soal sandiaga uno diusir pedagang ikan di labuan bajo blogger ruteng ranalino armin bell

Soal Sandiaga Uno Diusir Pedagang Ikan dan Hal-hal di Sekitarnya

Dalam kunjungannya ke Labuan Bajo, Sandiaga Uno diberitakan diusir pedagang ikan ketika berkunjung ke pasar ikan di Kampung Ujung. Yang diusir sesungguhnya bukan Sandiaga Uno.


Ruteng, 19 Maret 2019

Yang diusir itu sesungguhnya bukan Sandiaga Uno. Tetapi yang (selalu) viral adalah yang pertama dan menggoda.

Kabar Sandiaga Uno ke Labuan Bajo, Ibukota Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, hari Selasa, 27 Februari 2019 membuat saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman di tempat yang jauh. Mereka ingin tahu bagaimana reaksi kami orang-orang Manggarai mendapat kunjungan seorang calon wakil presiden. Duh!

Mengapa saya yang ditanyai?

Mereka tahu saya tinggal di Manggarai. Yang mereka tidak tahu adalah jarak tempat saya tinggal, yakni di Ruteng, ke tempat cawapres milenial itu berkunjung adalah dua jam bersepeda motor dengan kecepatan tinggi, tiga jam bermobil dengan kecepatan cukup (empat jam jika bermobil sekeluarga dan dua atau tiga anggota keluarga mabuk darat), dan empat atau lima hari berjalan kaki.

Tapi kita begitu, kan? Asal dibangun oleh kata yang sama, meski dua tempat itu berjauhan letaknya, kita pikir itu adalah tempat yang sama. Siapa yang bisa jamin bahwa seseorang di Stasiun Manggarai di Jakarta tidak ditanyai juga seputar kunjungan Sandiaga Uno ke Labuan Bajo?

Kemungkinan dialog:

“Pak Sandi ke Manggarai?”
“Bukan. Ke Labuan Bajo. Manggarai Barat. NTT.”
“Oh, Labuan Bajo bukannya di Stasiun Manggarai?”
“Bukaaan.”
“Yaaah… Berarti di Stasiun Manggarai tidak ada Komodo? Padahal kita sekeluarga sudah mau piknik di stasiun, lihat Komodo dan Pak Sandi.”
“%$RV&$^*U(*&^##@k…”

Begitulah. Tidak perlu heran. Apa saja bisa terjadi di dunia yang fana ini. Daun semangka saja bisa berdaun sirih di lagu nostalgia paling memorable milik Broery Marantika, terus kau paksa orang tidak boleh keliru soal lintang dan bujur Labuan Bajo, tempat kunjungan Sandiaga Uno? Kaka sedang sakit barangkali.

Maka saya tidak marah meski harus satu per satu membalas pesan-pesan itu dengan menyertakan berbagai tautan, tentang sejarah pendirian kabupaten, sejarah provinsi, dan lain-lain. Juga karena itu bukan pekerjaan yang sulit. Lha, yang skripsi saja bisa pakai Wikipedia jadi sumber, kenapa yang balas sms atau WA tidak bisa melakukannya? Tetapi ternyata tautan Wiki yang saya sertakan tidak dibaca. Hiks… Begitulah kita. Selalu merasa malas mengklik tautan dan bertanya lagi. “Kok malah dikirimi link ini sih, Min? Ini link apa? Nggak nyambung deh. Saya kan tanya, kemarin ketemu Sandiaga nggak?”

BACA JUGA
KSP Kopdit Mawar Moe Tetap Sehat di Tengah Pandemi

Saya tidak menangis. Saya masih anggap itu wajar. Apalagi soal Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat dan satu lagi namanya Manggarai Timur, semua penduduknya disebut Ata Manggarai. Orang Manggarai. Dan saya orang Manggarai. Maka saya tahan saja air mata itu, lalu ke pasar membeli mentimun. Katanya baik untuk mengurangi tekanan darah. Saya memang senang beli mentimun kalau hubungannya sudah dengan geografi. Dulu, waktu Sumba di NTT dinobatkan jadi pulau terindah di dunia oleh salah satu majalah pariwisata terkemuka di dunia fana ini, dan kami yang di NTT sedang bangga-bangga-bangganya, beberapa media memberitakannya sebagai “Sumba di NTB”, kami (atau saya saja barangkali) tidak marah-marah dan hanya beli mentimun segar saja.

Toh, kebodohan dan kekeliruan bukan hanya milik yang tidak pernah baca peta buta, tetapi sesekali bisa jadi milik semua termasuk para jurnalis-jurnalis hebat di media yang onlen-onlen itu. Maka, alih-alih merasa terganggu dengan pertanyaan salah alamat yang diulang-ulang itu, saya mengajak mereka mencermati linimasa facebook. Itu lebih mudah daripada mengirim tautan dari portal berita. Kenapa bukan twitter? Karena orang NTT tak sering nongkrong di taman baca maksudnya di twitter. Kami adalah anak-anak Mark Zuckerberg. Begitulah.

Baca juga: Media Massa Daring dan Masalah Akut Bernama Penyuntingan

Sebenarnya bukan hanya NTT. Indonesia kan begitu. Trending topic di twitter itu jualan tagar saja. Ramainya tetap di facebook. Ada datanya kok. Data agak lama, memang. Tahun 2018 awal, We Are Social, sebuah perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite melaporkan bahwa twitter ada di peringkat ketujuh sebagai medsos (social network dan messenger/chat app/voip) paling populer di Indonesia. Di peringkat pertama sampai enam: youtube, facebook, whatsapp, instagram, line, bbm. Iya. BBM yang dulu itu. Masih ada yang pakai ternyata.

BACA JUGA
Illo Djeer, Musisi Asal Manggarai di Double Doors dan Panggung-Panggung Lain

Nah, balik lagi soal linimasa facebook seputar kunjungan Sandiaga Uno ke Labuan Bajo tadi. Ternyata memang ramai. Ramai yang seperti biasa. Pro dan kontra. Hoax dan hate speech. Aktivis medsos dan juru kampanye. Kapan 17 April itu datang, Tuhan?

Yang paling ramai adalah potongan rekaman ketika seorang penjual ikan di pasar, mengamuk saat Sandiaga Uno dan rombongan plus kakak-kakak jurnalis itu blusukan. Si penjual ikan berbaju merah ini berteriak-teriak. “Jangan injak di atas. Hei… Jangan injak di atas. Puk… Orang mau belanja nanti ….!” Teriakan itu terdengar di video yang menayangkan muka Sandiaga Uno yang terkaget-kaget mendengar teriakan itu. Ya, iyalah. Masa Sandiaga terkaget-kaget karena dia bukan di Stasiun Manggarai. Iya to?

Akibatnya sungguh luar biasa. Video itu viral di facebook, dilengkapi dengan kepsyen: Sandiaga Uno diusir pedagang ikan. Kepsyen itu yang bikin videonya viral dan menyinggung hal-hal seumpama: Labuan Bajo Basis Jokowi, Jangan ke Labuan Kalau Bukan Jokowi, Orang Flores itu Suaranya Saja yang Keras, dan lain-lain. Berita (atau cerita?) bahwa Sandiaga Uno diusir pedagang ikan menjadi seolah-olah benar. Padahal memang benar, eh, maksudnya tidak benar-benar amat.

Yang terjadi adalah, yang diusir diteriaki pedagang ikan itu bukan Sandiaga Uno. Seseorang di pasar itu ingin melihat Sandi dari dekat dan mengambil gambar. Naiklah dia ke surga, eh, ke tempat yang lebih tinggi, yang ternyata adalah tempat si pedagang menggerai ikan-ikan kering dagangannya. Hei… Dia pasti marah. Jualannya diinjak-injak, pedagang mana yang tak marah? Atau Kaka dorang mau kalau orang datang injak Kaka dorang punya muka yang sering dijual di medsos itu? Tidak to? Tetapi yang tampak di video adalah muka Sandiaga Uno yang kebingungan. Bisa tebak kelanjutan kisah ini, bukan?

Baca juga: Lima Kesalahan Penulisan Terpopuler di Media Massa Daring

Begitulah. Linimasa facebook ramai riuh. Tiba-tiba saja percakapan bergeser ke orang Flores tidak hargai tamu, orang NTT kasar-kasar, pedagang ikan harus pakai baju merah (halaaaah), dan di NTT Jokowi akan menang 100%. Para what-so-called filsuf turun gelanggang, membuat analisis kebudayaan.

BACA JUGA
Menjadi Master of Ceremony atau MC yang Tidak Menyerap Jutaan Cahaya dan Selucunya Saja

Barangkali di satu sudut kamar, seorang mahasiswa semester akhir mengubah judul tugas akhirnya menjadi: Pengaruh Pasar Ikan dan Teriakan Pedagang pada Perilaku Konsumen dan Pemilih Pemula. Di tempat lain, stigma bahwa orang Flores selalu kasar semakin menguat. Beberapa orang menjadi setuju dengan wacana penutupan Pulau Komodo. Orang Flores yang terkenal toleran menjadi begitu ganas kalau menyangkut perbedaan pilihan politik. Dan lain-lain, dan lain-lain. Ampun, Kakaaaaak.

Saya kasi tau e. SATU VIDEO PENDEK SAMA SEKALI TIDAK BISA JADI DASAR PENGAMBILAN KESIMPULAN PENTING.

“Kata siapa? Tuh, buktinya. Ada cawapres ke pasar, malah diteriakin.” Begitu kata teman saya dari jauh, dan teman-teman lainnya di media sosial. Mereka adalah aktivis-aktivis politik di media sosial yang enggan disebut bersumbu pendek. Dari kedua kubu. Sama saja. Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya izin makan mentimun dulu.

Situasi: Saya makan mentimun, minum air putih, menahan tangis. Berlangsung selama tiga menit.

Saya sudah lebih tenang sekarang. Saya bisa melanjutkan tulisan yang telah tiba di bagian akhir ini.

Begini. Reaksi pedagang ikan yang suaranya menggelegar di video yang viral di NTT dan dipakai pendukung Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin itu, tidak akan menyumbang apa pun untuk perolehan suara kedua kubu capres-cawapres itu. Mereka sudah menentukan pilihannya jauh sebelum peristiwa itu terjadi dan mereka memandang yang belum menentukan pilihan hingga detik ini adalah orang sakit. Kau bisa apa?

Berhentilah menggunakan waktumu untuk berdebat tak penting, dan mulailah belajar peta. Biar nanti tidak keliru lagi soal Stasiun Manggarai dan Manggarai, NTT dan NTB, Flores dan Lembata, Papua dan Timor, dan lain-lain. “Min, emang bener ya, kalau konser Australia itu suaranya bisa kedengaran di Flores?” Tanya teman saya lagi. MENTIMUN MANA MENTIMUN?

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Gambar dari VOI.

Bagikan ke:

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *