Kita dan Dewan Juri yang Selalu Salah Memberi Nilai

Menerima pekerjaan sebagai dewan juri di sebuah lomba, mau tidak mau mempertimbangkan sangat banyak hal. Demikian pula seorang pembawa acara. Tetapi mereka bisa saja salah.

kita dan dewan juri yang selalu salah memberi nilai
Tutup Telinga | Dok. RanaLino.ID

Kita dan Dewan Juri yang Selalu Salah Memberi Nilai

Ada dua soal utama pada sebuah akhir lomba. Pertama, apakah penilaian juri ‘telah sesuai’ dengan keinginan para suporter, dan kedua, apakah pembawa acara telah membaca hasil keputusan juri dengan jujur.

Saya pernah mengalami keduanya.

Saya beberapa kali menjadi juri, beberapa kali menjadi peserta lomba, dan beberapa marah-marah pada hasil yang saya anggap salah. Rentang beberapa kali itu membuat saya perlahan menjadi paham tentang beberapa mekanisme lomba.

Pada lomba yang masa penilaiannya panjang, hasil akhir adalah total keseluruhan penilaian dalam masa lomba digelar; tidak lagi semata penampilan pada partai puncak. Hal ‘selera’ juri juga tentu saja menjadi dasar, tetapi demi menghindari subyektivitas yang terlampau besar, biasanya para juri dibekali oleh apa yang kerap kita dengar sebagai kriteria penilaian.

Kriteria dimaksud terdiri dari minimal empat poin utama dengan sub-sub titik penilaian yang cukup banyak. Untuk ‘penampilan’ misalnya, ada sub-sub seperti model, pilihan warna, kepantasan, kesesuaian, dan lain-lain. Ada yang bahkan memasukkan sub penilaian makna filosofis dan unsur budaya dalam poin itu.

Maka menjadi juri tentu bukan pekerjaan yang mudah. Barangkali itu adalah alasan mengapa kadang kita mendengar pembelaan yang berbunyi: “Juri juga manusia. Bisa salah.” Semua lalu menjadi lebih mudah menerima hasil ‘kesalahan itu’ meski gerutuan tidak lekas selesai. Tetapi apakah itu berarti bahwa penonton selalu benar? Rasanya tidak.

Baca juga: Membaca, Aktivitas Mendulang dan Mendalang

Tugas memberi penilaian adalah milik dewan juri. Penonton tentu saja boleh menilai, tetapi keputusan tetap ada di tangan juri dan poin pertama dalam pengumuman juri adalah “keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat.” Di poin terakhir ada kalimat berbunyi, “Apabila terdapat kekeliruan pada keputusan ini, akan dilakukan perbaikan seperlunya.” Itu paling sakti sudah. Tir ada yang bisa lawan.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kalau kita mengutuk pengelola karena ‘selera’ dewan juri yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang kita pikirkan, siapa yang subyektif sekarang? Apakah kita telah adil ketika menilai bahwa juri tidak adil padahal kita ‘agak kurang info’ tentang mekanisme lomba dan dasar penilaian?

Saya pernah menjadi pembawa acara dalam beberapa lomba.

Untuk meningkatkan ‘drama’ di puncak kegiatan, seorang pembawa acara biasanya memberi jeda antara ‘dan pemenangnya adalah…’ dengan ‘nama pemenang’. Pada masa jeda itu, ada minimal empat kesulitan yang muncul:

  • Memperhatikan apakah penonton benar-benar ‘tegang’;
  • Melihat apakah daftar pemenang telah ditulis dengan jelas;
  • Mempertimbangkan sendiri apakah pilihan dewan juri sesuai dengan prediksi pribadi pembaca acara (dan biasanya ini masalah);
  • Menghitung apakah masa jeda telah cukup, terlalu panjang, atau harus ditambah lagi.

Empat kesulitan itu ada dalam satu waktu, di satu panggung, dengan lampu sorot yang membuat silau dan pandangan rindu para kontestan dan penonton yang bikin kita, ah, begitulah…

Setelah memastikan bahwa semua kesulitan itu diatasi dengan tepat, pembawa acara lalu mengumumkan. Dan… taraaaa…

Steve Harvey mengumumkan bahwa Miss Kolombia Ariadna Gutierrez adalah pemenang Miss Universe 2015, dan itu salah. Yang sesungguhnya menang adalah kontestan asal Filipina Pia Alonzo Wurtzbach. Fail of the Decade, kata para warganet tentang salah pengumuman nama pemenang yang dilakukan oleh Steve pada tahun 2015 silam itu.

Choky Sitohang mengalami hal yang mirip. Pada ajang pemilihan Putri Indonesia tahun 2017, Choky salah umumkan nama pemenang. Amplop yang dipegang Choky Sitohang tiba-tiba berubah, seiring dengan permintaan maaf Choky tentang kesalahan pengumuman pemenang itu. What a shame! Tetapi apa sesungguhnya yang terjadi adalah soal yang tak akan pernah dijelaskan.

Demikianlah kita lalu bersatu-padu dalam diskusi yang tidak selesai, menghujat, membela, mencaci-maki, memaafkan dan lain-lain.

Dua situasi itu adalah yang paling dikenang.

Steve Harvey dan Choky Sitohang harus rela menjadi perbincangan dalam setiap perlombaan di waktu-waktu mendatang sebagai contoh yang buruk dalam mengumumkan sebuah perlombaan. 

Sebagai orang yang beberapa kali ngemsi, saya berharap situasi serupa tidak saya alami; tidak peduli apakah saya atau panitia atau dewan juri yang salah.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Penonton selalu punya kesimpulannya sendiri dan selalu merasa benar. Itu sudah! Maka saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan usulan.

Barangkali sebaiknya ada moratorium terhadap semua jenis lomba di negeri ini. Lomba baru boleh dilaksanakan lagi ketika semua sudah benar-benar mengerti bahwa setiap lomba berhubungan dengan banyak hal; kriteria penilaian, selera dewan juri, politik, sosiologi, distribusi, sampai yang paling penting adalah stabilitas nasional. Juga sampai kita sepakat bahwa kekeliruan adalah hal yang harus diterima dan pelaku kekeliruan akan menerima setiap konsekuensi karenanya.

Baca juga: Setahun Petra Book Club: 12 Buku Kami Baca

Steve Harvey bilang, “”Saya akan bertanggung jawab atas ini. Ini adalah salah saya. Kesalahan yang mengerikan. Ini salah saya.” Seharusnya sudah cukup. Tetapi tidak bagi warganet. Caci-maki dilontarkan, tidak hanya pada Steve tetapi pada panitia, pada dewan juri, dan lain-lain. Beberapa serangan verbal bahkan menyerempet wilayah ras. Bahaya!

Choky Sitohang mungkin tidak akan muncul lagi pada ajang putri-putrian di tahun-tahun selanjutnya. Juga para dewan juri yang keliru. Semoga itu cukup.

Tentang lomba, tentu saja kita bisa berpendapat bahwa semua dewan juri saja. Bisa jadi itu karena:

  1. Mereka diminta menjuri dengan dasar yang sama; 
  2. Selera kita tidak berubah; 
  3. Kita terlampau berharap dunia ini adil untuk kita sendiri.

Apakah kita sudah berusaha obyektif?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores