Poster adalah pengumuman atau iklan berbentuk gambar atau tulisan yang ditempelkan di dinding, tembok, atau tempat-tempat umum yang strategis agar mudah diketahui banyak orang: ajakan untuk melakukan sesuatu.
![]() |
Cinta Lingkungan 😀 | Dok. Pribadi |
Poster Cinta Lingkungan Masih Perlu atau Sudah Basi?
Kedua, membiasakannya menolak plastik (kresek) saat membeli jajan. Hasilnya belum sangat terlihat. Rana selalu bilang, “plastiknya?” Butuh waktu tetapi saya pikir akan terwujud; saya optimis.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Kembali pada pidato. Setelah tema disetujui, mereka mulai menulis. Satu minggu waktu yang saya berikan untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan ekspektasi yang cukup tinggi, mereka akan menawarkan cara paling mutakhir menyelematkan bumi setelah melakukan riset di berbagai media atau mungkin penelitian lokasi. Satu minggu berlalu dan presentasi dimulai.
O la la… tidak ada langkah baru. Slogan ‘buanglah sampah pada tempatnya diulang-ulang’. Saya kecewa. Alasannya sederhana, sejak kecil saya telah mendengar slogan itu, membacanya di dinding-dinding, pada poster yang didesain bagus, di stiker-stiker; sampah tetap tidak ada pada tempatnya. Sampah ada di luar tempat sampah, di halaman, di kelas, di terminal, di rumah ibadat, di depan mata.
Baca juga: Mengunjungi Jakarta itu Baik
Satu dua orang mengangguk-angguk dan berbisik kepada yang lain: “Iya, ya… kenapa juga kita harus terima kresek kecil kalau kita beli permen?” “Setelah itu kan kreseknya langsung dibuang?” Padahal bungkusan permen saya sudah sampah, kenapa pula ditambah kresek.” “Permen sepuluhan muat di saku, bukan?”
Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB pernah melansir, diperkirakan ada 500 juta sampai 1 milyar kantong plastik digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Ini berarti ada sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Untuk membuatnya, diperlukan 12 juta barel minyak per tahun, dan 14 juta pohon ditebang. Hmmm…
Satu, pembiasaan membuang sampah pada tempatnya sejak usia dini. Saya setuju. Sebuah artikel di majalah ayahbunda pernah menulis: Di usia satu tahun anak mulai memahami perintah-perintah sederhana. Maka kita bisa mulai dari sana.
Dua, melalui keteladanan. Orang tua memberi teladan pada anaknya, guru memberi teladan pada muridnya, murid memberi teladan pada guru, setiap orang memberi teladan kepada yang lainnya. Beberapa mengeluhkan sulitnya membuang sampah pada tempatnya karena tidak banyak tersedia tempat sampah di sekitar kita.
Tetapi saya sangat yakin, di rumah pasti ada tempat sampah. Maka ketika permen dinikmati di jalanan, bungkusannya disimpan di kantong/saku baju atau celana dan dibuang ketika tiba di rumah.
Tiga, untuk yang usianya sudah tidak lagi dini, kampanye harus disertai dengan informasi sanksi. Ini soal psikologis orang Indonesia karena kekeliruan lagu nina bobo. Kita telah terbiasa patuh pada ancaman. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk. Mekanisme sanksi perlu dibuat dan dilaksanakan dengan kepatuhan tinggi. Misalnya: kalau tidak buang sampah pada tempatnya, orang yang ada di sekitar anda dibenarkan menampar anda. Pokoknya ada sanksi. Dan sosialisasi untuk itu perlu dilakukan dengan gencar.
Baca juga: Aku Ingin Mencintaimu dengan Benar
Sejak bulan Maret silam, Pemerintah Singapura menaikkan denda terhadap masyarakat yang membuang sampah sembarangan dari semula 300 dolar Singapura (sekitar Rp 3 juta) menjadi 500 dolar Singapura. “Ini adalah pernyataan dan simbol bahwa kita tidak akan menoleransi kebiasaan buruk dari segelintir orang yang mengotori lingkungan,” kata Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan pada suatu kesempatan di tahun 2013.
Peraturan itu juga akan menghukum masyarakat yang berulang kali membuang sampah sembarangan dengan denda hingga 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp 50 juta).
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Eugene Heng, pemimpin organisasi non-profit Waterways Watch Society, mengungkapkan, sanksi yang lebih berat akan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk mengotori lingkungan. Hal di Singapura ini menarik. Bertahun-tahun sebelumnya Singapura telah jauh lebih bersih dari Indonesia. masyarakatnya telah beradab pada sampah, tetapi tetap membuat peraturan (lebih) tegas.
Padahal seorang rahib dan spiritualis pencinta alam bernama Fransiskus Assisi pernah bilang: Alam adalah Saudara. Itu seharusnya dibaca sebagai kita semua penguasa, ya manusia, ya alam. Ketika suatu hari terjadi banjir, alam juga sedang menunjukkan kuasanya pada saudaranya yang tidak bersikap menghargai.
Baca juga: Hakuna Matata dan Puisi-puisi Lainnya
Mungkin memang harus begitu. Sanksi adalah langkah terakhir agar orang dapat membuang sampah pada tempatnya. Sanksi yang keras. Bukankah membiasakan anak membuang sampah pada tempatnya, menerapkan sanksi, dan membuat PERDA tentang sampah adalah hal yang biasa-biasa saja? Jika kita menganggapnya luar biasa, poster cinta lingkungan akan semakin basi.