Heran! O iya, contoh ini berlaku untuk jenis kelamin sebaliknya. Ya, itulah debat saya untuk pandangan tidak ada yang gratis di zaman sekarang ini. Sampai di sini, bisa ditangkap?

Kembali pada kemampuan bersyukur atau berterima kasih. Seberapa sering kita bersyukur atas napas dan alam? Sedikit sekali mungkin, dan tidak sebanding dengan kemampuan kita merusak. Maka jangan pernah terkejut. ketika suatu saat apa yang kau nikmati gratis saat ini tetapi tidak kau syukuri malah berbalik menyerangmu. Napas diambil, alam memberi bencana, dan perempuan cantik yang kau lecehkan dengan mengungkit-ungkit persoalan bau kentutnya tiba-tiba menamparmu. Tadi itu terlalu kencang suaramu saat bilang “Cantik sih, tapi kan kentutnya bau…” Dia dengar itu, tersinggung dan menampar. Hari yang aneh bukan?

Hal seperti itu mungkin tak akan pernah terjadi jika kau menikmatinya dalam diam dan bersyukur dalam hati “Terima kasih Tuhan, aku masih bisa melihat perempuan cantik hari ini.” Kau toh tak harus mengeluarkan rupiah untuk itu.

Dan, itulah gratis: “Berkat yang kau terima hari ini dan harus kau syukuri. Amin” Jadi, mengapa gratis kalau bisa bayar?

.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Ps: Orang yang bilang ‘cantik sih tapi kan kentutnya bau’ adalah orang yang tidak berani berbuat sesuatu untuk sesuatu yang dikaguminya. Saya agak takut bilang ‘pengecut’. Kan tir sopan to.

8 Comments