Waktu itu Lama atau Singkat?

Waktu itu relatif. Ungkapan seperti itu selalu kita dengar. Jika ingin mendapatkan penjelasan tambahan, kita akan mendapat cerita tentang perbandingan, misalnya: waktu menunggu akan terasa lebih lama dari waktu bertemu, meski sama-sama 60 menit. 

waktu itu lama atau singkat
Tentang Waktu | Foto: Donnie Dnezco

Waktu itu Lama atau Singkat?

Rasanya tidak ada orang yang menyangkal tentang perasaan kita terhadap waktu. Ukuran menit akan sulit dipakai ketika dipadankan dengan apa yang kita lakukan. Aeh, ini pembukaan macam sa bikin rumit skali im. Ya sudah, kita lanjutkan ke bagian penting tulisan ini cie cieee…
National Geographic Channel memang selalu punya cara (atau acara) yang membuat kita betah menghabiskan waktu berlama-lama di depan televisi. Terakhir saya memasrahkan begitu saja waktu larut malam di depan saluran ini. Adalah waktu yang saat itu menjadi bahasan. Mereka bicara tentang situasi relatif.
Bahwa waktu delapan detik yang digunakan oleh matador di atas banteng sebenarnya sama persis dengan waktu delapan detik di tempat lain, sama-sama delapan detik. Tetapi mengapa delapan detik begitu tidak berarti atau terasa terlampau singkat bagi kita yang sedang menikmati saat-saat indah? 
Saya lupa jawaban persisnya, yang pasti itu berhubungan dengan sesuatu di otak. Teringatlah kemudian saya pada sebuah kisah umum, bahwa waktu menunggu adalah hal yang paling membosankan di dunia. Setiap penantian terasa panjang, lama dan menjengkelkan. Seorang sahabat terlambat datang setengah jam dan kita merasa telah menghabiskan waktu berabad menunggunya hadir. 
Lalu ketika kita bicara dengannya dalam suasana yang menyenangkan, tidak terasa sudah setengah jam, seperti terlampau singkat. Ehmmm… padahal setengah jam dari dua-duanya–menunggu dia datang dan bicara dengannya–itu sama-sama 30 menit lamanya. 
Saya benar-benar lupa apa kata National Geographic tentang itu namun sepertinya juga berkaitan dengan kenyamanan atau cara kita menikmati. 

Waktu lima tahun di kursi DPR mungkin akan terasa singkat jika dibandingkan dengan waktu lima bulan berkampanye agar bisa duduk di sana lagi di periode berikutnya. Lima bulan kampanye itu lamanya minta ampun. 

Mengapa? Kira-kira demikian. Lima tahun di sana lebih nikmat karena menghasilkan uang daripada lima bulan berkampanye dan menghabiskan uang. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
FF100K Karina - Kembali

Saya lalu teringat pada diri sendiri (untuk tidak menyebut nama orang lain) yang selalu merasa rugi kalau harus berdoa lama sebelum tidur (doa paling lama mungkin hanya dua menit), tetapi selalu merasa rugi (juga) kalau tidak sempat merokok sebelum tidur (satu batang menghabiskan waktu sepuluh menit).

Ah, cuka minyak betul…! Apa itu berarti saya tidak menikmati saat-saat berdoa? Saya tentu saja hendak menyangkal, sebuah penyangkalan yang disangkal pula seketika oleh kenyataan bahwa saya memang merasa berdoa dua menit itu lama. 

Apa yang harus dibuat? “Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup,” tulis seorang motivator bernama Andre Wongso di blognya. Mudah sepertinya, tetapi (mungkin) sesungguhnya sulit. Bagaimana seseorang dipaksa menikmati saat-saat menunggu selama 30 menit dalam tidak berbuat apa-apa sampai temannya datang? 
A ha… sepertinya ini soal kita. Kita tidak berbuat apa-apa dan waktu terasa berjalan lebih lama. Maksudnya ketika sedang tidak melakukan apa pun yang menguntungkan, kita merasa waktu begitu lamban bergerak. Maka ketika sedang menunggu, kita mungkin sebaiknya melakukan sesuatu (yang baik dan menguntungkan) agar penantian itu berjalan pada takaran waktu yang sebenarnya. 
Konsep lain, kita harus merasa setiap hal yang kita lakukan itu memang membuat kita senang, misalnya ya itu tadi: berdoa sebelum tidur harusnya dianggap sebagai kegiatan yang menguntungkan sehingga waktu dua menit akan terasa seperti dua menit sesungguhnya. 
Baca juga: Gratitude Box: Mari Bergabung dalam 15 Langkah Mudah

Tentang menunggu, sekarang November. Sebentar lagi Natal. Yesus hadir. Masa sebelum itu bernama Adventus. Sepertinya harus buat sesuatu agar Natal di Ruteng tidak terasa terlalu lama dinanti, bukan hanya memperbaiki pohon Natal yang hanya butuh waktu sehari tak sampai, tetapi memperbaiki diri sendiri. Mungkin ketika belum selesai kita bekerja memperbaiki diri itu, Natal telah sampai. Lha, kok jadi ngomongin ini? 

Maksud saya semula hanya mau tahu, mengapa setiap menunggu terasa lama? Apa karena kita merasa menunggu itu pekerjaan? Pekerjaankah menunggu itu? Atau justru kita yang menganggapnya pekerjaan, padahal ada hal lain yang lebih layak disebut pekerjaan ketika kita sedang menunggu. Weleh… ngomong opo iki? Sepertinya tidak menjawab pertanyaan: waktu itu lama atau singkat? 

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
BACA JUGA
Menulis Kisah Tentang Mama
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *