setelah bom bali i hendrik pulang ke ruteng jual ikan di pasar inpres manggarai ruteng

Setelah Bom Bali I Hendrik Pulang ke Ruteng, Jual Ikan di Pasar Inpres

Ada banyak peristiwa kecil yang tidak sempat muncul ke permukaan pasca-Bom Bali I. Termasuk kisah Hendrik yang akhirnya harus pulang ke Ruteng setelah tragedi kemanusiaan itu menghilangkan pekerjaannya.


Ini adalah catatan lama. Ditulis tahun 2011 dan diunggah ke blog keroyokan Kompasiana. Hari ini saya menemukannya kembali ketika sedang melihat blog traffic blog ini menggunakan incognito window di Chrome. Saya unggah ulang sebagai usaha dokumentasi.

Catatan ini dibuat usai saya memandu talkshow di radio tempat saya bekerja. Tahun 2011 saya masih jadi salah satu penyiar di Ruteng. Pekerjaan di Ruteng ini adalah lanjutan dari pekerjaan yang sama di Malang. Di Ruteng, saya mulai dari Radio Lumen 2003, sebuah radio yang berada di bawah naungan Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah (SSA), komunitas para biarawan dan imam SVD. Setelahnya saya pindah radio. Jadi penyiar di radio milik Pemerintah Kabupaten Manggarai. Radio Siaran Pemerintah Daerah. RSPD.

Di tempat inilah saya bertemu Hendrik, salah satu pelaku pariwisata di Bali yang terkena imbas serangan teroris yang kemudian dikenal dengan nama Bom Bali I, tragedi besar yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002. Tahun 2011, Hendrik telah menjadi pedagang ikan dan sukses berjualan di Pasar Inpres Ruteng.

Hendrik diundang ke RSPD Suara Manggarai oleh salah seorang pegiat pendidikan di Manggarai, Kosmas Takung. Saya ditunjuk untuk memandu program mingguan setiap Jumat malam itu. Nama programnya Talkshow Jumat–yang diundang sebagai narasumber adalah orang Manggarai yang diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi. Kami pernah bahas tentang karya musisi Manggarai Makarius Arus pada salah satu episodenya.

Pada periode itu, saya sedang gemar menulis di Kompasiana. Menulis di blog keroyokan pada masa itu terasa menyenangkan. Bertemu banyak blogger, belajar banyak hal, dan perlahan membangun jaringan. Perjalanan blog Ranalino.co ini dimulai dari sana. Tulisan tentang Hendrik ini adalah salah satu yang saya siarkan di Kompasiana.

BACA JUGA
76 Tahun RRI, Saya Mau Cerita tentang Radio Ini

Lupakan Bom Bali I dengan Menjual Ikan

(Ruteng, 19 Februari 2011)

Namanya Hendrik Jebarus. Pedagang ikan kering di Pasar Inpres Ruteng. Jika melihat pekerjaannya saat ini, tak banyak yang menduga bahwa perjalanan hidupnya sangat panjang. Pernah menempuh pendidikan frater (Calon Imam Katolik) di Makassar, Hendrik kemudian banting stir dan menyelesaikan pendidikan akademinya pada jurusan pariwisata di salah satu kota terbesar di Indonesia itu. Hendrik selanjutnya ke Bali, mencoba peruntungan dengan menjadi tenaga marketing pada sebuah hotel berkelas internasional.

Pria di awal 40-an tahun ini mengaku menjalani pekerjaannya dengan sangat baik di. Latar belakang akademik sangat tepat untuknya saat itu. Tetapi sebuah peristiwa mengubah segalanya.

“Dua jam sebelum ledakan itu, saat ada di Paddy’s Club. Andai saya tidak cepat pulang, mungkin saya akan jadi korban bom,” tuturnya tentang peristiwa menggenaskan Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya itu.

Baca juga: Pergilah ke Sanur dan Mulailah Menulis

Hendrik adalah salah satu pelaku pariwisata Bali yang kemudian menjadi korban pada sisi hidup yang lain. Kehilangan pekerjaan akibat matinya industri pariwisata di Pulau Dewata menyusul teror besar itu–peristiwa tersebut kemudian diangkat dalam film Long Road To Heaven (Surya Saputra, Alex Komang).

Gamang, kehilangan pekerjaan, trauma, dan kebingungan dahsyat melanda pemuda Hendrik. Tidak banyak yang bisa dilakukan di Bali. Pulau indah itu porak poranda dan tidak menjanjikan apa pun lagi. Pulang kampung adalah pilihan terbaik.

Awal tahun 2003 Hendrik pulang ke Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur. Menurutnya, dia pulang sebagai orang yang gagal memberikan kebanggaan buat orang tuanya di Wela, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai. “Saya sempat terpukul dan bingung tak tahu harus buat apa. Itu selama enam bulan,” tuturnya. Beberapa pilihan kemudian muncul, salah satunya adalah menjadi tenaga honor di instansi pemerintahan.

BACA JUGA
Tour de Flores, Perdebatan di Media Sosial, dan Nasib Seekor Kambing

Tetapi pilihan itu dia anggap tidak menarik. Gaji tenaga honorer tidak akan sebanding dengan jumlah pendapatannya selama di Bali. Hendrik juga merasa tidak cocok bekerja di instansi pemerintah. “Dalam diri saya, mengalir semangat wiraswasta. Saya pernah belajar berwiraswasta dari seorang pengusaha meubel di Makassar dan saya pikir saya bisa seperti dia,” katanya.

Pilihannya jatuh pada berdagang ikan kering. Peluang bisnisnya jauh lebih bagus dibanding pilihan-pilihan lain. Sejak itulah, lulusan akademi pariwisata ini banting stir dari dunia pariwisata ke dunia ikan kering. “Sama-sama sekitar pantai jugalah, Om,” candanya. Hendrik lalu menyewa satu stand kecil di Pasar Inpres Ruteng dan memulai bisnis ikan keringnya dengan modal Rp. 1.800.000.

Namun pilihan ini bukan tanpa tantangan.

“Awalnya orang tua saya sulit menerima. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah sekolah tinggi-tinggi harus jadi pedagang ikan. Tetapi saya tetap ngotot meminta restu. Dengan berat hati mereka kasi saya modal awal.”

Bisnis ikan kering menjadi pilihan karena minim risiko dan tetap memberi peluang untuk jalan-jalan. Ya. Untuk mengadakan ikan di Pasar Inpres Ruteng Hendrik harus membeli ikan ke daerah-daerah pemasok ikan seperti Labuan Bajo, Manggarai Barat bahkan sampai ke Jempea. “Setelah saya jalani, bisnis ini ternyata menyenangkan. Dan yang pasti saya bisa membiayai kehidupan keluarga saya,” katanya tersenyum.

Baca juga: Public Speaking; Pengertian, Pelaku, Tujuan, dan Alur

Hendrik melupakan traumanya atas peristiwa Bom Bali I dan kini mantap melangkah sebagai pengusaha ikan kering di Manggarai. Dia bahagia bersama istri dan dua anaknya. Mempekerjakan dua orang pedagang kecil, Hendrik juga membawa pengaru positif pada para penjual ikan kering di Pasar Inpres Ruteng.

BACA JUGA
Andai Dulu Saya Pilih Kampus dan Jurusan yang Tepat

“Dia jadi ketua kelompok ikan kering di pasar sekarang, dan kami banyak belajar cara melayani pelanggan dari pa Hendrik,” kata Thobias salah seorang pedagang ikan kering dari stan yang berbeda di Pasar Inpres Ruteng.

Bagi Hendrik pilihan hidupnya saat ini adalah sesuatu yang luar biasa. Tidak ada yang salah dengan orang berpendidikan tinggi dan jadi pedagang ikan,” pungkasnya. (Disarikan dari Talkshow Jumat RSPD Suara Manggarai Ruteng tanggal 18 Februari 2011).

***

Oh, iya. Di bagian awal tadi saya cerita soal bagaimana saya menemukan lagi tulisan ini, to? Saya dapat dari mesin pencari ketika sedang mencari info trafik blog ini. Hal tersebut adalah salah satu bagian wajib yang harus dilakukan blogger. Bermanfaat untuk perumusan posting-an berikutnya; menyangkut kata kunci, sasaran pembaca, dan hal-lain lainnya. Bukan untuk narsis, tentu saja.

Agar mesin mampu menampilkan informasi yang lebih jujur–google merayapi blog kita tanpa pengaruh cache atau akun yang sedang login–seorang blogger dianjurkan menggunakan incognito window). Materi-materi seputar cara membangun blog ini bisa dilihat di seri Menjadi Blogger Tidak Akan Buat Seseorang Mendadak Keren.

23 Mei 2018

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Foto karya Kaka Ited (di sini) .

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *