catatan tentang teater di ntt problem dan problematisasi marcelus ungkang

Catatan tentang Teater di NTT (Bagian 2): Problem dan Problematisasi

Meski menyebut NTT, catatan tentang teater ini tentu saja mencakup konteks yang jauh lebih luas.


Pada catatan sebelumnya, Marcelus Ungkang menulis tentang rekonstruksi sebagai hal pertama yang pertama yang sebaiknya dilakukan dalam pengembangan teater di NTT. Di bagian kedua ini, pegiat teater di Ruteng Flores ini membahas problem dan problematisasi. Apa itu?

Catatan tentang Teater di NTT (Bagian 2): Problem dan Problematisasi

Oleh: Marcelus Ungkang

Pengantar

Pada tulisan kedua ini, saya mengajukan dua istilah berikut sebagai titik tolak berpikir: problem dan problematisasi. Dari kedua istilah itu, saya ingin bicara lebih banyak dalam kerangka problematisasi saja. Untuk problem, teman-teman dari berbagai tempat di NTT bisa bicara sendiri persoalan-persoalannya. Saya tidak sedang mewakili mereka. Saya bicara atas dasar proses saya sebagai salah seorang pegiat teater dengan harapan teman-teman lain juga membagikan proses dan pengalaman mereka.

Adapun hal yang akan diproblematisasikan terkait ekosistem teater yang telah disinggung pada tulisan terdahulu: Catatan tentang Teater di NTT (Bagian 1): Rekonstruksi. Dengan demikian, topik pembicaraan ini menyasar komponen-komponen ekosistem teater: pelaku teater, penciptaan, produk teater, audiens, dan pengelolaan pengetahuan. Penjelasan soal dua istilah ini akan disampaikan dalam bentuk tanya-jawab.

Apa problem penciptaan teater kita di NTT?

Ada banyak problem atau yang dapat diproblematisasikan. Dikatakan problem kalau suatu hal menghambat atau membatasi perkembangan teater. Jika meminjam istilah penelitian, problem diartikan sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Dikatakan dapat diproblematisasikan kalau suatu hal sebenarnya bukan atau belum menjadi masalah, tetapi dapat dipermasalahkan atau diperlakukan sebagai masalah. Sebagai catatan, problematisasi tidak sama dengan “cari-cari masalah”. Problematisasi itu pekerjaan terfokus, sedangkan “cari-cari masalah” itu karena kurang kerjaan saja.

Mengapa dua istilah ini dijadikan titik tolak?

Pada tulisan terdahulu sudah disinggung bahwa untuk mengembangkan teater di NTT kita tidak dapat hanya berpikir tentang membuat pentas saja, tetapi juga perlu mengembangkan ekosistemnya. Untuk itu, pengembangan ekosistem dapat dilakukan dengan fokus pada hal yang secara umum telah dikenali sebagai problem atau dengan cara problematisasi: mempersoalkan hal-hal yang dianggap mapan atau belum dikenali sebagai masalah. Lebih dari itu, problematisasi dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam proses penciptaan teater.

Bisa dijelaskan dengan cara lain soal problem dan problematisasikan dalam konteks penciptaan teater?

Bantuan visual berikut semoga bisa memberi gambaran perbedaan antara keduanya.

 
tentang teater di ntt problem dan problematisasi
Problem dan Problematisasi dalam Penciptaan Teater

Dari gambar di atas dapat kita ketahui bahwa dalam problem dimensi yang real dan yang ideal telah diketahui. Gap antara kedua hal itulah yang disebut sebagai masalah.

Berbeda dengan problem, pada bagian tentang problematisasi di atas, salah satu dimensinya secara kewacanaan dapat sengaja dipandang atau diperlakukan (seakan) tidak ada, ditangguhkan secara temporer atau bahkan permanen. Namun, dalam problematisasi bagian yang diberi tanda tanya itu tidak harus “yang ideal”, tetapi juga dapat “yang lain”.

Soal problematisasi teater ini akan lebih kaya kalau dibicarakan dalam konteks teori-teori estetika.

Misalnya, kalau mengikuti teori estetika Bourdieu kita menghadapkan garapan kita pada praktik-praktik seni yang sudah ada dalam sejarah seni teater. Atau kalau mengikuti estetika Zizèk, kita memformulasikan garapan teater kita dengan konsep yang real, simbolik, dan imajiner.

BACA JUGA
Memori Penderitaan dan Karya Sastra

Soal ini baiknya dibicarakan tersendiri.

Baca juga: Mengandung (di Luar) Sastra

Bisa berikan contoh secara umum di dunia teater Indonesia soal problematisasi dalam penciptaan?

Misalnya penggarapan “Rumah Sakit Jiwa” oleh Nano Riantiarno. Nano Riantiarno mulai dengan suatu cara pandang tentang kondisi masyarakat yang dilihatnya (yang real). Dalam pandangannya, situasi di masyarakat kita kok kaya rumah sakit jiwa saja. Pertanyaannya: saya ini pasien atau dokternya? Proses penciptaan kemudian bertolak dari wacana tersebut.

Ada contoh lain problematisasi lain, misalnya yang bertumpu pada benda atau gerak?

Kita bisa merujuk, misalnya, Kalanari Theatre Movement yang barusan pentas, 4 September 2018. Garapan mereka berjudul “(Un)Fitting” . Proses penciptaan mereka bermula ketika mereka membuka lemari pakaian dan menemukan kostum-kostum dari pertunjukkan selama enam tahun sebelumnnya. Kostum-kostum lama tersebut coba dilepaskan dari segala kisah, karakter, ide, dan sejarah pertunjukkan terdahulu yang pernah menghidupinya.

Kerja kreatifnya (baca: problematisasi) kemudian adalah mengkreasikan teks-teks baru dengan kostum-kostum yang ada. Kostum-kostum tersebut dihadapkan pada tubuh-tubuh baru dengan harapan akan diperoleh pemaknaan dan perlakuan atas kostum-kostum itu. Ada dua kemungkinan hasil dari percobaan itu: cocok (fitting) atau tidak cocok (unfitting)?

Apa yang sama dari kedua problematisasi di atas?

Ada yang sama. Sebaiknya teman-teman sendiri yang menemukan.

Kembali ke konteks kita. Apa saja yang dapat diproblematisasikan dari teater di NTT?

Kita mulai saja dari problem penciptaan teater yang terlalu bergantung pada bahasa verbal.

Mengapa itu perlu diproblematisasikan?

Karena, mengacu pada apa yang disampaikan Putu Wijaya soal menulis dan menyutradarai teater, tidak semua penulis naskah itu adalah sekaligus sutradara, penata artistik, dan aktor. Penulis naskah yang tidak memiliki sekaligus kecakapan sebagai sutradara, penata artistik, dan/atau aktor kadang kurang mengantisipasi bagaimana nantinya naskah itu akan dipentaskan secara teknis.

Sebagai contoh, seorang penulis naskah bisa saja menyusun rentetan adegan tanpa memperhitungkan apakah proses transisi antara set itu bisa dilakukan dengan cepat atau tidak. Tentu saja proses sebuah naskah teater tidak harus di-drive oleh hal-hal teknis. Namun, bisa jadi soal ketika dalam proses latihan dan penggarapan set tuntutan naskah tersebut tidak dapat dikerjakan, tetapi sang penulis naskah bersikukuh naskah tidak boleh diubah.

Contoh lain, karena penulis naskah bukan sutradara dan aktor, ada banyak sebenarnya perkataan atau dialog yang bisa dipangkas karena bisa dipadatkan dalam bentuk perbuatan/aksi. Karena ketergantungan pada bahasa verbal membuat terjadi redudansi di atas panggung. Misalnya, seorang tokoh berteriak mengancam tokoh lainnya sambil menunjuk-nunjuk dengan pentungan. Adegan itu bisa dipadatkan cukup dengan sang tokoh melihat ke pentungan di meja lalu berpaling melihat ke tokoh lain. Dengan konstruksi adegan yang demikian, unsur verbal macam kata-kata yang mengancam tidak diperlukan lagi.

Baca juga: Orang-Orang Muda Hebat di Kupang

BACA JUGA
Mengenal Dami N. Toda, Orang Manggarai di Pentas Sastra Indonesia

Apa kira-kira penyebab ketergantungan yang besar ke bahasa verbal?

Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih (dalam arti netral) antara istilah teater dengan drama. Dalam teater memang bisa ada drama dan dalam drama bisa ada teater. Kita bisa membedakannya dengan cara melihatnya dalam kerangka taksonomi. Drama itu genre sastra–dengan catatan khusus, sedangkan teater itu cabang seni tersendiri.

Sebagai genre sastra, sebagaimana juga puisi dan prosa fiksi, medium utama drama adalah bahasa verbal. Sementara dalam teater, bahasa verbal itu cuma salah satu pilihan bahasa dari banyak sekian banyak pilihan bahasa lainnya, misalnya bahasa tubuh, bahasa warna, bahasa musik, gerak, dan sebagainya. Bisa juga dalam teater itu konsep bahasa ditiadakan.

Apa dampak ketergantungan pada bahasa verbal dalam proses penciptaan teater?

Salah satu dampaknya, misalnya, adalah seni rupa yang kurang berkembang dalam teater. Tentu saja kurang berkembangnya seni rupa dalam teater tidak disebabkan oleh dominasi bahasa verbal semata; bisa karena kurangnya biaya, keterbatasan wawasan, SDM, atau mentalitas yang malas. Kita bisa melihat garapan artistik panggung teater di NTT, baik secara teknis maupun wacana, yang kurang berkembang.

Mengapa perlu menyinggung soal seni rupa dalam pembicaraan tentang teater?

Teater mendapat tempatnya tersendiri dalam kesenian karena karakteristiknya yang bisa mengakomodasi bidang-bidang seni lain ke dalam domainnya. Teater bisa mengakomodasi sastra, seni musik, seni rupa, tari, dan macam lainnya. Namun, sifat teater yang relatif cair itu juga bisa jadi soal juga dalam penggarapan teater.

Apa contohnya?

Misalnya, karena sifat cairnya, kita bisa memasukkan musik, tari, dan drama ke dalam suatu penggarapan teater. Namun, yang kita hasilkan justru kumpulan pentas atau pentas cabang-cabang seni yang kurang koheren. Tentu itu bisa saja bukan suatu masalah kalau desain pentasnya memang diniatkan melawan koherensi.

Baca juga: Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di Ruteng

Bicara soal audiens, ada pengalaman menarik atau yang dapat diproblematisasikan?

Beberapa tahun lalu saya masih menyaksikan pentas di Ruteng yang penontonnya berkomentar ke arah panggung. Saya kira itu adalah gambaran menarik pergeseran budaya mengenai peran dan posisi audiens dalam peristiwa menyaksikan teater sebagai seni. Dalam konteks tradisi, seni adalah milik kolektif. Dalam ritual adat sebagai teater, tidak ada batas antara pemain dan penonton sebagaimana pada teater modern umumnya. Audiens menjadi sekaligus pemain.

Bagaimana dengan audiens di NTT yang mengeluhkan pentas teater yang dianggap terlalu abstrak?

Saya kira istilah abstrak itu bisa diduga nama umum yang diberikan untuk hal-hal yang kurang familiar menurut ukuran cara berpikir atau pengalaman menonton audiens setempat. Jadi, itu bukan istilah khusus aliran seni, tapi semacam reaksi berbentuk penamaan atas hal “asing” yang dihadapi.

Namun kita perlu mencurigai bahwa ada ketidaksejalanan wacana antara pegiat teater dengan audiens atau belum terbentuknya link antara pegiat teater dengan penonton dalam ekosistem teater. Saya sendiri termasuk yang menghindari penggarapan teater yang meninggalkan audiens. Hal tersebut tidak dimaksudkan bahwa penggarapan suatu teater di-drive oleh audiens. Saya lebih menyebutnya dengan teater yang tumbuh bersama penonton. Artinya, janganlah menggarap pentas yang kelewat canggih secara wacana dan bentuk pentas sehingga akhirnya hanya dimengerti oleh segilintir orang atau terbatas pada sesama pegiat teater saja.

BACA JUGA
Analisis Cerpen Armin Bell - Nada-Nada yang Rebah

Ya, supaya juga tidak terjebak pada perasaan seakan-akan jadi korban terus. Padahal situnya sendiri yang memposisikan diri untuk tidak dimengerti. Ada juga yang justru merasa jadi istimewa atau eksklusif justru karena tidak dimengerti oleh audiens. Entah apa nama untuk gejala psikososial itu.

Jika ingin menggarap yang agak kurang familiar untuk penonton setempat, baiknya pentaskan itu di tempat yang audiens sesuai untuk itu atau diseminasikan juga pengetahuannya ke publik secara berkala. Desain forum-forum diskusi teater sebagai tempat sirkulasi dan produksi pengetahuan tentang teater. Itu bisa jadi semacam pengondisian lingkungan.

Ada contoh kelompok teater yang punya hubungan yang erat dengan para penontonnya?

Teater Koma, misalnya, adalah contoh bagaimana menjadikan penonton sebagai bagian dari ekosistem. Coba saja sebut berapa banyak kelompok teater di Indonesia yang punya penonton setia selama puluhan tahun.

Mengapa untuk konteks NTT perlu konsep bertumbuh bersama penonton?

Kita bisa misalkan sebuah teater yang direncanakan untuk mengkritik fenomena-fenomena sosial di NTT. Artinya, ada konsep fungsional yang hendak dikover oleh pentas tersebut. Namun, bisa karena konstruksi wacananya atau pilihan bentuknya, pentas itu jadinya malah “teater untuk teater”. Skemata atau pengetahuan latar yang dimiliki penonton kurang bisa memproses tontonan itu apalagi mengalami semacam pembaharuan pascamenonton.

Kok terkesan ada maksud implisif menggarap teater yang “mencerminkan” masyarakat NTT?

Tidak sesederhana itu maksudnya. Barangkali apa yang disampaikan Bodden dalam pengantar buku teater Afrizal Malna, Perjalanan Teater Kedua, perlu dijadikan rujukan. Dalam ungkapan Bodden (2010:xvi) “…pertunjukkan yang bisa dianggap sebagai ‘teks dari kehidupan’ dan bukan sebuah ‘pemeranan’ kehidupan.”

Sebagai “teks dari kehidupan”, kehidupan nyata bisa menjadi titik tolak kepada penciptaan dunia di atas panggung, tetapi bukan sekedar tiruan (pemeranan) atau “perpanjangan tangan” kehidupan yang dihadirkan ulang. Model demikian, biasanya kalau tidak cukup baik diolah, dengan mudah jatuh ke dalam klise. Teater hanya mereproduksi apa yang juga sudah diketahui oleh audiens.

Bicara soal peran media massa? Apa yang dapat diproblematisasikan?

Kalau kita perhatikan liputan tentang seni secara umum agak sulit dibedakan dengan liputan-liputan lain. Saya kira belum ada media di NTT yang menyiapkan jurnalis atau redakturnya secara khusus untuk liputan teater. Liputan seni sudah ada selama ini, cuma agaknya masih terbatas pada peran menginformasikan, belum maksimal mendiseminasikan dan memproduksi wacana pengetahuan tentang seni.

Namun bertumpu pada media massa konvensional untuk menginformasikan, mendiseminasikan, atau memproduksi pengetahuan teater juga sebenarnya cara berpikir yang kurang tepat secara zaman. Media sosial dan blog juga bisa dimanfaatkan untuk itu. (*)

Marcelus Ungkang bergiat di Teater Saja, Ruteng.

Baca juga catatan tentang teater di NTT sebelumnya, membahas soal rekonstruksi.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *