Abraham Maslow melupakan satu hal ketika merumuskan apa yang kini kita kenal sebagai Maslow’s Hierarchy of Needs yakni: melihat orang lain menderita.
Psikolog asal Amerika Abraham Harold Maslow (1880 – 1970) mengurut lima kebutuhan manusia. Urutannya, dimulai dari yang terendah ke tertinggi: kekebutuhan fisiologis, kemudian rasa aman dan perlindungan (fisik dan psikologis), lalu rasa cinta, beranjak ke harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta pengakuan dari orang lain, sampai ke yang kelima bernama aktualisasi diri. Ya, ada lima dalam hirarki Maslow itu, yakni: physiological needs, safety needs, love and belonging needs, esteem needs, and self-actualization needs.
Hirarki kebutuhan menurut Maslow (Maslow’s hierarchy of needs) tersebut dipakai sebagai bahan ajar di hampir setiap pertemuan belajar mengajar yang berhubungan dengan psikologi. Lalu kita menjadi percaya bahwa kalau kelima hal itu telah terpenuhi dalam porsi yang benar, kita menjadi manusia yang bahagia.
Saya setuju. Manusia yang telah sampai pada tahap aktualisasi diri biasanya memang terlihat hidup sangat bahagia.
Penyanyi dangdut koplo tentu bahagia sekali kalau sudah bisa bergoyang heboh dan menghibur penonton yang ramai menari. Dia telah berhasil aktual malam itu. Preman pasar tentu sangat gembira hatinya ketika saat dia melintas, ibu-ibu penjual sayur menghentikan obrolan mereka dan mendadak menguncup. Preman itu merasa diakui; dia ada. Lalu preman itu pergi nonton dangdut koplo, halaaah. Apakah begitu maksud Maslow? Entahlah.
Saya percaya bahwa kebutuhan tertinggi manusia itu adalah diakui ada. Saat berkunjung ke rumah pacar, eh bapaknya si pacar sedang ngobrol dengan temannya di ruang tamu. Lalu si bapak mengenalkan kita kepada temannya sebagai: ini nona punya pacar. Kita bahagia. Diakui ada. Meski sesungguhnya sebelumnya sempat berharap semoga calon mertua sedang tidak ada di rumah. Eh?
Tetapi apakah aktualisasi diri adalah yang terakhir dari daftar kebutuhan manusia, saya agak tir terlalu setuju. Ada daftar lain sesungguhnya yang bernama: melihat orang lain menderita. Sebut saja itu kebutuhan keenam. Lebih tinggi dari merasa diakui ada, melihat orang lain menderita membuat kita jauh lebih bahagia. Diakui ada saja tidak cukup. Diakui ada, dan pada saat yang sama orang lain dianggap tidak ada, itu baru tepat. Iya to?
Ada Schadenfreude. Istilah itu datang dari Jerman, pertama kali ditulis tahun 1740, kira-kira berarti perasaan sukacita yang kita alami ketika melihat atau mendengar kabar seseorang yang sedang mengalami kesulitan, kegagalan, atau atau peristiwa memalukan.
Richard H. Smith dalam The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature (2013) memaparkan situasi di mana beberapa orang akan dengan mudah mendapat kenikmatan dari ketidakberuntungan orang lain. Tentu saja kenikmatan seperti itu adalah sesuatu yang salah. Bagaimana mungkin kau mendadak bahagia hanya karena melihat orang lain menderita? Itu salah.
Tetapi Smith menyodorkan beberapa contoh yang membuatmu berpikir ulang tentang konsep salah atau benar seputar schadenfreude itu. Misalnya, kau nonton ajang pencarian penyanyi berbakat dan seorang peserta tampak sangat arogan padahal suaranya tidak seberapa. Si peserta kemudian dieliminasi. Kita senang to? Atau seorang politisi yang tampil ‘sok suci’ tiba-tiba terbongkar aibnya. Kita ju senang to?Β Hal-hal seperti itulah yang meresap dalam masyarakat kita sekarang. Untuk bahagia, kita hanya butuh orang lain menderita.
Ini nona punya pacar yang baru. Yang kemarin itu bajingan. Yang ini luar biasa baiknya. Bayangkan kau mendengar itu dari si bapak tadi. Bahagia ka tida? Ah, sudahlah. Itu cerita yang lain. Sesungguhnya yang mau saya ceritakan hanya pengalaman melihat.
Rumit? Itu sudah. Kadang saya serumit itu, cie cieee. Jadi begini. Saya pernah ada di situasi bersama beberapa orang yang sedang menonton sebuah peristiwa. Kami adalah orang-orang yang ada di luar garis. Tidak ada kaitannya dengan peristiwa itu. Pertarungan politik. Dua orang berlaga dan salah seorang di antara mereka kebetulan didukung oleh orang yang tidak kami sukai. Yang menjadi lawannya, tidak kami kenal. Ya, sejauh itu posisi kami dari peristiwa.
Yang kemudian terjadi adalah kami lantas bersorak kegirangan ketika yang kalah dalam pertarungan itu adalah yang didukung oleh orang yang tidak kami sukai. Kami bersukacita bukan karena kami kenal dengan sang pemenang, tetapi karena kami membayangkan bahwa orang yang tidak kami sukai akan bersedih atas kekalahan politisi yang dia dukung. Sepanjang waktu kami mengenang peristiwa itu dengan bahagia. Terus mau bilang bahwa kami aneh? Please, Dude!Β Jan kau tipu saya e. Kita semua begitu. Atau paling tidak pernah ada di posisi itu; bahagia karena melihat orang lain menderita.
Bahkan dalam situasi paling dasar dari Maslow’s Hierarchy of Needs, misalnya saya benar-benar tidak aman secara fisik, saya akan tetap bahagia ketika ada yang lebih tidak aman lagi posisinya. Kadang kita sesederhana itu. Untuk bahagia, kita hanya butuh orang lain menderita. Sa miiiinta maap banyak dengan teman-teman saya yang sedang bergelut dengan diskusi serius tentang Maslow dan seluruh hal berkaitan dengan psikologi.
Ulasan ini barangkali sejauh timur dari barat dengan apa yang sedang kalian gumuli. Tetapi percayalah. Tulisan ini ada benarnya juga. Halaaah.
Saya ingat. Ketika Ahok unggul di putaran pertama Pilkada DKI tahun 2017 silam, banyak orang bahagia bukan karena peristiwa keunggulan itu tetapi karena melihat (atau membayangkan) Pepo menderita. Jujurlah. Iya to? Tentu saja itu sah, meski saya sebenarnya sedang berusaha percaya bahwa perilaku itu tidak cukup baik–untuk tidak menyebut tidak dewasa.
Tetapi kita memang ada di level itu. Di level seorang penggemar Barcelona begitu menikmati peristiwa kekalahan Manchester United di Liga Inggris hanya karena salah seorang penggemar berat MU adalah pacar dari mantannya. Mantannya begitu bahagia dengan pacar barunya itu dan dia ingin mantannya itu menderita, lalu menemukan alasan tepat itu melalui kekalahan MU di Liga Inggris padahal dia sendiri adalah penggemar Barcelona yang baru saja menderita kekalahan besar. Ckckck…
Hidup kadang se-kakusbau itu. Barangkali si preman pasar tadi tidak merasa bahagia karena dianggap ada tetapi karena dia melihat wajah-wajah ibu-ibu penjual sayur yang menderita. Penyanyi dangdut koplo tadi juga merasa lebih bahagia karena membayangkan para penontonnya pulang dengan derita menahan gejolak yang tak jadi tumpah. Mau bilang apa?
Toh, hampir setiap hari kita merasa bahagia melihat orang lain menderita. Kalau kau bilang sa karang-karang, co kau liat ke dalam kau pu diri. Lihat dengan jernih. Sebagai penggemar Ahok, yang sesungguhnya kau inginkan itu kemenangan Ahok atau kekalahan Anis? Diakui calon mertua sebagai nona punya pacar, atau nona punya pacar yang terbaik? Schadenfreude adalah kita. Kira-kira begitu.
—
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Image dari Simplicable.com. Tulisan ini pertama kali disiarkan tanggal 21 Februari 2017. Versi terakhir ini telah mengalami beberapa kali penyuntingan.Β
Saat bertemu calon mertua, bapaknya suka banget ngejailin si calon mempelai prianya dengan pertanyaan yang aneh-aneh wkwk. Biasanya ada di adegan sinetron cielah :DSalam kenal mas rana.
Hiaaa… itu semacam metode mengenal seberapa layak si lelaki untuk anaknya π π π Salam kenal juga.