Jangan Cari Saya Di Sekolah

Saya pernah kerja di sekolah. Mengajar. Mata pelajaran Jurnalistik. SMA tempat saya bekerja memasukkannya sebagai materi keterampilan. Harapannya tentu saja agar para murid menyukai dunia tulis menulis. Minimal gemar membaca berita. 

jangan cari saya di sekolah
Jangan cari saya di sekolah | Foto: Armin Bell

Jangan Cari Saya Di Sekolah 

Sejak semester ini saya tidak lagi mengajar. Perjalanan hidup memang agak susah ditebak. Saya meninggalkan tempat itu bukan karena bersoal tetapi karena ya itu, saya kerja di tempat lain. Tetapi sesekali saya mampir juga di sana, sharing, mendampingi kegiatan ekstra, dan beberapa lagi. Tetapi sekarang saya tidak di sana.

Iya. Jangan cari saya di sekolah. Saya tidak mengajar lagi. Bukan karena saya tidak suka. Sesungguhnya mengajar di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng adalah bagian hidup yang menyenangkan.

Saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai tipe dan belajar menikmati mereka. Hidup adalah hidup ketika kita menikmati orang lain dan menghasilkan uang dari mereka. Kejam, bukan? 

Itu bukan pandangan saya tentang hidup tetapi komentar saya tentang mereka yang melakukan itu, misalnya penjual manusia atau suami yang memukul istri saat akan minta modal berjudi atau politisi yang menjadikan kami para pemilih tidak lebih istimewa dari barang dagangan pada musim pemilu. Dan jumlah mereka banyak.
Lalu hubungannya dengan SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng? TIDAK ADA. Saya menulis bagian ini tadi hanya sebagai penegas bahwa saya ingin membagi banyak pertanyaan dalam setiap tulisan saya. Silakan baca tulisan saya yang lain di blog ini dan temukan pertanyaanya. Rumit ya? Saya kadang serumit itu #eh. Dan karena itu banyak teman yang merasa saya kritis sekali. Atau saya merasa kritis? 
Tidak juga. Hanya saja dengan sombong saya memakai gelar itu karena kata teman-teman saya tadi itu, padahal saya cenderung asal omong. Tetapi baik juga sesekali mendengar, “Kritis betul, Kraeng e!” dari mulut teman yang entah apa maksudnya.
Tentang bahwa di bagian awal saya bilang saya belajar menikmati mereka–orang-orang di sekolah tempat saya mengajar, marilah mengartikannya dengan positif. Yang saya nikmati adalah cara mereka menikmati hidup, ya guru, ya murid, ya pegawai, ya semua orang yang hilir mudik di sekolah itu setiap saat. Kadang lalu saya menulis cerita dari hasil interaksi itu.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kala

Baca juga: Gratitude Box Beberapa Langkah 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tetapi sekarang jangan cari saya di sekolah. Saya pindah tempat kerja. Di sebuah kantor baru setelah lolos dalam sebuah seleksi yang menegangkan dan bersaing dengan ribuan orang. Eh, kok malah saya yang lulus. Saya hebat? Belum tentu. 

Hebat atau tidak tentu saja bukan tentang kau lulus atau tidak dalam sebuah ujian tetapi tentang apakah nanti kau bisa membuktikan dalam dunia pekerjaan bahwa kau layak lulus. 
Maka, itu nanti. Setelah dipanggil dan mulai bekerja. Berkas-berkasnya memang sudah dikumpul, semoga lolos seleksi administrasi. Jika telah dipanggil, saya akan belajar dari nol tentang sistem kerja yang baru itu.

Tentang belajar, Mari Kita Kembali ke Sekolah. 

Apa persisnya yang saya kerjakan di sekolah selama beberapa tahun terakhir ini? Mengajar. Saya diminta ‘memegang’ mata pelajaran Keterampilan Jurnalistik dan Public Speaking. Mungkin karena saya sering menulis, pernah menjadi penyiar radio dan cari hidup sebagai MC, jadilah saya mengajarkan murid-murid saya tentang 5W+1H dan cara cas cis cus dan menghilangkan getaran badan saat tampil di depan umum. Berhasilkah? Entahlah. 
Saya hanya senang karena setiap kali saya mengajar, murid-murid tampak menikmatinya. Kalau mereka lebih banyak tertawa, itu hanya akibat lain.

Baca juga: Saya dan Panggung Kecil yang Manis

Tentang mereka bergosip tentang saya ketika saya selesai mengajar, itu jamak. Kita semua yang pernah menjadi murid, pernah dan telah sedang melakukannya; bergosip tentang guru.

Tetapi sesungguhnya menjadi guru sama saja dengan menjadi seorang petani cengkeh. Masa panen yang kau nanti tidak hanya sekali. Kau menanamnya pada suatu waktu lalu merawatnya setiap saat sampai dia tiba di musim panen yang tidak hanya sekali itu.

Panen pertama saat mereka ikut ujian akhir. Panen berikutnya saat mereka sesekali pulang ke sekolah dan berkisah tentang IP mereka di tempat kuliah. Panen selanjutnya saat mereka bermain di media sosial. Panen lagi saat mereka akan lulus kuliah dan berikutnya dan seterusnya dan lagi.

BACA JUGA
Kapan Merdeka Ini Selesai, Pertanyaan Romo Mangun dalam "Burung-burung Manyar"

Karena masa panen yang berulang-ulang itulah, menjadi guru adalah tugas yang tidak pernah selesai. Bahwa suatu ketika kau berhenti mengajar di dalam ruang kelas, di hari-hari berikutnya engkau tetap harus merawat tumbuhanmu dalam interaksi di luar ruang atau di media sosial. Sikap hidup, keteladanan, status, atau kicauan di media sosial adalah medium baru tempat saling merawat terjadi.

Saling merawat? Iya. Saling. Karena menjadi guru tidak pernah semata-mata memberikan pelajaran tetapi juga menerimanya dari para murid itu. 

Demikianlah saya kerap mampir ke media sosial atau blog para murid saya (di blog Rey Susilo dan di blog Monika Angelin, dua di antara sekian banyak yang memutuskan membangun blog). Saya belajar membaca dunia mereka dari kicauan-kicauan itu. Menarik.

Betapa mereka telah tumbuh besar dan menjadi dewasa. Status yang dulu galau tingkat dewa kini menjadi lebih adem penuh kesadaran. Sesekali mereka meracau makian tetapi lalu menjadi bijak pada update berikutnya. 

Mungkin seperti bunga-bunga cengkeh yang kadang jatuh ditimpa tiupan angin keras lalu bersemi lagi dalam belaian gerimis. Saya lalu sadar, betapa saya menikmati menjadi guru dan kadang merindukan waktu-waktu itu.
Saya beruntung bahwa di ruang yang lain saya tetap punya kesempatan serupa. Dengan anak-anak muda di OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng saya memainkan peran yang mirip tetapi lebih santai, lebih bercampur. Saya juga membuka kelas mendongeng: Sore Cerita – Dongeng untuk Anak di LG Corner Ruteng juga untuk konsep serupa, yang saya lakukan dengan teman-teman Komunitas Teater Saeh Go Lino Ruteng (akan saya ceritakan tentang komunitas ini pada kesempatan lain). 
Apakah saya guru yang baik? Lihatlah murid-murid saya. Kalau mereka baik, saya seharusnya juga telah baik. Kalau mereka buruk? Saya belum cukup baik memberi pelajaran. Itu saja. Bukankah tanaman cengkeh yang menghasilkan buah berlimpah lahir dari tangan petani yang memberikan segalanya untuk mereka?

BACA JUGA
Menjadi Orang-orang Kecil, Renungan RD Lian Angkur
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Ah, tetapi jangan cari saya di sekolah. Saya tidak ada di sana. Tetapi di mana-mana, juga di sini di blog ini, tempat saya mampir sesekali setelah membaca blog teman-teman saya: Ikka Waso, Rey Susilo, Romo Beben, Ajen Angelina, Ucique Jehaun dan para sahabat yang lain. 

Baca juga: Aku Ingin Mencintaimu dengan Benar

Saya belajar dari mereka, kadang mulai dari nol lagi, meski dahulu saya pernah menjadi guru. Orang bijak di suatu masa silam pernah bilang: Long life education. Belajar sepanjang hayat. Dan saya percaya itu. 

Tentang saya yang disebut suka mengkritik, tidak sepenuhnya karena saya pintar, atau cerdas, atau cerdik pandai. Tidak. Kadang saya mengkritik karena saya suka saja mengkritik. Tegakah kalian mengambil kesukaan saya itu? Semoga tidak. 
Karena jika iya, saya mungkin tidak bahagia dan dosa terbesar adalah ketika kau menikmati ketidakbahagiaan orang lain; persis seperti penjual manusia atau suami yang memukul istri saat akan minta modal berjudi atau politisi yang menjadikan kami para pemilih tidak lebih istimewa dari barang dagangan pada musim pemilu. Dan jumlah mereka banyak.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bagikan ke:

4 Comments

  1. Ternyata pa armin pernah jadi tuang guru juga? Komplit betul itu pengalaman e.. cv dite pasti panjaaaaang sekali… pantas saja klo digosipin siswa… tulisannya keren2…hehehe…

  2. Susah mengganti panggilan pak guru kepada armin bell. Bahkan menjadi bupati pun, dia tetap mnjadi pak guru saya. Dulu dia mngajar saya tntng mnghilangkan gigil tubuh bukan karena demam infeksi bakteri, tetapi karena demam infeksi tatapan audiens. Katanya, “jika sedang doa giliran, suguhi kopi agar kamu bertemu mereka. Jika ingin mnutup pelajaran, pimpinlah doa sederhana, agar kamu bicara kepada mereka. Jika ditugaskan menjadi lektor, anggukan kepala, agar kamu bisa melihat betapa mereka memperhatikanmu. Jika ada kekosongan, putarlah otak, lontarkan kata-katamu. Jika sedang berkumpul, buatlah humor singkat, agar suasana menjdi cair. Jika ada kesemptan, ambillah”.Itu kata-katanya yng memusingkan, seperti dia yng juga tujuh keliling. Sa tdk mau cari armin di sekolah lagi, dia selalu datang saat kata-kataku lahir. Tak perlu mncari armin. Kecuali jika ingin mndapat uang jajan tambahan. Thnk you pak.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *