Kita punya pesta demokrasi itu selalu asyik sebab berisi banyak sekali hal-hal menarik.
Banyak sekali daerah di negeri ini yang akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan pada tahun 2020 ini. 270 daerah melakukannya. Dengan perincian: pemilihan gubernur dan wakil gubernur sebanyak sembilan, pemilihan walikota dan wakil walikota terjadi di 37 kota, dan masyarakat di 224 kabupaten (diharapkan oleh kakak-kakak kita di Komisi Pemilihan Umum) akan berbondong-bondong penuh sukacita ke tempat pemungutan suara untuk memilih bupati dan wakil bupati kecintaan mereka.
Soal pesta demokrasi itu, meski istilah ini jadul sekali—diperkenalkan Pak Harto pada tahun 1982 (baca ceritanya di tautan ini) –tetap saja asyik dipakai sampai zaman ini. Sebab selain berbondong-bondong ke TPS pada tanggal 23 September 2020, sejak beberapa bulan sebelum itu, kemeriahan telah terjadi di kantong-kantong pemenangan a.k.a sekretariat para pasangan calon. Sampai larut malam, kadang seperti pesta-pesta nikah di Flores; tembus pagi, kaka!
Kesibukannya macam-macam. Ada tim yang serius mengutak-atik data-data statistik, data hasil utak-atik itu lalu diteruskan di tim khusus yang dipercaya mampu merancang strategi kampanye, rancangan itu di-breakdown menjadi rencana kerja kampanye, dan lain-lain. Tidak lupa pula—bahkan kelompok ini justru yang paling merayakan kemeriahan kesibukan itu—mereka yang datang dengan optimisme setinggi Gunung Ranaka, mengacungkan jempol setiap ada kesempatan bertemu langsung calon yang diusung, dengan kata-kata sakti: kita satu putaran, bapa!
Yang dipanggil ‘bapa’ tentu saja angguk-angguk dengan senyum yang bijak sambil berpikir: siapa ini orang bisa ada di sini?
“Mereka tim hore, Bapa,” kata saya dari kejauhan. Hadeeeh!
Baca juga: Public Speaking untuk Semua, Bukan Soal Bakat atau Usia
Oleh karena ini adalah pesta dan setiap pesta mestilah berkonsekuensi biaya, maka setiap pasangan calon harus “kuat-kuat modal”. Ungkapan itu, di NTT berarti: Siapkan uang yang banyak, Bapa!
Berapa Dana yang Harus Disiapkan oleh Paslon dalam Pesta Demokrasi Itu?
Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, pada bulan Desember 2019 silam mengungkapkan, pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pilkada. Beritanya ada di tautan ini–minimal 25 miliar sampai 30 miliar rupiah; itu untuk calon bupati/wakil bupati; yang mau maju di tingkat provinsi lebih tinggi lagi pasti.
Pak Mendagri juga berpendapat sama. Mungkin karena keduanya kerja di kantor yang sama. Eh? “Bupati kalau enggak punya 30 M, gak akan berani. Wali Kota dan Gubernur lebih tinggi lagi. Kalau dia bilang gak bayar, 0 persen, saya mau ketemu orangnya,” kata Pak Tito Karnavian di Senayan pada suatu hari di bulan November. Bisa cek di tautan ini. Lalu bagaimana?
Kita Bagaimana?
Yang saya maksud dengan kita adalah kita bukan saya. Halaaah. Maksud saya, kita di sini, merujuk ke orang-orang kebanyakan: yang datang ke tempat pesta bernama sekretariat dengan modal jempol dan berharap bahwa puja-puji dan kisah optimisme kita (baca: omong kosong banyak) soal ‘kita satu putaran, bapa’ akan menambah kepercayaan diri para paslon yang saldo di rekeningnya berkurang dari hari ke hari.
Apa yang harus kita buat?
Pertama, jangan mengacaukan suasana di sekretariat para pasangan calon jika tidak berani sumbang modal. Kau tidak akan pernah layak disebut tim sukses jika yang kau lakukan setiap hari adalah menyiapkan kalimat pujian baru dan menyampaikannya seolah-olah kau ikut membaca data-data. Sebab, kalimatmu yang ‘kita satu putaran, bapa’ itu sesungguhnya tidak kau yakini sungguh juga, kan? Ini satu putaran menang atau satu putaran ambyar? Ingat! Tak seorang pun dapat memenangkan pertarungan tanpa menguasai medan perang.
Kedua, jika yang ingin kau lakukan adalah menunjukkan kepada para pasangan calon bahwa kau adalah satu dari ratusan ribu orang yang akan memilih mereka bulan September nanti, tidak perlu duduk berjam-jam di sekretariat. Kirim pesan WA saja. Atau collect SMS kalau sedang kurang modal. Itu akan menghemat pengeluaran sekretariat di mata anggaran konsumsi.
Ketiga, sadarlah bahwa pujian tidak akan berkontribusi apa-apa pada pemenangan Pilkada. Daripada menyiapkan pujian untuk paslon, bukankah lebih baik menyiapkan pujian untuk calon pemilih? “Wah, usahamu sudah berkembang besar. Kamu memang hebat! Pasti akan lebih besar lagi kalau nanti bapa (kau sebut nama calon yang kau dukung) terpilih karena salah satu visinya adalah mendukung para pengusaha seperti kamu,” katamu pada seorang pengusaha—yang suara dan modalnya bisa kau ‘tarik’ untuk junjunganmu. Itu namanya bekerja. Ya! Kita-kita ini, yang menyebut diri jadi tim pemenangan, harus kerja.
Paslon Bagaimana?
Selain ‘kuat-kuat modal’ para paslon juga harus ‘kuat-kuat mental’. Pilkada akan penuh dengan intrik. Tiba-tiba saja foto mesramu dengan seseorang yang bukan istri/suamimu beredar di media sosial. Tak ada yang peduli bahwa itu adalah sepupumu, lawan politik akan memakai foto-foto itu untuk menghajarmu. Yang juga harus kalian kuat-kuatkan mentalnya adalah seluruh keluarga. Sebab ‘dosa-dosa’ mereka juga akan jadi komoditas politik. Ini baru satu soal.
Baca juga: Mengenal Tiga V, Komponen-Komponen Penting dalam Public Speaking
Soal lain adalah, dalam hal kuat-kuat modal, tentu saja angka 30 M sebagaimana diramalkan Pak Mendagri tadi tidak bisa kau talangi sendiri. Perlu ada (meminjam Adam Smith) tangan-tangan tak terlihat yang ikut mendukungmu. Bantu-bantu talang dulu. Nanti kalo su jadi bayar pake proyek. Yang juga ternyata melahirkan soal lain bernama balas jasa. Dalam hal inilah pasangan calon perlu benar-benar hati-hati.
Pastikan bahwa para pemodal itu tidak datang dari kelompok mafia yang, ketika kalian menang, akan menjadi dalang yang menggerakanmu melawan kampanyemu sendiri. Misalnya, salah satu kampanyemu adalah soal menyelamatkan lingkungan hidup tetapi pemodalmu adalah ‘pemain besar’ di bidang penguasaan lahan perkebunan. Kau bisa apa kalau menang?
Artinya? Modal semangat saja tir cukup, Bapa. Maju Pilkada tidaklah elok jika dasar berpikirnya adalah siapa tahu bisa menang. Kalian harus berusaha menang karena sudah pasti tahu bahwa jika kalian menang, daerahmu (masyarakat dan lingkungannya) akan lebih baik.
Tim Sukses Bagaimana?
Singkat saja. Kita semua sama-sama tahu, apa pun hasil Pilkada, tim sukses akan selalu sukses. Sebab namanya adalah tim sukses. Sedangkan yang bekerja agar menang itu, nama mereka adalah tim pemenangan. Sa kira begitu.
Baca juga: Di Koperasi Kita Ditolong, di Koperasi Kita Menolong
Duh! Kakak e! Itu hal-hal dorang di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak soal di kitaran perhelatan politik bernama pesta demokrasi itu. Kadang bikin cemas.
ICW, sebelum Pileg, Pilkada dan Pilpres tahun 2018 silam memprediksi, ada sekitar sepuluh potensi permasalahan yang mungkin terjadi di Pilkada 2018. Mulai dari jual beli pencalonan, politisasi birokrasi, sampai pada praktik korupsi untuk pengumpulan modal. Tentang ini bisa dibaca di tautan ini. Prediksi itu rasanya benar saja sebab setelahnya banyak ‘kasus-kasus demikan’ terungkap.
Semoga tak ada lagi yang menyebut ajang ini sebagai pesta demokrasi. Begitu!
—
21 Februari 2023
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Foto: Dokumentasi Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng