saya media massa dan foto tanpa caption blogger ruteng

Saya, Media Massa, dan Foto Tanpa Caption

Ketika menulis tentang media massa dan foto tanpa caption, ada banyak hal yang harus saya sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab (dan bukan sentimen) pribadi.


Tanggal 17 April 2016 pukul 23.03 Wita, saya membaca berita di floresa(dot)co dan mendapati bahwa foto yang tahun 2012 silam saya pakai untuk website katedral ruteng hasil jepretan teman saya Frans Joseph a.k.a. Kaka Ited yang juga menjadi relawan pengurus website paroki tersebut dipakai tanpa keterangan sumber foto (baik nama fotografernya atau nama website asal).

Pukul 23.03 Wita, saya lalu membuat status di Facebook: “Halo floresa, ini foto Bapa Uskup koq tidak pake keterangan sumber foto? Ini fotonya Frans Joseph​ saat Yubileum. Dipublikasikan pertama di katedralruteng[dot]com. Yuks, belajar saling menghargai :-D”

Sekitar setengah jam setelahnya, caption foto di berita ini langsung diubah, dari yang sebelumnya hanya “Mgr. Hubertus Leteng, Pr” menjadi “Mgr. Hubertus Leteng, Pr (foto:katedralruteng.com)”. Saya juga mendapat pemberitahuan dari teman-teman bahwa telah ada permintaan maaf melalui facebook fanpage Floresa. Dengan demikian, maka ‘situasi’ ini telah selesai.

Saya berterima kasih atas ‘tanggap cepat’ redaksi Floresa dan berharap kita semua yang bergerak di bidang ini sama-sama saling menjaga. Tentu saja tujuan terbesar kita adalah kredibilitas media yang berujung pada kualitas masyarakat pembaca. Oke… mungkin terlalu besar cita-cita saya, tetapi saya menikmatinya hihihihi.

Saya, Media Massa, dan Foto Tanpa Caption

Saya sendiri bukan tanpa soal. Saya pernah seperti ‘membajak’ foto seorang teman untuk berita yang saya buat. Beberapa kali malah. Yang pertama adalah foto ‘Yesus Disesah’ karya Donnie Dnezco yang saya ‘minta pakai’ untuk dikirim bersama berita Jalan Salib Hidup OMK Larantuka di Ruteng tahun 2011 silam.

BACA JUGA
Sebuah Telepon Pintar, Kumatikan

Saat itu saya tidak menjepret sehingga tidak punya stok foto sendiri sedangkan saya berniat mengirim berita ke Majalah Hidup. Karenanya saya meminta hasil karya Donnie Dnezco dan sertakan keterangan bahwa foto yang saya pakai adalah foto milik Donnie Dnezco. Ini kalimat di badan email yang itu: …dikirim khusus untuk majalah Hidup karena segmentasi pembaca yang saya pikir sesuai dengan materi tulisan ini (saya sertakan foto adegan aktus dengan ijin fotografer Donnie Dnezco).

Berita itu lalu dimuat, lengkap dengan fotonya. Yang kemudian menjadi soal adalah di keterangan foto tertulis nama saya: Armin Bell. Saya kaget dan menunjukkan bukti terbit kepada Donnie Dnezco lengkap dengan permintaan maaf bahwa sama sekali tak ada niat membajak fotonya. Dnezco bilang tidak masalah, toh sebelumnya saya telah meminta izin menggunakan foto tersebut. Saya membeli rokok sebungkus dan memberi dia sebatang sebagai konsekuensi honor yang saya terima dari berita itu.

Baca juga: Jurnalistik Dasar: Media Massa 2

Beberapa waktu kemudian, hal serupa terjadi. Kali ini foto Gie N. Bonur yang jadi korban. Persis. Saya bikin berita, minta foto pendukung di Egi yang waktu itu menjadi Tim Puspas Ruteng, dikirim ke Majalah Hidup, dimuat, foto ‘berubah’ menjadi milik saya. Saya bertemu Egi beberapa hari kemudian dan meminta maaf. Ketika itu tanpa rokok dan sepertinya masalah itu juga selesai. Lalu ada juga foto milik Novent Erlan pada berita saya tentang Pentas Seni Seminari Kisol di Ruteng.

Untuk semua itu, setiap bertemu pemilik foto saya selalu bercerita bahwa tidak pernah ada intensi mengklaim hasil karya mereka. Juga tidak bermaksud membuat karya mereka menjadi foto tanpa caption atau mengganti nama mereka dengan nama saya dengan sengaja.

BACA JUGA
Berhentilah Mengadili Judul, Tambah Jumlah Bacaan Anda

Tentang mengapa hal seperti itu terjadi, saya menduga bahwa redaktur (1) merasa kesulitan kalau harus menulis dua keterangan untuk satu berita–nama penulis artikel dan nama fotografer; (2) beranggapan bahwa urusan hak guna foto yang dikirim bersama berita telah ‘selesai’ antara yang menulis berita dengan fotografer.

Yang tidak selesai adalah karena Majalah Hidup itu juga hadir dalam bentuk printed mass media yang salah satu karakternya adalah terdokumentasikan. Sehingga sekali tertulis tetap tertulis. Maka foto keren karya teman-teman tadi akan selamanya menjadi (seolah-olah) karya saya.

Bagaimana mengatasinya? Saya jelas sulit meminta Majalah Hidup mencetak ulang edisi dimaksud. Sebagai jalan keluar pribadi, foto yang saya kirim ke hidup itu (baik persis maupun karena berasal dari event yang sama), saya siarkan dalam bentuk lain lengkap dengan keterangan foto sebenar-benarnya.

Foto Donnie Dnezco misalnya saya siarkan ulang di Kompasiana, tetapi karena perubahan kebijakan di blog keroyokan itu, foto-foto tersebut hilang. Di website Katedral Ruteng foto Gie N. Bonur saya siarkan kali ini lengkap dengan nama pemilik foto. Juga foto Novent Erlan.

Mengapa saya repot-repot melakukan ini? Sebab saya sungguh percaya bahwa menjadi fotografer itu tidak mudah. Selain peralatan, yang mereka kejar dengan kesungguhan adalah momen, sudut pengambilan, dan lain-lain, yang hanya dapat dilakukan dengan jiwa yang baik. Maka fotografer itu orang baik dan sudah sepantasnya diperlakukan dengan sangat baik.

Cara Menghargai Karya Fotografi

Ya, itu tadi. Sertakan nama mereka pada setiap publikasi kita. Kaka Ited, seorang fotografer terbaik yang Ruteng miliki selalu bilang ke saya: “Pakai saja, Min. Tidak apa-apa. Kalau bisa jangan lupa sumber foto.” Begitu. Fotografi itu kerja kreatif, sama seperti menjadi wartawan, atau bloger dari Ruteng – Manggarai tidak jelas seperti saya ini. Kerja kreatif. Lha, kalau sesama pekerja kreatif tidak saling menghargai, trus kita bisa harap siapa?

BACA JUGA
Cukup Sudah Bagi-Bagi Buku Gratis, Maria!

Baca juga: Tarian Caci, Warisan Leluhur Manggarai

Dalam dunia jurnalistik sejak zaman baheula, foto adalah salah satu karya/produk jurnalistik. Sudah semestinya, seperti produk lain (berita langsung, ficer, berita investigasi, dan lain-lain) karya foto jurnalistik berhak atas kredit/pengakuan. Jangan tampilkan mereka sebagai foto tanpa caption di produk jurnalistik kita.

Mari jawab ini saja untuk memahami poin kedua ini: “Bagaimana rasanya ketika kita menulis puisi lalu tiba-tiba kita lihat puisi itu ada media massa dengan nama orang lain?” Kita akan menuntutnya sebagai bentuk pembajakan. Jangan kata puisi. Status Facebook kita yang pendek saja, kalau ditulis ulang oleh orang lain tanpa keterangan sumber, kadang membuat sebagian orang blingsatan.

Maka saling menghargai (dengan menampilkan keterangan foto yang benar) saja cukup. Selebihnya, kalau ketemu orang yang karyanya kita pinjam, tersenyumlah. Berterimakasih kalau sempat. Itu akan membuat semua kreator menjadi senang. Bahwa karya tersebut benar-benar dikenal sebagai karyanya.

19 April 2016

Salam dari Ruteng

Armin Bell

Foto: Dokumentasi pribadi.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *