Pesta demokrasi bernama Pemilu. Ini kalimat paling pukultuju yang selalu muncul dari mulut orang-orang yang merasa mampu membuat definisi tentang segala hal.
Ruteng, 22 Maret 2017
Mereka yang bilang Pemilu adalah pesta demokrasi, barangkali juga adalah yang berjuang stengamati meyakinkan kita definisi kebenaran. Pokoknya mereka siburibuk bikin definisi saja. Ada yang begitu.
Btw, mengapa saya sebut “pemilu adalah pesta demokrasi” sebagai kalimat yang pukultuju? Ini alasannya. Di mana-mana, pesta selalu identik dengan kesenangan. Tetapi di Pemilu, pesta terlihat begitu kacau. Tambahkan balau bila perlu. Cari bala bantuan kalau tidak paham apa itu kacau balau. Begitu.
Tentu ada juga pesta yang kacau juga selain pesta demokrasi bernama Pemilu. Misalnya di sebuah pesta sambut baru, orang-orang terlalu banyak minum sopi dan mendadak cerewet lalu merasa dirinya adalah Jet Lee atau Iko Uwais atau Adven Bangun, mulai ciat ciet kiri-kanan, tendang gelas, dan tuan pesta mendadak sadar bahwa pembuat kekacauan itu tidak ada dalam daftar undangan. Itu kacau, Kawan. Kacau yang bikin galau. Galau karena alih-alih membuat tuan pesta bahagia, ‘jagoan sopi tak diundang’ itu malah meninggalkan utang; selusin gelas dibayar tunai, sah!
Tetapi peristiwa seperti itu tak sering terjadi. Umumnya semua pesta bisa bikin bahagia. Kecuali, ya, itu tadi. Pesta demokrasi bernama Pemilu. Ada banyak kekacauan dalam Pemilu; tidak melibatkan gelas yang pecah, tetapi persaudaraan yang retak, cie cieee.
Kalau tidak percaya, lihatlah daftar kekacauan yang saya kumpulkan ini:
- daftar pemilih tetap yang tiba-tiba dirasa tidak tetap;
- bisik-bisik tentang harga satu kursi agar seseorang bisa disebut sebagai calon yang membuat si calon harus kredit besar atau jual tanah;
- perjodohan yang dipaksakan;
- hubungan kekerabatan yang tidak harmonis gara-gara beda pilihan;
- tim sukses yang bekerja untuk semua calon; dan
- calon yang salah slogan.
Yang terakhir itu adalah yang paling umum ada di negeri kesayangan kita ini. Calon yang salah slogan. Bentuknya kira-kira begini: Ada calon berkampanye bahwa dia anti korupsi, padahal semua tahu dirinya pernah terlibat dalam kasus tipu-tapu uang negara. Contoh ‘salah slogan’ lainnya bisa dicari sendiri.
Baca juga: Cara Mudah Menjadi Seniman di Era Milenial
Barangkali karena Pemilu adalah pesta yang agak kacau, atau sebab-sebab lain, setelah Pemilu muncul tipe-tipe manusia baru. Mereka adalah orang-orang yang hidup dan sikapnya mengalami perubahan pasca pesta demokrasi tadi. Oh iya. Ada banyak tipe manusia yang muncul setelah pesta demokrasi bernama Pemilu itu. Saya hanya menyajikan sepuluh di antaranya.
Pertama, Tipe Manusia Gagal Move On 1
Ini adalah tipe manusia yang paling banyak muncul setelah Pemilu. Porgamon 1, atau persatuan orang-orang gagal move on 1. Orang-orang yang merasa ada yang belum selesai. Dalam obrolan sekecil apa pun setelah Pemilu (kadang berlangsung bertahun-tahun), mereka akan selalu berusaha mengingatkan orang-orang di sekitarnya tentang Pemilu. Biasanya berisi curhat atau pernyataan kekecewaan teramat dalam. Oh…Ekspresi gagal move on-nya adalah menuduh kecurangan pihak lain sebagai penyebab kekalahan mereka. Porgamon 1 ini memang umumnya ada di pihak yang kalah. Pihak lain itu bisa pemenang, bisa penyelenggara Pemilu, bisa dua-duanya. Mereka sulit menerima realitas paling sederhana dalam Pemilu; ada yang menang ada yang kalah, ada yang tumbuh ada yang patah.
Kedua, Tipe Manusia Tunggu di Tikungan
Tunggu di tikungan ini maksudnya adalah memasang mata dan telinga lebar-lebar tentang kiprah saingan yang akhirnya keluar sebagai sang pemenang. Sedikit saja sang pemenang itu melakukan kekeliruan, tipe manusia tunggu di tikungan ini langsung buka mulut. Koar sana koar sini koar situ tentang betapa bodohnya orang-orang yang memilih sang pemenang. Kami di Manggarai biasa menyebut tipe ini dengan tukang tepa di bok.
Ketiga, Tipe Manusia Mendadak Cerewet
Ini erat kaitannya dengan gagal move on satu. Ya. Sebagian orang menjadi sangat cerewet. Yang dulu sebelum Pemilu apatis dengan isu-isu pembangunan, pasca-pemilu mendadak menjadi pemerhati birokrasi. Yang dulu jadi pengamat sepak bola dadakan, kini menjadi pengamat pembangunan paling konsisten. Kecerewetan itu hanya bertujuan satu: mengatakan pada dunia bahwa yang menjadi pemenang tidak seharusnya menang.
Keempat, Tipe Manusia Ingin Segera Pemilu Lagi
Sebagai langkah lanjutan dari kecerewetan di atas, akan ada yang menyampaikan harapan semoga Pemilu berikutnya datang lebih cepat. Ckckck…. Seolah-olah di Pemilu berikutnya mereka pasti menang. Astagaaa!
Kelima, Tipe Manusia Menyalahkan Penyelenggara
Ini hanya poin yang menegaskan poin pertama di atas. Orang-orang gagal move on umumnya mencari kambing hitam. Dan dalam Pemilu, yang paling mudah menjadi kambing hitam adalah penyelenggara Pemilu. Soal DPT atau Daftar Pemilih Tetap biasanya menjadi sorotan. Tentu saja mereka sangat percaya diri bahwa kalau DPT disiapkan dengan benar maka mereka pasti menang. Minimal unggul satu suara. Itu sudah.
Keenam, Tipe Manusia Gagal Move On 2
Nah. Ini dia tipe gagal move on yang aneh. Orang-orang menang yang gagal move on. Umumnya terjadi karena sebelum Pemilu mereka tidak terlalu ‘siap menang’. Eh, ternyata mereka menang. Ini senangnya bisa menahun. Pakai olok-olok tim lawan pula. Porgamon 2 ini bisa jadi teman ngobrol yang asyik. Kalau kita sedang dengar musik kencang di pesta sambut baru.
Baca juga: Public Speaking: Pengertian, Pelaku, Tujuan, dan Alur
Terus terang, mereka senang terus. Seolah-olah dengan berhasil menang Pemilu, mereka juga telah menjadi menang di segala hal. Padahal kadang-kadang kalah juga kalau main badminton atau main kasti. Adoooh. Kaco suda. Kadang manusia dari tipe ini memunculkan konflik horisontal yang susah kelar.
Ketujuh, Tipe Manusia Mengaku Tim Sukses
Ini tipe yang paling banyak muncul. Tidak bekerja pada masa sebelum Pemilu, hanya sumbang satu suara ketika Pemilu, tetapi mendadak mengaku sebagai tim sukses; tim yang mengantar seorang kandidat meraih kemenangan. Tipe ini rata-rata bilang, “Kemarin memang banyak yang lihat saya sepertinya diam. Mereka tidak tahu saya bergerilya di beberapa titik.”
Kedelapan, Tipe Manusia Minta Jatah
Saya sebenarnya tidak enak omong tipe yang ini. Karena semua sudah tahu. Di kelompok para pemenang, beberapa orang dekat si pemenang akan meneruskan kejayaan mereka dengan meminta jatah. Entah proyek, entah uang, entah pujian. Bisa tiga-tiganya, dapat satu juga sudah syukur. Dengan mendapat jatah, mereka merasa lebih sahih sebagai pemenang. Aeh, ada-ada saja tah.
Kesembilan, Tipe Manusia Pembentuk Barisan Sakit Hati
Ini lanjutan dari tipe meminta jatah. Kalau ternyata tidak dapat jatah, mereka akan bersatu padu membentuk barisan sakit hati. Koar sana koar sini koar-koar semuanya, bahwa sang pemenang adalah orang yang tidak tahu bersyukur.
Umumnya akan terdengar kalimat, “Itu karena dia sudah duduk di kursi empuk. Lupa dengan kami punya kerja keras-lembut-berat-ringan bla bla bla.” Barisan sakit hati inilah yang paling potensial menjatuhkan pamor sang pemenang. Tentu saja tipe ini baik untuk mengontrol jalannya pembangunan. Artinya mereka benar-benar berkeinginan agar pemenang bekerja sepenuh hati untuk daerahnya. Seperti ‘kelompok di luar koalisi’ begitu. Tetapi kalau tujuan pembentukannya adalah untuk kepentingan diri sendiri, kaco juga itu e.
Kesepuluh, Tipe Manusia Hilang Kabar
Entah baik, entah tidak, beberapa orang akan hilang kabar setelah Pemilu. Ketika masa Pemilu terlibat dalam baku maki yang ancor punya dengan tim saingan. Setelah Pemilu, dia menghilang begitu saja. Membawa serta dendam yang barangkali kesumat atau mungkin telah melepaskannya.
Tipe ini adalah orang-orang yang telah selesai. Pemilu itu sampai di Pemilu saja. Setelahnya kita adalah warga negara biasa. Asyik juga. Hanya saja, ada juga yang hilang kabar karena alasan lain seperti, ketika di Pemilu dia terlalu percaya diri, tetapi ternyata mereka kalah. Dia hilang kabar karena malu. Oh…
Jadi begitu.
Baca juga: Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa
Sepuluh tipe tersebut hanyalah usaha menyingkat ratusan tipe manusia yang muncul setelah pesta demokrasi bernama Pemilu. Ya! Ada ratusan tipe. Saya dapat sepuluh. Anda bisa dapat lebih banyak lagi, bisa penemuan orisinil, bisa juga sebagai perincian atas sepuluh tipe yang ada di sini.
Sesungguhnya, saya adalah orang yang merindukan munculnya semakin banyak orang yang masuk di tipe selanjutnya; mereka yang ada di ‘tim menang’ tetapi berani memberikan kritik ketika sang pemenang melakukan kekeliruan. Yang seperti itu jumlahnya tidak banyak. Kalau yang tukang puji jumlahnya banyak.
Saya juga rindu pada tipe lainya. Orang-orang dari ‘tim kalah’ yang tidak ragu memberikan pujian pada sang pemenang ketika memimpin dengan baik dan progresif. Tapi jumlah orang dengan jiwa sebesar itu agak sedikit. Yang banyak adalah para pendendam. Iya, kah?
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell