mengandung di luar sastra catatan marcelus ungkang

Mengandung (di Luar) Sastra

Mengandung (di luar) sastra membahas tentang batin sebagai rahim bagi anak rohani bernama puisi. Jika bukan batin, maka itu seperti hamil di luar kandungan.


Oleh: Marcelus Ungkang

Jika proses kreatif sastra diibaratkan bak reproduksi manusia, perkara mengandung dan melahirkan menjadi problem tersendiri di zaman yang serba lekas ini. Meski demikian, jika kita setuju dengan Pramoedya, perkara mengandung dalam sastra adalah soal melahirkan anak rohani, bukan soal tekstual-mekanistis semata.

Sebagai anak rohani, masa mengandung dan kematangan suatu karya sastra, menjadi relatif. Ahmad Tohari, misalnya, butuh waktu lima belas tahun menghasilkan Ronggeng Dukuh Paruk, Mangunwijaya harus menulis ulang novelnya setelah tujuh tahun mengerjakannya hanya karena penemuan metafora yang menurutnya paling pas menyampaikan gagasannya, yaitu burung Manyar.

Apakah menulis karya sastra harus demikian gawat dan lama? Tidak juga. Sapardi Djoko Damono “hanya” butuh lima menit untuk menulis sajak “Aku Ingin” – konon Sapardi mengaku berkeringat dan merasa lelah setelah sajak itu ditulis.

Proses kreatif, jika ingin mencari orientasi teoretis dari filsafat, adalah soal menjadi autentik. Jika Anda mengikuti Heidegger, menjadi autentik adalah momen ketika manusia mengambil jarak atas Ada dan mengajukan pertanyaan mendasar: mengapa saya Ada, ke mana gerak Ada saya, dan apa makna Ada saya. Namun, jika Anda adalah penggemar Dian Sastrowardoyo, tentu Anda bertanya Ada Apa dengan Cinta? (Makanya puisi Anda melulu soal cinta–gagal dan nelangsa pula).

Keautentikan diri membuat pembaca mudah mengenali bahwa, misalnya, teks ini karya Chairil, ini karya Rendra, ini Joko Pinurbo, ini Subagyo Sastrowardoyo, dan sebagainya. Singkatnya, menulis puisi, dalam perspektif filosofis di atas, adalah soal mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam rangka menjadi diri Anda: unik, terbedakan, suatu idiosinkresi.

BACA JUGA
SpongeBob dan Patrick Membuat Kita Tertawa Bodoh

Sayangnya, tidak semua orang punya cukup ketabahan mencari keautentikan diri. Pada masa kini, misalnya, sejauh yang saya ketahui, tak banyak penyair yang bicara tentang pencarian diri seperti sajak “Luka Sadap” karya Riki Dhamparan Putra ini: /Aku berjalan untuk melupakan cermin yang dulu mengambil/ ruhku di suatu malam yang tak kuingat tanggal harinya/ Cermin yang belum kupecahkan/ Tapi aku sudah menerima lukanya/.

Baca juga: Soal Pengarang NTT dari Perspektif Sejarah dan Sosiologi Sastra

Ada banyak interpretasi yang bisa dibuat dari larik di atas. Namun, jika diletakkan dalam kerangka orientasi luar-dalam proses kreatif, puisi adalah pencarian ke dalam. Dalam ungkapan Umbu Landu Paranggi (“Melodia”): /baiknya mengenali suara sendiri dalam mengarungi suara-suara lain di luar sana/.

Saya pikir itulah soal menjadi autentik: mengenali diri bersama orang lain. Jika “saran” Umbu ditambahkan dengan nasihat Yunani Klasik, kita dapat mengatakan “Kenali dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan”.

Demikian khawatir Umbu terhadap godaan “berlebih-lebihan” (baca: ketenaran) di atas sehingga pada malam hari ia mengambil kembali puisi-puisinya dari percetakan majalah Horison. Bagi yang belum tahu, pada masa tersebut, tahun 1970-an, Horison adalah majalah sastra paling berwibawa di Indonesia. Umbu mengambil kembali puisinya justru ketika orang berlomba tulisannya dimuat di Horison.

Selain Umbu, orang yang mengenal dunia kepenyairan di Bali bisa menyebut Frans Nadjira sebagai kiblat. Orang-orang yang pernah belajar dari pengalaman berguru puisi dari Frans Nadjira mungkin pernah mengalami didamprat. Penyair macam Frans Nadjira memang menolak proses kreatif sastra, terutama, dalam rangka “gaya-gayaan”.

Saya tak bisa bicara banyak soal Frans Nadjira. Toh, saya juga berbincang dengannya hanya dua kali dan hanya mengenal beberapa anak rohaninya (puisi).

BACA JUGA
Kritikus Bukan Haters, Jangan Pakai Dua Jawaban Ini

Baca juga: Di Ruteng Ada Klub Buku Petra

Untuk menulis puisi, Anda tak bisa mengkhayal saja. Ingatlah keinginan menjadi penyair beda banget dengan menjadi Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa sekali meniup lalu ada kehidupan. Sedangkan penyair, dengan batinnya, terus berusaha meniup berkali-kali ke dalam kerja proses penciptaan puisinya.

Jika puisi dipandang sebagai anak rohani, batin adalah rahimnya. Jika tak melibatkan batin, Anda perlu mencari rahim baru bagi puisi. Sebab tanpa batin, mungkin Anda sedang mengalami mengandung di luar sastra. Dalam dunia kedokteran, gejala serupa disebut hamil ektopik: hamil di luar kandungan.

Dalam proses kreatif, saya juga sedang berusaha mengatasi masalah hamil ektopik itu. Awalnya saya menulis hamil anggur yang pengertian klinisnya tidak sesuai dengan analogi yang ingin saya sampaikan. Pada kasus hamil anggur, kandungannya berkembang, tetapi janinnya tidak berkembang*; itu perkara lain lagi. (*)

6 Maret 2017

Marcelus Ungkang tinggal di Ruteng, dosen di Program Studi Bahasa Indonesia STKIP St. Paulus, Ruteng.
Menulis esai, puisi, prosa. Menulis dan menyutradarai pementasan teater dan film pendek bersama Teater Saja, Ruteng.

* Terima kasih kepada dr. Ronald Susilo untuk penjelasan tentang perbedaan antara hamil anggur dan hamil ektopik.

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *