Sayang Mama pada Film Cerita dari Lapak

Cerita dari Lapak adalah film dokumenter yang diproduksi oleh Komunitas Mata Rantai, Labuan Bajo. Film ini mendokumentasi sebagian kisah hidup para pedagang di sebuah pasar di Labuan Bajo. Yang didokumentasi adalah para Mama. 

sayang mama pada film cerita dari lapak
Cerita dari Lapak | Image: Courtesy of Mata Rantai Labuan Bajo

Sayang Mama pada Film “Cerita dari Lapak”

Film ini mencoba memotret sisi yang tidak dapat dijumpai dalam keadaan biasa di pasar: interaksi antara penjual dan pembeli. Saya mendapat kepercayaan menjadi salah seorang pembedah ketika film dokumenter ini diluncurkan di LG Corner Ruteng. 
Dibacakan pada acara nonton dan diskusi film pada hari Minggu, 19 Juli 2015 silam, saya sesungguhnya tidak cukup percaya diri karena hanya sekali menyaksikannya serius plus sekali nontoncepat.
Saya tidak sempat mengambil jarak ketika menulis pembacaan atas “Cerita dari Lapak” ini. Biasanya, saya membiarkan apa pun mengendap beberapa saat sebelum memberikan komentar, terutama jika itu adalah hasil karya kreatif.

Saya bisa langsung bilang: “Perempuan itu cantik!” jika melihat wajahnya sebagai hasil ciptaan Tuhan, tetapi akan butuh waktu yang lebih lama untuk memberikan komentar tentang apakah make up-nya menor atau malah kurang gincu. 

Sebagai hasil pembacaan yang ‘terlampau cepat’, harap maklum jika beberapa hal yang diharapkan sebagai hasil pembacaan yang benar malah tidak muncul. Saya berusaha untuk “membaca sedikit saja” agar tidak menyebabkan kesengsaraan; diri saya sendiri karena harus menghasilkan tulisan yang panjang, dan peserta diskusi yang harus mendengar bahasan yang juga panjang padahal tanpa poin yang jelas. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tentang Judul: Cerita dari Lapak

“Cerita dari Lapak” mungkin bukan judul film yang mampu menggoda saya. Tetapi menilai film dari judul tentu saja tidak adil, sama “tidak adilnya” dengan menyebut Labuan Bajo sebagai kota pariwisata hanya karena pemerintah setempat menyebutnya demikian padahal penampakannya sebagai kota pariwisata belum cukup meyakinkan. 

Saya anggap saja judul film dokumenter garapan produksi Sun Spirit dan Mata Rantai ini sama menipunya dengan judul Labuan Bajo sebagai kota pariwisata, hanya saja dalam situasi yang bertentangan: film dokumenter ini mempunyai isi yang lebih baik dari judul, sedangkan isi Labuan Bajo mungkin sebaliknya. 

Penentuan judul yang menarik dan bernilai jual adalah salah satu hal yang wajib dipikirkan oleh film maker agar karyanya menarik hasrat, termasuk bahwa judul sebaiknya langsung menggiring calon penonton membayangkan isi cerita. Tentang apakah “Cerita dari Lapak” bukan judul yang baik, tentu saja tidak. 
Judul film ini baik, memenuhi kaidah atau batasan jumlah kata dan huruf tetapi sepertinya ‘terlampau’ sehari-hari . Untuk yang sering nonton televisi, kerangka berpikirnya malah mungkin akan langsung ke bukalapak(dot)com atau lazada(dot)com atau situs-situs/lapak-lapak lain di internet yang menawarkan banyak hal, mulai dari batu akik sampai pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. 

Tentang Mama

Siapakah Mama? Dia adalah temannya Bapa. Bersama, mereka disebut orang tua. Tidak jelas di zaman mana bermula, tetapi kata orang tua lalu menjadi tanda kewajiban memberi hidup pada anak-anak mereka. Dalam situasi bahwa Bapa telah pergi–entah mati entah cerai, maka Mama lalu menjadi orang tua, dengan kewajiban yang tidak berubah: memberi hidup pada anak-anaknya. 
Caranya? Dengan berjualan, duduk seharian di lapak yang bukan lapak, sepanjang minggu, bulan dan tahun agar anak-anak mereka hidup. Dan anak-anak yang “hidup” dalam kacamata orang-orang kebanyakan adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan; bersekolah.

BACA JUGA
Orang Cerdas itu Mendengar dengan Baik

Baca juga: Ketika Franco Lebih Berkuasa di Vatikan

Dokumenter “Cerita dari Lapak” menuturkan itu dengan baik: Seorang Ibu menangis membayangkan kalau dia tidak bekerja, anak-anaknya akan putus sekolah.

Giliran saya yang membayangkan apa yang akan anak-anak itu lakukan setelah lulus sekolah? Sebagian mungkin akan menjadi Kepala Dinas, Bupati, atau orang-orang koorporasi besar. Atau bahkan sekarang telah begitu. Anak-anak yang berhasil “hidup” dari hasil Ibunya berjualan di pasar itu, telah menjadi penentu kebijakan. Lalu apa yang anak-anak itu lakukan? 
Film ini lalu saya baca sebagai gugatan kepada anak-anak itu. Anak-anak yang tampak lupa pada situasi dari mana mereka berangkat. Ataukah itu habit, bahwa seseorang yang telah berhasil akan secara otomatis menghapus ingatan dari masa kecilnya yang buruk? 
Atau mungkin semacam balas dendam bahwa yang masa kanak-kanaknya tidak bahagia, ketika menjadi pemimpin akan berusaha agar kanak-kanak lain mengalami nasib serupa dia? Maka Mama dari kanak-kanak lain itu dibiarkan mengalami kesulitan modal usaha, terpaksa membangun lapak sendiri saat seharusnya di mana seharusnya pemerintah menyiapkannya dengan baik. 
Ah, kita mungkin sedang sakit jiwa.
Film ini baik disaksikan oleh semua orang sebagai sebentuk usaha melawan lupa, terutama ketika dalam setiap kampanye, hampir setiap orang berusaha mempromosikan peran strategis perempuan dalam bidang ekonomi; bahwa bukan zamannya lagi perempuan tinggal di rumah dan sibuk dengan urusan-urusan domestik saja tetapi juga harus menjadi pelaku ekonomi aktif.

Akan sangat disayangkan jika, saat kita mendorong perempuan-perempuan yang “hanya di rumah” untuk aktif secara ekonomi, di saat yang sama mama-mama yang telah lama aktif di lapak-lapak dalam film dokumenter ini, ditelantarkan. 

BACA JUGA
Jauh di Atas Hujan
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tentang Gambar pada Film 

Setiap produk komunikasi menuntut adanya gagasan atau pesan (message). Dalam film, produknya adalah gambar dan suara. Ketika menyaksikan “Cerita dari Lapak” kita dapat melihat bagaimana usaha tersebut tampak jelas ingin disampaikan oleh pembuat film baik dalam pilihan musik, potongan-potongan gambar, soundbite dan lainnya. 

Hanya saja, penggunaan teknik timelapse pada beberapa bagian cerita, yang menampilkan “kesibukan biasa” di pasar–tampaknya ditujukan untuk mengisahkan tentang kesibukan di lapak-lapak tersebut–justru tanpa sadar menjauhkan kita dari para Mama dan keluhan-keluhan mereka. 

Padahal, prinsip suatu cerita adalah masuk akal (make sense), dan ini tercermin dari hubungan logis bagian-bagian cerita; setiap motif dan tindakan merupakan hubungan sebab akibat yang harus dapat diterima logika.

Meski sebenarnya scene timelapse itu digunakan sebagai jembatan, materinya tidak secara dramatis mendukung cerita. Saya membayangkan bagian ini berisi adegan seorang Mama melayani seorang pembeli, atau menatap ke arah datangnya pembeli. 

Bagaimana pun, “Cerita dari Lapak” adalah karya yang hebat karena intensinya yang mulia; membela Mama. Bukankah anak-anak yang baik akan selalu sayang Mama? Semoga anak-anak yang sekarang mau jadi pemimpin di Manggarai Barat juga akan sama seperti para pembuat film ini: menyayangi Mama.

Sutradara muda ini telah menunjukkan usaha itu, sayang Mama, dengan mendokumentasikannya dan menunjukkannya pada kita semua; sebuah gugatan bahwa kenikmatan yang kita peroleh kini adalah hasil dari usaha seorang Ibu. Kita bagaimana?

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bahan bacaan: Ashadi Siregar, Menyingkap Media Penyiaran Membaca Televisi Melihat Radio, LP3Y, 2001

Kisah anak muda kreatif lainnya dapat disimak di: Orang-orang Muda Hebat di Kupang
BACA JUGA
Kisah Pater Roosmalen Bagian 1: Di Tengah Perang
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *