Kisah Pater Roosmalen Bagian 1: Di Tengah Perang

Tokoh kita kali ini adalah seorang Imam yang berasal dari negeri yang jauh, memutuskan berkarya di Nuca Lale, dan menjadi sepenuh-penuhnya orang Manggarai; membangun, dan mencintai Manggarai sampai mati. Beliau dikenal sebagai Pater Yan van Roosmalen.

kisah pater roosmalen bagian 1 di tengah perang
Pater Yan van Roosmalen

Kisah ini ditulis oleh Dosen STKIP St. Paulus Ruteng, Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum dengan judul “Sekali Flores Tetap Flores”*). Akan diunggah dalam tiga bagian bersambung di RanaLino, yakni cerita masa kecil hingga menjadi imam: Di Tengah Perang; catatan perjalanan ke Indonesia: Menuju Timur; dan kisah pengabdiannya di Manggarai: Menjadi Guru. Saya berterima kasih kepada penulis, yang mengizinkan pemuatan kembali kisah Pater Roosmalen ini. 

Kisah Pater Roosmalen Bagian 1: Di Tengah Perang

Pater Yohanes Hendrikus van Roosmalen lahir sebagai anak ke 5 dari 13 bersaudara di Erde-Vegel Nederland, 27 Agustus 1920 dari ayah Petrus van Roosmalen dan ibu Wihelmina Katerlaars. Ayah dan ibu adalah teladan hidup. Figur ayah yang sederhana, jujur, tekun, tabah dalam kesusahan, penderitaan dan kekecewaan, membentuk kepribadian dan karakter Pater Yan. Ia benar-benar kagum pada sang ayah yang tak suka mengumpat dan menjelekkan nama orang lain. 
Ibunya seorang yang sangat rajin dan suka bekerja keras. Sejak dini semua anak dilibatkan dalam pekerjaan sebagai petani. Saat masih SD, Yan kecil sudah terlibat membajak sawah dan menyortir telur di peternakan milik orang lain. 
Meski keluarga itu adalah keluarga petani sederhana namun begitu besar minat mereka mengenai keadaan dunia-dunia di luar Belanda, khususnya daerah-daerah misi. Sebagai keluarga Katolik setia, seluruh anggota keluarga rajin beribadah.

Baca juga: Cinta Sederhana di Novel “Mawar Padang Ara”

Yan kecil telah terbiasa mengikuti perayaan ekaristi harian dan akan menyalahkan diri jika terlambat bangun dan alpa misa. Tak heran panggilan menjadi imam tumbuh semenjak masa kanak-kanak. Benih panggilan juga ada pada seorang kakak perempuannya yang kemudian menjadi misionaris di Pematang Siantar, Sumatra Utara. 

Panggilan menjadi imam benar-benar mulai dipikirkan Pater Yan sejak kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Pernah sekali ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah saya terpanggil menjadi imam dan seminari mana yang saya pilih?” Ketika pertanyaan itu akhirnya diajukannya, ibunya menjawab, “Boleh masuk seminari, asal tahu pasti engkau dipanggil Tuhan”. Semenjak itu ia selalu berpikir mengenai panggilannya dan berniat menjadi misionaris. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Keyakinan ini diperkuat oleh kedatangan tak disangka Pater Rektor Seminari Uden ke rumahnya, mengajaknya masuk seminari. Kala itu ia sedang bekerja merapikan pagar tetangga bersama kakaknya. Kakaknya yang seorang lagi memanggil namanya dan mendesaknya segera pulang ke rumah karena Pater Rektor ingin berbicara dengannya. Hal ini terjadi tahun 1934, setamatnya Yan kecil dari SD.

Ia bergegas pulang dan sang Pater telah berbicara dengan ibunya. Kemudian sang ibu membiarkan mereka berbicara berdua. Sang pater merayunya agar mau masuk seminari dengan mengatakan bahwa di seminari itu bagus, banyak olah raga dan hari-hari untuk pesiar. Yan kecil menjawab, “Memang saya pikirkan, tetapi belum ada kepastian Tuhan memanggil saya”. Rektor berkata, “Kepastian itu baru bisa datang paling cepat setelah 12 tahun”.

Jawaban itu membuat kebimbangannya hilang dan memutuskan masuk seminari. Kakaknya lalu sibuk membeli keperluan untuk masuk seminari seperti pakaian, selimut, dan satu selimut merah yang tebal masih disimpannya di STKIP Ruteng sebagai kenangan hingga akhir hayatnya. 

Masa seminari menengah dimulai tahun 1934 hingga awal perang dunia II yang berkecamuk hebat. Sebelum melanjutkan ke novisiat, semua seminaris dites dan diwawancarai oleh Perfek seminari untuk menentukan layak atau tidak diterimanya seseorang menjadi novisiat.

Pertanyaan cukup sederhana, yakni apa yang dilakukan di masa liburan. Pater Yan menjawab, “Saya membantu bapa mengambil berkas gandum, memasukkan ke dalam gudang, menolong menanam sayur dan bunga bersama kakak perempuan. Nasihat prefeknya, “Buka mata bagi orang lain adalah syarat untuk menjadi misionaris dan religius”. 

Masa novisiat dijalankan selama dua tahun di Hervoirt di mana ia mulai mengenakan jubah hitam kecil. Tanggal 8 September 1942 adalah hari istimewa karena ia mengikrarkan kaul pertama. Masa novisiat berakhir Juli 1943, semuanya berlangsung dalam masa perang. Selanjutnya adalah masuk Seminari tinggi di Tetringen. Tanggal 9 September 1943 merupakan  pembukaan tahun kuliah filsafat di Tetringen. 
Semangat mengikuti para mahasiswa perkualiahan hari pertama harus dipatahkan dengan penyampaian sebuah pengumuman penting: “Seminari St. Fransiskus Xaverius tempat kuliah ini disita tentara Jerman untuk waktu tidak tentu. Seminaris diberi waktu dua hari untuk mengosongkan semua ruang tidur, kelas, dan bilik lainnya”. 
Sebagai akibatnya, sebagian seminaris dipindahkan ke Steyl. Yan van Roosmalen masuk dalam kelompok yang dipindahkan ke Steyl itu namun ternyata gedung SVD di sana juga sudah disita tentara Jerman. Mereka diizinkan menempati satu gedung di mana para seminaris disambut oleh pater dan burder berkebangsaan Jerman. Pada dasarnya Pater dan Bruder-Bruder ini merasa sangat malu karena bangsa merekalah yang menyita Seminari di Tetringen maupun di Steyl. 
Meski dalam situasi darurat perang, secara umum studi filsafat berjalan dengan baik di ruang terbatas. Gangguan keributan serbuan tentara Inggris yang menjatuhkan bom di daerah industri Jerman adalah hal biasa. Selalu ada resiko bom jatuh di atas rumah mereka. Kecemasan akan bahaya maut membuat seminaris harus memantapkan iman dan pengharapan. Mereka sering melantunkan lagu “Jiwa orang benar dan suci ada di tangan Tuhan”. 
Perang berkecamuk makin ganas tahun 1944. Tanggal 21 November 1944 sebuah granat jatuh di rumah mereka saat makan siang. Beberapa orang menjadi korban dan untungnya Yan muda selamat. Mereka lari dan tinggal di ruang bawah tanah dan terus bersembunyi. Peperangan berlangsung 100 hari dan mereka terus hidup semacam di dalam penjara di ruang bawah tanah. 
Di masa itu tentara Jerman juga kerap menangkap para frater. Meski pun Frater Yan van Roosmalen selalu luput, ia merasa sangat sedih dan terpukul kehilangan sahabat-sahabatnya. Itulah perang, selalu membawa kisah pilu.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tanggal 2 Desember 1944 hari tak terlupakan dalam hidup Pater Yan. Siang itu ia keluar dari gedung bawah tanah tempat persembunyian mereka dan berdiri di pintu hendak melihat sungai Maas yang meluap. Tiba-tiba kepalanya dihantam benda keras. Dia berpikir pecahan granat menimpanya namun ternyata sebuah palang pintu. 

Karena kepalanya sakit, ia bergeser dari berdiri di pintu dan kembali masuk ke dalam. Sesaat ia beranjak dari pintu, sebuah granat besar meledak persis di tempat ia semua berdiri. Dinding tembok hancur berantakan. Jika ia berada di sana, ia juga pasti akan hancur. Inilah pertolongan Tuhan yang mempunyai rencana indah bagi hidupnya di masa depan. 
Selama masa perang beberapa konfrater dan orang yang bekerja untuk mereka meninggal karena gena granat. Itu bukan masa yang mudah menyaksikan banyak kawan meninggal dunia, demikian Pater Yan menulis. Perang baru usai sekitar Maret 1945. Para frater di seminari tinggi kembali berkuliah sesudah Paskah 1945.

Baca juga: Di Ruteng Ada Petra Book Club

Mereka juga bekerja memperbaiki dan membersihkan bekas pecahan granat. Di masa ini mereka boleh menikmati kebebasan berjalan-jalan di kota. Karena keadaan mulai normal kembali maka seminaris dipulangkan dari Steyl kembali ke Tetringen. Pater Yan dan teman seangkatan memasuki masa persiapan menjelang tahbisan. 

Akhirnya, cita-cita menjadi imam terwujud sudah. Masa menjadi frater berakhir dengan diterimanya Tahbisan Suci tanggal 18 Agustus 1946 di Tetringen bersama 16 frater lainnya. Misa perdananya tanggal 25 Agustus 1946 dilaksanakan di paroki asalnya. Semua berlangsung sederhana.

Ia menulis, “Apa yang dialami dan dirasa dalam hati sulit diungkapkan dalam suatu tulisan; suatu rasa takzim yang menggetarkan hati imam saat konsekrasi menghadirkan Tuhan yang Mahakudus dan Mahabaik”. Seusai tahbisan, kuliah dilanjutkan dengan konsentrasi khusus bidang pastoral. Pada masa itu, beliau kerap menerima surat dari misionaris khususnya dari Flores, Timor dan Sumba. (Bersambung ke Bagian 2: Menuju Timur)

Catatan:
  • Bagian selanjutnya akan berkisah tentang perjalanan Pater Yan van Roosmalen dengan kapal bernama “Madura” ke Indonesia.
  • Kisah riwayat hidup Pater Yan mengacu pada sumber: 1). P. Yan van Roosmalen, SVD, “Jejak-jejak Pengabdian: Dididik untuk Mendidik” dalam Kanisius T. Deki, (ed.), Menjadi Abdi, Menghalau Kegelapan Menyongsong Fajar Pengetahuan, Ledalero, 2008, hal. 5-114. 2). Yohanes van Roosmalen, “Memori APK Ruteng 1959-1979”, (sebuah diktat setebal 83 hlm); 3). Beberapa lembaran biodata dan surat-surat pribadi Pater Yan yang disimpan pada arsip dari SVD yang dipinjamkan kepada penulis oleh Pater Florentinus Soge Makin, SVD; 4). Informasi lisan dari kisah dan kesaksian hidup beberapa teman Pater Yan serta beberapa katekis asuhannya. 

www.ranalino.co mempersembahkan satu sub menu khusus berisi kisah-kisah dari tokoh-tokoh inspiratif. Diharapkan akan menjadi salah satu sumber bagi kita semua untuk belajar dari orang-orang hebat dan karya-karya mereka. 

2 Comments

  1. Saya tidak mengerti bagaimana orang ini bisa lebih hebat dari menteri pendidikan, para praktisi pendidikan yang sering nongol di televisi komentar kasi hasil pengamatan kepada publik? Saya juga tidak mengerti bagaimana orang ini dulu bisa menciptakan suatu ketaatan massif oleh para mahasiswa (sejak APK, sampai perubahan statusnya menjadi STKIP) di kampus dekat Istana Keuskupan itu. Saya hanya membayangkan STKIP tanpa campur tangan, gerakan dan rancangan Tuang Roosmalen. Itu, kesatu.Peninggalan; ide, cara, laku adab dan disiplin pengajaran di kampus yang suka buat misa syukur itu (#ehh) dari Tuang Roos sebaiknya diteruskan sampai kapanpun. Sebaiknya. Toh kalau dilitanikan hasilnya, aeh, akan lebih dari Litani Para Kudus.Anyway, saya baru mengerti pesan tulisan ini setelah saya ingat beberapa momen bersama Tuang Roos di depan istana, saat masih semester 2 di STKIP Ruteng. Ejaannya kurang jelas, tapi ada kata yang sering dia ulangi selama ngobrol: disiplin.