Orang Cerdas itu Mendengar dengan Baik

Di tengah arus informasi tak terbendung, semua orang mendadak menjadi pengamat. Semua hal dikomentari. Saya lalu ingat tokoh masa kecil saya bernama Om Rafael, komentator segala bidang. Astaga. Negeri ini memerlukan lebih banyak pendengar.

orang cerdas itu mendengar dengan baik
Mendengar dengan Baik | Foto: Armin Bell

Orang Cerdas itu Mendengar dengan Baik

Tentang Cara Memilih, Belajar dari Bob Marley 
Beberapa tahun terakhir, negara-negara dunia pertama beramai-ramai melakukan apa yang saya sebut sebagai intervensi sosial pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dalam bahasa yang lebih populer, kita mengenal istilah pemberdayaan atau upaya mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. 
Pada tataran praksis, pelaku intervensi sosial ini sebagian besar menamakan diri sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat, beberapa menggunakan istilah NGO (Non Government Organization) atau organisasi di luar pemerintah yang berbuat baik memaksimalkan apa yang kurang maksimal dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah.

Dana dikucurkan oleh pihak-pihak peduli di negara maju, agar masyarakat di negara berkembang memberdayakan diri mereka sendiri untuk maju. Kira-kira demikian konsep besarnya. 

Malcom Payne dalam bukunya Modern Social Work Theory mengungkapkan, pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial. 

Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (1997: 266). 

Mengapa saya menyebutnya sebagai intervensi sosial? Bukankah intervensi berkonotasi pada hal-hal negatif; yakni campur tangan orang lain pada apa yang tidak seharusnya menjadi urusannya?

BACA JUGA
Dan Bekerja Sama, Belajar dari Usulan Ruben

Baca juga: FF100K Karina – Kompromi

Secara sederhana, jawabannya adalah karena seseorang (baca: masyarakat) tidak lagi tahu bagaimana mengurus dirinya sendiri (situasi sosial) atau terlalu percaya diri meski sebenarnya tidak banyak tahu–padahal memiliki cukup besar potensi–maka kehadiran orang lain menjadi penting. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tugas mereka adalah mengingatkan. Maka intervensi sosial menjadi penting, meski kadang para pengintervensi menjadi tidak disukai; karena tidak ada seorang pun yang sudah merasa hidupnya baik-baik saja lalu tiba-tiba diingatkan untuk berusaha agar lebih baik, akan suka dengan yang mengingatkan itu. Kita hidup di zona nyaman, dan campur tangan orang lain meski nantinya berdampak positif tetap tidak disukai. 

Pemberdayaan menjadi dianggap penting karena dia adalah upaya berencana yang dirancang untuk merubah atau melakukan pembaruan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi ketidakberdayaan menjadi berdaya dengan menitikberatkan pada pembinaan potensi dan kemandirian masyarakat. 
Dengan demikian mereka diharapkan mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depan mereka, dimana provider dari pemerintah dan lembaga non government organization hanya mengambil posisi partisipan, stimulan, dan motivator. Maka dana banyak dikucurkan untuk kepentingan tersebut. Berhasilkah? Dengan terlampau banyak indikator, mestilah sulit mengukur efektivitasnya. 
Saya lalu teringat pada mendiang Bob Marley (1945 – 1981), penyanyi reggae legendaris dari Jamaica yang pada suatu masa dalam kegelisahan besarnya menulis Redemption Song: …Emancipate yourselves from mental slavery; None but ourselves can free our minds. Lagu ini dirilis setahun sebelum Marley meninggal dunia, ada dalam album Uprising (1980). Semangat lagu ini hemat saya adalah seruan untuk memberdayakan diri sendiri tanpa intervensi pihak lain, sesuatu yang sudah dilakukan sendiri oleh Robert Nesta Marley. Salute! 
Sayang memang, seruan lewat kesenian selalu berujung pada ‘hanya’ kekaguman dan tidak berdaya menggerakan secara masif. Seperti kita hanya mampu mengulang-ulang wakil rakyat, seharusnya merakyat dari musisi besar Iwan Fals dalam nyanyian santai saat berkumpul dengan para sahabat dan selesai.

BACA JUGA
FF100K Karina - Kesadaran

Baca juga: Tarian Caci, Warisan Leluhur Manggarai

Kita tetap tidak berdaya bahkan untuk membuat diri kita sendiri bangkit dan mengingatkan para wakil rakyat itu untuk benar-benar merakyat. “Asal masih bisa makan tiga kali sehari, kita baik-baik saja,” kata kita dalam hati. 

Maka ketika menjelang Pemilu atau Pemilukada, beberapa pihak melakukan kampanye agar kita menjadi pemilih cerdas sehingga siapap un yang terpilih akan mampu menyuarakan apa yang kita butuhkan, kita (memang) mengangguk-angguk setuju tetapi dalam hati tetap bilang, “Siapapun yang terpilih, toh kami tetap akan begini!”. 

Akibatnya adalah, dasar pengambilan keputusan kita dalam Pemilu atau Pemilukada akan cenderung primordial, bahkan lebih menyedihkan adalah karena kepentingan sesaat; siapa membayar sebelum pemilihan akan mendapatkan suara kita. 

Ketika bulan November 2012 silam ada kelompok yang sampai harus melakukan ritual keagamaan sebagai bentuk penolakan bentuk atas kehadiran beberapa LSM asing (Greenpeace, Rainforest Action Network RAN dan Disney), saya terdiam. Ketiga LSM ini pada prinsipnya berpikir tentang lingkungan hidup, tetapi kemudian dianggap sebagai: mewakili kepentingan asing (entah siapa) untuk mematikan perekonomian Indonesia. 
Pernyataan Mendagri ketika itu, bahwa Greenpeace tidak pernah terdaftar di Kesbangpol Kemendagri, menjadi alasan pantas untuk menolak kehadiran mereka. Intervensi sosial ini seperti gagal bahkan meski ini benar-benar bertujuan menyelamatkan lingkungan hidup di negeri ini karena pemahaman ini: kita bukan budak negara lain, sehingga kita tidak pantas diintervensi (baca: diberdayakan). Kita mampu mengurus negara/diri kita sendiri. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Baiklah jika memang demikian. Kita akan memberdayakan diri kita sendiri, tentu saja! Tetapi apa kita tahu apa yang harus diberdayakan? Konsep pemberdayaan pada prinsipnya harus dilandasi kesadaran akan potensi diri, sesuatu yang saya pikir sulit disadari ketika misalnya menjelang Pemilihan Gubernur kita masih berpikir untuk memilih calon yang adalah keluarga atau calon yang memberi kita uang. 

BACA JUGA
Gratitude Box: Beberapa Langkah
Semangat bahwa kita bukan budak siapa pun tentu saja sesuatu yang hebat, tetapi bahkan orang besar pun harus diingatkan orang lain agar potensinya lebih bisa dimaksimalkan. Emancipate yourselves from mental slavery kata Bob Marley. Dia bilang mental. 
Pihak-pihak yang peduli yang bergabung dalam LSM atau apa pun itu menjadi penting kehadirannya sepanjang mereka benar-benar berjuang memberdayakan dan tidak mewakili hidden agenda pihak pendonor. Kehadiran mereka–orang lain yang mengingatkan agar kita semakin menyadari potensi diri–seharusnya dipandang sebagai intervensi sosial yang baik, sebagai bagian yang berjalan bersama dengan niat kita:…bebaskan diri kita dari mental menjadi hamba sahaya, karena hanya kita yang mampu membebaskan diri sendiri! 
Maka ketika ada yang berniat tulus memberikan pendidikan politik agar kita menjadi pemilih yang cerdas, yang harus kita lakukan adalah mengangguk dengan tulus. Kecurigaan berlebihan tanpa alasan yang cukup pada pihak-pihak tertentu, menganggap kita (atau calon kita) sangat hebat padahal tidak sehebat itu, memandang manuver pihak lain sebagai upaya menjatuhkan kita, jangan-jangan adalah bagian dari mental slavery.  
Begitulah! Hemat saya, orang cerdas itu mendengar dengan baik. Ya, orang cerdas itu pastilah pendengar yang baik. Dia punya telinga.
Salam 
Armin Bell
Ruteng, Flores

Setelah mendengar Redemption Song.
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Kita adalah negara yang besar. Baik jumlah penduduk maupun sumber daya. Tapi tak dipungkiri, kita lebih sering “kurang pede”, sehingga kita lebih menggantungkan orang lain untuk mengubah kita. Sebagai contoh, orang berbondong-bondong datang ke seminar tentang motivasi. Saya tidak mengatakan bahwa ini hal yang tabu. Namun dengan menilik banyaknya peserta, bisa diduga banyak orang yang tidak “pede” dengan dirinya sendiri atau mungkin malas belajar? Sehingga hasil belajar dari orang lain yang dipakainya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *