Televisi 14 Inci

Televisi 14 inci adalah satu-satunya hadiah yang saya bawa pulang dari tempat kuliah. Hadiah yang terlampau sederhana untuk Bapa dan Mama di kampung, padahal saya sudah bekerja sebagai penyiar radio ketika itu. 

televisi 14 inci
Televisi 14 Inci | Dok. ranalino.co

Televisi 14 Inci

Tibalah waktunya homili. Romo telah memulai kata pembukaan pada renungannya. Dia beri judul Kekuatan Cinta. Malam itu Ruteng dingin dan kami sedang mengikuti misa malam tutup doa untuk seorang kerabat yang meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Yang meninggal adalah seorang ibu dan oma yang terkenal dengan kesetiaannya pada Tuhan dan kecintaannya pada anak, cucu dan cece. 
Maka malam itu renungan pun bertutur tentang kekuatan cinta. Setelah Kreba Di’a, membaca Injil, Romo memberi homili. Jeda pada renungannya dengan ilustrasi yang manis. Dia berkisah tentang suatu ketika, pulang ke kampung halamannya dan bertemu dengan sahabat-sahabat kecilnya. 
Romo butuh bantuan untuk menanam anakan pohon mahoni di kebunnya dan lalu meminta bantuan sahabat dekatnya ketika kecil. Saat dimintai bantuan, sang sahabat bilang, “Eng ta yang penting bayar! (Bisa, tapi harus bayar),” yang disambung Romo dengan, “Eng ta yang penting weri (Oke, tapi harus tanam),” lalu tersenyum. 
Sampai di sini Romo berhenti sejenak dari ceritanya dan membiarkan kami tertawa. Iya, tertawa tertahan membayangkan seorang petani dan seorang Pastor berdialog akrab seperti masa kecil mereka dulu. Ah, indahnya cinta.. Tak ada kelas dalam strata sosial. Lalu, Romo terus bercerita. 
Baca juga: Harga Manusia Ditentukan Bersama

Saat menunggu sahabatnya itu selesai menanam anakan pohon mahoni, lewatlah seorang sahabat lain juga dari masa kecil, sekarang menjadi penjual ikan kering. Dia menggunakan lemba, pikulan dari bambu dengan rimpung ikan di kedua ujungnya. Berbasa-basi sejenak, si bapak penjual ikan langsung menawarkan ikan jualannya. 

Toe weli ikang ko, Tuang (Tidak beli ikan, Romo)?”
Pisa ca wase e (Seikat berapa)?”
“Dua pulu ribu, Tuang.”
“Aeh, mahal tu’ung pika ikang de hau tah (Mahal sekali).”
Tae kaut eme toe manga seng ta, Tuang (Bilang saja Romo sedang tidak punya uang)!” 
Sampai di sini kami semua, umat yang hadir, tertawa. Romo menuturkan ceritanya dengan gaya yang santai dan memikat. 
Dialog mereka berlanjut.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
FF100K Karina - Kompromi

Jadi weli ko, Tuang? Co’op kudut pareng lompong dise’t kerja pe. (Jadi beli ikan, Romo?. Biar bisa siapkan lauk untuk yang sedang kerja.)” 

Eng damang ga, sua wase’n e (Baiklah. Dua ikat, ya).” Lalu Romo mengeluarkan selembar 50 ribuan dan menunggu kembalian, tapi tak kunjung datang. 
Saat diminta kembaliannya, si penjual ikan hanya cuek dan bilang, “Cepisa kole di emi seng de Tuang ta, ho’o kali kesempatan cumang (Kapan lagi bisa ambil uangnya Romo. Jarang bertemu).” Kami tertawa lagi. Ah, kotbah yang menarik. Romo beristirahat sejenak dari ceritanya, tersenyum saat kami tertawa lalu kembali bercerita. 
Sang penjual ikan lalu berlalu dengan keuntungan lebih dari penjualan dua ikat ikannya pada sahabat lamanya. Saat itu, sahabat yang lain si penanam anakan mahoni telah selesai dengan tugasnya, bergabung bersama Romo di tepi jalan dan memandang si penjual ikan yang berlalu. 
Si penanam mahoni membaca tulisan di punggung baju si penjual ikan yang sobek bagian ketiaknya. Di sana tertulis “SMP TRI BAKTI REO”. Si penanam mahoni sontak berteriak, “Ai one pisa kaud sekola’m hau ta kesa, tara pake keta baju hitu (Apakah kau pernah sekolah sehingga bisa pakai baju seperti itu)?” 
Baca juga: Lembar Terakhir – Sebuah Cerpen Kolaborasi

Kami semua tertawa, kali ini lebih panjang. Saya menikmati kotbah malam ini, sungguh; sambil membayangkan dialog lucu dan renyah dari sahabat beda profesi itu. Dan Romo melanjutkan kisahnya. Ketika mendengar teriakan si penanam mahoni, sang penjual ikan tak menoleh terus melangkah sedikit menunduk dan menjawab: 

Baju reci de anak ta. Ai nggitu muing ite ata tu’a hoo, teing anak ata weru’d pake lite’s ata manga’d. Tama’t di’a kaut mose dise. Kong lonto di’a ise cepisa. Cala di’a diang, cala jari tai. Ai latang te ise de gori dite ata tu’a. (Ini baju warisan dari anak saya. Begitulah kita sebagai orang tua. Kepada anak kita berikan semua yang baru, yang lama milik mereka kita pakai. Asal mereka hidup baik. Supaya nanti bisa jadi baik. Karena untuk merekalah kita bekerja. Untuk anak-anak).” 
Ceritanya sampai di situ dan kami semua terdiam. Tak menyangka kisah itu berakhir sampai di titik itu. Saya tiba-tiba ingat Bapa Mama di rumah. Mereka punya televisi 14 inci dan saya menikmati gambar jernih dari TV langganan dengan ukuran yang sangat besar. 
Saya ingat mereka berutang kiri kanan agar saya bisa jadi sarjana, dan tersenyum bangga saat beberapa tulisan saya ada di media massa, nama saya diberitakan di koran. Bapa selalu membaca itu dan berkali-kali bilang ke Mama dengan bangga, “Oeh… masuk majalah ghoo ghe Armin (Armin ada di majalah ini).”

BACA JUGA
Haruki Murakami and Words We Don't Know on His "Norwegian Wood"

Mama juga bangga, kebanggaan yang membuat mereka lupa bahwa kalau saja tidak terlalu memikirkan kami anak-anaknya, mungkin mereka akan punya rumah besar dan televisi yang lebih besar.


Salam
Armin Bell

Dari Ruteng, Flores yang dingin dan kami yang diam.
Bagikan ke:

12 Comments

  1. Standar kebahagiaan orang tua biasanya beda dengan yang kita pikirkan e. Lihat kita tumbuh besar saja, orang tua bahagianya luar biasa bahkan tanpa harus kita berbuat apa-apa 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *