Pergilah ke Sanur dan Mulai Menulis

Mei 2015 saya berkesempatan mengikuti sebuah kegiatan menarik di Bali. Namanya Workshop Cerpen Kompas. Beberapa cerpen yang saya kirim dinyatakan lolos seleksi dan saya boleh hadir di tempat itu menjadi peserta. Sa senang! 

pergilah ke sanur dan mulai menulis
OrangKita yang ikut Workshop Cerpen Kompas di Bali 

Pergilah ke Sanur dan Mulai Menulis

(Sebuah catatan perjalanan mengikuti Workshop Cerpen Kompas 2015 di Bali) 
Di pantai Sanur saya melihat seorang perempuan bermain di laut. Sendiri dia. Asyik dengan dunianya sendiri. Tiba-tiba saja di langit kudengar angin Bali mendendangkan lagu Kunto Aji: “Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asyik sendiri.” Saya larut dalam suasana, entah apa entah berapa lama. 
Saya bahkan tak tahu perempuan itu siapa dan apakah dia telah lama bermain-main dengan laut di bibir pantai. Mungkin dia baru saja ada di sana beberapa menit sebelum saya. Saya datang dari Ruteng dan berjalan-jalan di Sanur pada sebuah siang yang terik.

Tidak sendiri karena di sepanjang pantai tampak puluhan orang dengan baju yang sama: 50 tahun Kompas, 1965 – 2015. Kami adalah peserta Workshop Cerpen Kompas yang siang itu melakukan observasi di pantai Sanur sebagai bahan menulis cerpen. 

Tentang mengapa saya menjadi peserta kegiatan hebat tersebut akan saya ceritakan secara singkat dalam paragraf ini. Di dinding facebook seorang kawan, saya melihat pengumuman peluang menjadi peserta Workshop Cerpen Kompas di Bali.

Baca juga: Koalisi Politis untuk Mereka Sendiri

Syaratnya adalah bersedia mengirim dua cerpen untuk diseleksi. Saya mengirim “Hujan Satu Oktober” dan “Lelaki yang Bangkit dari Mati”. Diterima! Kemudian saya tahu bahwa ada 108 calon peserta dari 26 kota yang mengirim karya dan 40 orang yang dinyatakan lolos. 

Soal muncul ketika dalam surat pemberitahuan, panitia mengingatkan bahwa mereka hanya bertanggungjawab menyediakan ‘tempat’ dalam workshop tersebut sedangkan biaya perjalanan menjadi tanggung jawab peserta. Ruteng ke Bali itu mahal, Om. Dari mana saya dapat biaya? Saya harus ikut karena merasa belajar dari penulis hebat itu penting bagi orang yang ngaku-ngaku penulis seperti saya. Tetapi bagaimana? 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Lalu saya ingat bahwa dalam beberapa perjalanan belajar seperti ini, saya selalu berjumpa dengan orang-orang baik yang mau menjadi ‘sponsor’: RD Max Regus (Belanda), Ka Watty Rahman dan RD Beben Gaguk (Jakarta) serta istri saya bersedia ‘gotong royong’. 
Berangkatlah saya. Ruteng – Labuan Bajo – Bali dalam sehari. 21 Mei 2015 pukul 17.00 Wita tiba di Bali. Bertemu Saddam HP dan Michael Roger–dua frater dari Kupang–dan Thoni seorang mahasiswa dari Surabaya di Bandara Ngurah Rai. Pak Putu menghantar kami ke Bentara Budaya Bali, tempat panitia menyiapkan kamar bagi kami.

BACA JUGA
Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak

Gratis ini kali. Hati kami senang sekali. Tra la la tri li li, kami sekarang di Bali, siap mendengar Budi Darma dan Gde Aryantha Soethama yang peduli. D*mn, saya suka sekali rima ini *smile

Begitulah. Sebelum ke Sanur untuk observasi, pada pagi hari kami mendengar dua cerpenis yang cerpen-cerpennya sering masuk dalam buku Kumpulan Cerpen Kompas menyampaikan hal-hal penting dalam penulisan cerpen.

Profesor Budi Darma bercerita tentang bagaimana cerpen sebaiknya langsung menghujam dan tidak bertele-tele. Ini tentu saja berhubungan dengan ketersediaan kolom pada koran termasuk koran Kompas yang paling banyak hanya menyiapkan ruang untuk 10.000 karakter termasuk spasi. 

Beberapa contoh disampaikan penulis novel “Olenka” ini, seperti cerpen Soeman HS “Air yang Berlaga” (saya baru tahu bahwa Pak Soeman adalah pelopor cerpen Indonesia), dan cerpen Edgar Allan Poe yang kelam: “The Cask of Amontillado”
Pemateri lainnya, Gde Aryantha Soethama mengajak kami berkelana. Ya, kelana. Penulis ini mengingatkan pentingnya ‘perjalanan‘ dalam mengumpulkan bahan untuk menulis. 
Penulis yang baik adalah penulis yang kerap berkelana. Bukan fisik semata tetapi juga khayal. Mampu memadukan keduanya dengan baik akan menghasilkan tulisan yang baik. Begitu kira-kira yang saya tangkap dari penulis buku kumpulan cerpen “Mandi Api” ini.
Sedangkan Mbak Myrna Ratna (orang penting di koran Kompas edisi Minggu) bercerita tentang perjalanan cerpen di koran Kompas. Sampai pada bentuknya saat ini, koran Kompas telah berkelana sejak dulu kala dengan banyak kali berubah wajah. Kita semua adalah sebenar-benarnya pengelana. 
Berkelanalah kami siang itu berbekal perintah: “Pergilah ke Sanur!” Di dalam bis, saya duduk sebangku dengan Maria Pankratia (dari Ende, tinggal di Bali) dan dekat dengan tempat duduk dua orang frater tadi, Afryantho Keyn (dari Flores Timur) dan Agus Thuru (dari Aimere, tinggal di Bali dan menjadi peserta tertua dalam kegiatan ini; hormat untuk beliau). Astagaaa, saya ternyata tidak bisa jauh-jauh dari “rakat“. Ah, sudahlah. 
Saya juga berkenalan dengan peserta lainnya, tetapi berkumpul bersama orang-orang dari tempat ‘datang’ yang sama menjadi menyenangkan dan penting karena kami juga akhirnya dapat berbagi mimpi dan rencana mengembangkan budaya literasi di NTT. Cie cieee, penting ka
Tibalah kami di Sanur. Observasi dimulai dan harus segera selesai jam 15.00 Wita. Berarti sekitar 50 menit ke depan. Di pantai ini, saya melihat seorang perempuan bermain di laut. Berambut pirang, dengan betis yang ramping. Dari luar negeri, entah Eropa atau Amerika tak sempat saya tanyakan. Mengapa penting ketika dengan melihatnya saya berkelana pada ritual-ritual perempuan dan air? Ha ha ha. Sa lebay. Tak ada ritual sedemikian. Saya ciptakan saja sendiri. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Kami kembali ke Bentara Budaya Bali dan mulai menulis. Berbekal perempuan tadi, saya menulis cerpen berjudul “Sepuluh Genggam Pasir”. Menurut Gde Aryantha Soethama selain menulis, proses penyuntingan adalah tahapan yang sangat penting untuk menghasilkan sebuah karya yang baik; penyuntingan adalah sesungguhnya bagian yang layak disebut sebagai proses penciptaan, maka tidak saya ceritakan di sini tentang apa cerpen itu karena sedang disunting. 
Yang pasti, ketika draf cerpen itu dibaca pada akhir kegiatan workshop, beberapa tanggapan positif saya dengar; ya dari sesama peserta, ya dari pemateri. Atau hanya saya yang kegeeran? Tetapi bahwa ketika mengikuti workshop tersebut saya bisa menulis sebuah cerpen di ujung hari, adalah sebuah prestasi besar buat saya. Maka saya senang. Saya kabarkan ke Celestin, dia senang. 
Keesokan harinya, di terminal Ngurah Rai, saya kabarkan juga kepada para sponsor bahwa kegiatan kami telah selesai dan saya berterima kasih penuh atas dukungan beliau-beliau. Lalu saya terbang. Ke Labuan Bajo.

BACA JUGA
Menjadi Orang-orang Kecil, Renungan RD Lian Angkur

Di udara, saya ingat cerpen Ayu Utami: “Terbang”. Hari-hari ini, dalam setiap perjalanan udara, bayangan tentang pesawat yang tidak sampai ke bandara tujuan selalu mengganggu. 

Baca juga: Ketika Badai Berlalu

Tetapi saya tidak sendiri. Ada Dia; yang sepenuhnya tahu apa yang baik untuk saya. Demikianlah Dia membuat hidup saya baik dan berjumpa orang-orang baik. “Upstairs”: It’s not you/ It’s Him// Terima kasih kepada semua yang mendukung keikutsertaan saya pada kegiatan ini. Terima kasih 1000. Saya sudah di Ruteng, berkumpul bersama keluarga dan mulai menulis lagi.

Salam

Armin Bell

Ruteng, Flores

Pembaharuan:
Cerpen “Sepuluh Genggam Pasir” yang ditulis saat workshop telah dimuat dalam kumpulan cerpen “Perjalanan Mencari Ayam” dengan judul “Ibu dan Perempuan yang Menangis di Sanur”.
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Sa yakin pak armin pya cerpen suatu waktu (atau sdh ada kah?) terpilih sebagai cerpen pilihan kompas yg kemudian dibukukan… salute!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *