Poster cinta lingkungan ada di mana-mana. Masihkah itu relevan?
Poster adalah pengumuman atau iklan berbentuk gambar atau tulisan yang ditempelkan di dinding, tembok, atau tempat-tempat umum yang strategis agar mudah diketahui banyak orang: ajakan untuk melakukan sesuatu. Poster cinta lingkungan adalah ajakan atau imbauan agar orang mencintai lingkungan.
Poster cinta lingkungan biasanya ditemukan ramai menjelang peringatan Hari Bumi (Earth Day) yang diperingati setiap tanggal 22 April. Kadang kita ikut ramai begitu.
Pada suatu ketika, saya berpikir tentang berapa banyak poster bersebaran di muka bumi kita. Ada poster caleg, ada poster calon bupati, ada poster barang-barang mewah, ada poster cinta lingkungan, ada poster aneh, ada poster seram dan lain-lain. Banyak sekali. Sangat. Semua orang berkampanye. Ya dengan poster, ya dengan kata.
Tentang seberapa berhasil kampanye entah via poster, pidato, dan lain-lain berdampak pada perilaku publik, debat panjang bisa saja terjadi sampai ada yang membuat penelitian yang baik. Tentang poster atau kampanye itulah saya menulis ini, sebuah pengalaman kecil mengajar di kelas Public Speaking SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng.
Sekali waktu, saya meminta mereka menulis pidato inspiratif. Setelah mendapatkan materi tentang apa itu Public Speaking dan bagaimana sebaiknya menyusun pidato, tugas mereka selanjutnya adalah menulis naskah pidato dengan tema bebas. Siswa-siswi bersemangat. Mereka yakin bisa menyusunnya dengan baik.
Sepuluh menit mereka diberi waktu untuk berpikir tentang tema dan setelahnya saya terharu sepenuh hati. Sebagian besar memilih membahas tentang lingkungan hidup, sesuatu yang juga menjadi konsentrasi ‘perjuangan’ kecil saya di rumah.
Saya bersama istri tercinta sedang berusaha membiasakan Rana anak kami yang berumur dua setengah tahun itu untuk beberapa hal yang semoga bermanfaat.
Pertama, membiasakannya membuang sampah pada tempatnya. Hasilnya baik. Rana tahu yang mana sampah yang mana bukan dan yang mana tempat sampah. Saya bahagia.
Kedua, membiasakannya menolak plastik (kresek) saat membeli jajan. Hasilnya belum sangat terlihat. Rana selalu bilang, “plastiknya?” Butuh waktu tetapi saya pikir akan terwujud; saya optimis.
Baca juga: Sampah di Ruteng
Kembali ke soal pidato.
Setelah tema disetujui, mereka mulai menulis. Satu minggu waktu yang saya berikan untuk menyelesaikan pekerjaan itu dengan ekspektasi yang cukup tinggi, mereka akan menawarkan cara paling mutakhir menyelematkan bumi setelah melakukan riset di berbagai media atau mungkin penelitian lokasi. Satu minggu berlalu dan presentasi dimulai.
Ola la… tidak ada langkah baru. Slogan ‘buanglah sampah pada tempatnya diulang-ulang’. Saya kecewa. Alasannya sederhana, sejak kecil saya telah mendengar slogan itu, membacanya di dinding-dinding, pada poster yang didesain bagus, di stiker-stiker; sampah tetap tidak ada pada tempatnya. Sampah ada di luar tempat sampah, di halaman, di kelas, di terminal, di rumah ibadat, di depan mata.
Saya pikir perlu ada cara baru. Saya lalu bercerita kepada mereka tentang kegiatan ramah lingkungan yang mulai populer di beberapa negara tetapi sepertinya ‘belum’ di Indonesia. BYOB. Bring Your Own Bag. Detailnya saya ceritakan dan mereka bersemangat mendengar.
Satu dua orang mengangguk-angguk dan berbisik kepada yang lain: “Iya, ya… kenapa juga kita harus terima kresek kecil kalau kita beli permen?” “Setelah itu kan kreseknya langsung dibuang?” Padahal bungkusan permen saya sudah sampah, kenapa pula ditambah kresek.” “Permen sepuluhan muat di saku, bukan?”
Bring Your Own Bag adalah kampanye ekologis agar siapa pun yang ingin berbelanja, membawa tas belanja dari rumahnya. Belanjaannya tidak harus diisi dalam kresek yang disiapkan oleh swalayan atau pedagang di pasar. Mengurangi penggunaan plastik adalah tujuannya; 11% dari total sampah di muka bumi ini adalah plastik, dan plastik tidak bisa didaur ulang oleh alam.
Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB pernah melansir, diperkirakan ada 500 juta sampai 1 milyar kantong plastik digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Ini berarti ada sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Untuk membuatnya, diperlukan 12 juta barel minyak per tahun, dan 14 juta pohon ditebang. Hmmm…
Diskusi berlanjut. Satu per satu terprovokasi untuk berpendapat. Hari ini presentasi pidato berubah menjadi diskusi lingkungan hidup. Saya biarkan.
“Mengapa banyak orang membuang sampah di sembarang tempat padahal di begitu banyak dinding mereka melihat tulisan buanglah sampah pada tempatnya?”
Baca juga: Orang-Orang ini Dilarang Mengunjungi Lokasi Wisata Kami
Pertanyaan itu sampai pada risalah kecil:
Satu, pembiasaan membuang sampah pada tempatnya sejak usia dini. Saya setuju. Sebuah artikel di majalah Ayahbunda pernah menulis: Di usia satu tahun anak mulai memahami perintah-perintah sederhana. Maka kita bisa mulai dari sana.
Dua, melalui keteladanan. Orang tua memberi teladan pada anaknya, guru memberi teladan pada muridnya, murid memberi teladan pada guru, setiap orang memberi teladan kepada yang lainnya.
Beberapa mengeluhkan sulitnya membuang sampah pada tempatnya karena tidak banyak tersedia tempat sampah di sekitar kita. Tetapi saya sangat yakin, di rumahnya pasti ada tempat sampah. Maka ketika permen dinikmati di jalanan, bungkusannya disimpan di kantong/saku baju atau celana dan dibuang ketika tiba di rumah.
Tiga, untuk yang usianya sudah tidak lagi dini, kampanye harus disertai dengan informasi sanksi. Ini soal psikologis orang Indonesia karena kekeliruan lagu Nina Bobo. Kita telah terbiasa patuh pada ancaman. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk. Mekanisme sanksi perlu dibuat dan dilaksanakan dengan kepatuhan tinggi. Misalnya: kalau tidak buang sampah pada tempatnya, orang yang ada di sekitar anda dibenarkan menampar anda. Pokoknya ada sanksi. Dan sosialisasi untuk itu perlu dilakukan dengan gencar.
Sejak bulan Maret silam, Pemerintah Singapura menaikkan denda terhadap masyarakat yang membuang sampah sembarangan dari semula 300 dolar Singapura (sekitar Rp 3 juta) menjadi 500 dolar Singapura.
“Ini adalah pernyataan dan simbol bahwa kita tidak akan menoleransi kebiasaan buruk dari segelintir orang yang mengotori lingkungan,” kata Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan pada suatu kesempatan di tahun 2013.
Peraturan itu juga akan menghukum masyarakat yang berulang kali membuang sampah sembarangan dengan denda hingga 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp 50 juta).
Eugene Heng, pemimpin organisasi non-profit Waterways Watch Society mengungkapkan, sanksi yang lebih berat akan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk mengotori lingkungan. Hal di Singapura ini menarik. Bertahun-tahun sebelumnya Singapura telah jauh lebih bersih dari Indonesia. masyarakatnya telah beradab pada sampah, tetapi tetap membuat peraturan (lebih) tegas.
Langkah keempat, kelima sampai keseratus bisa kita buat. Tetapi para siswa dalam diskusi itu berpikir tentang satu hal. Kesadaran. Satu-satunya kesadaran yang mungkin populer saat ini adalah: Manusia Penguasa.
Padahal seorang rahib dan spiritualis pencinta alam bernama Fransiskus Assisi pernah bilang: Alam adalah Saudara. Itu seharusnya dibaca sebagai kita semua penguasa, ya manusia, ya alam. Ketika suatu hari terjadi banjir, alam juga sedang menunjukkan kuasanya pada saudaranya yang tidak bersikap menghargai.
Baca juga: Bungkus Pakai Koran Bekas
Tempo pernah menulis, Indonesia menghasilkan 625 juta liter sampah per hari. Angka yang fantastis. Di mana kita? Di sini, memproduksi sampah, menggunakan plastik secara berlebihan lalu menjadi bagian yang berkampanye dengan aneh: buanglah sampah pada tempatnya.
Sebuah satir berbunyi demikian: Human are the only creature in this world who cut the trees, made paper from it and then write ‘SAVE TREES’ on it. Sebuah ironi besar, bukan?
Mungkin memang harus begitu. Sanksi adalah langkah terakhir agar orang dapat membuang sampah pada tempatnya. Sanksi yang keras. Bukankah membiasakan anak membuang sampat pada tempatnya, menerapkan sanksi, dan membuat Perda tentang sampah adalah hal yang biasa-biasa saja? Jika kita menganggapnya luar biasa, poster cinta lingkungan akan semakin basi.
—
15 September 2014
Salam dari Ruteng
Armin Bell
—