saya tidak jadi pindah agama, tetap katolik

Saya Tidak Jadi Pindah Agama

Pindah agama itu barangkali bukan sesuatu yang istimewa di luar sana, di luar negeri. Di dalam sini juga bisa jadi demikian. Setiap hari, ada saja orang yang memutuskan pindah agama.


Alasan seseorang pindah agama bisa macam-macam. Sering rasanya kita mendengar para figur publik bilang, “Saya merasa lebih nyaman dengan cara yang berdoa yang sekarang.” Ada juga yang memakai bahasa yang lebih hebat seperti: “Saya tidak menemukan apa yang saya cari selama ini. Karena itu saya pindah.” Sah? Sah!

Sama sahnya dengan para sahabat yang karena cinta dan pernikahan memutuskan untuk berganti cara sembahyang. Biasa saja. Tidak ada yang salah. Kalau ada yang salah dalam peristiwa seperti itu barangkali adalah kita yang menjadikannya sebagai bahan gosip. Itu salah, Bro. Salah besar. Agama seseorang itu ruangnya pribadi sekali. Privat. Hanya dia dengan DIA.

Maka seharusnya semua orang merasa biasa saja ketika saya berencana untuk pindah agama. Begini ceritanya.

Saya Katolik. Suatu saat saya pernah dengan sadar memutuskan untuk tidak ke Gereja. Tidak ikut misa. Bukan malas, tetapi memang tidak mau. Alasannya tak usah saya ceritakan. Toh, semua orang pasti pernah ada di situasi ini–tidak mau ke Gereja dan enggan mengikuti Ekaristi dengan alasannya sendiri-sendiri. Biasa saja.

Yang membuat saya ‘sedikit unggul’ adalah lamanya waktu yang saya pakai untuk malas. Empat tahun. Yup! Empat tahun yang sama dengan empat kali dua belas bulan itu. Kalau rata-rata dalam setiap bulan ada empat hari Minggu, maka ada empat kali empat kali dua belas jumlah saya tidak mengikuti Ekaristi. Itu totalnya berapa? Kita hitung sama-sama dalam hati, sekadar mengulang keterampilan mencongak yang pernah diceritakan Bapa Mama kita. Sejumlah itu saya tidak mengikuti Ekaristi.

BACA JUGA
Main Bola Paskah

Bisa jadi itu biasa saja kalau terjadi di tempat lain, yang bukan Ruteng. Ruteng itu Kota 1000 Gereja. Absen ke Gereja pada sekali hari Minggu saja akan ‘dianggap’ aneh di kota ini, apalagi sampai ratusan minggu. Tetapi saya begitu, juga tanpa rasa rindu. Sudah mulai sedikit luar biasa, bukan?

Lalu pada suatu senja mesra di hari Minggu yang sejuk merdu, saya mandi, dan dandan rapi jali. Mengajak Djiboel sepupu saya ke Gereja. Ikut misa sore dengan ekspresi yang biasa, seolah saya sering melakukannya. Banyak orang terkejut, saya duga, tetapi tidak berani mengatakannya, mungkin karena takut dengan rambut saya yang besar, atau sedang menyiapkan diri untuk kejutan lain yang barangkali akan datang lebih besar.

Sebelumnya saya pernah menyampaikan niat pindah agama, juga dengan ekspresi yang biasa saja. Orang-orang dekat saya tertawa imi-amas menahan cemas mendengar niat itu dan berharap saya sedang ‘main-main’. Tetapi saya tidak sedang main-main.

Ketika itu saya mulai membaca buku-buku tentang agama-agama lain, seperti mencari mana yang paling sesuai dengan apa yang saya harapkan; meski harapan saya sendiri tetang agama juga rasanya agak kurang jelas, tidak bertemu rumusan yang pas. Beberapa buku tentang agama-agama selain Katolik itu masih ada dan sebagian saya beli lagi sebagai bahan bacaan baru. Sekarang dipakai untuk menambah pengetahuan saja.

Tentang saya yang lalu ke Gereja setelah empat tahun ‘absen’ juga ternyata tidak main-main. Saking seriusnya, tidak hanya rajin ke Gereja, saya bahkan bergabung di kelompok kategorial di paroki, giat di Mudika Lumen Gratiae Paroki Katedral Ruteng. Keterusan sampai sekarang ketika namanya berubah menjadi OMK Lumen Gratiae dan posisi saya naik tingkat dari anggota ke pendamping; karena saya telah berkeluarga meski masih muda belia cie cieee.

BACA JUGA
Di Manggarai Ada Ngkiong, Kancilan Flores Bersuara Merdu dan Intel yang Tak Suka Pamer

Di sini, di organisasi inilah, saya bertemu bakat saya yang tidak pernah saya sadari sebelumnya, yakni: marah-marah. Setelah diolah, bakat marah-marah ini membawa saya ke dunia yang lain yaitu penyutradaraan.

Bersama OMK Lumen Gratia dan Komunitas Saeh Go Lino–anggotanya sebagian besar sama–kami menggarap beberapa pentasan: opera Ora the Living Legend di Labuan Bajo (melibatkan seniman teater senior di Ruteng: Sian Warut, Erick Ujack, dll, naskah milik Ivan Nestorman yang juga menjadi pimpinan proyek itu), opera Wajah Pertiwi, drama Rahasia Pengakuan, film pendek Sejoli Lilin Putih, pentas tari Saeh Go Lino Ge, tablo Kisah Sengsara Yesus, drama musikal Ombeng, dan beberapa lagi yang akan datang.

Metamorfosis ini tampaknya aneh; dari seorang yang ingin pindah agama, bergabung di OMK, menjadi pemarah, lalu menjadi sutradara. Bagaimana bisa?

Tahun 2016 silam, sebagai persiapan pementasan Tablo Kisah Sengsara Yesus di Katedral Ruteng, kami mengikuti rekoleksi. Di Gereja. Pakai LCD. Nonton film pendek produksi KWI tentang pertobatan. Ada adegan seorang ibu dan dua anaknya mendoakan suami dan ayah mereka bernama Pak Budiman.

Pak Budiman tidak mau mengaku dosa, tidak mau ke Gereja, dia sibuk mencari uang. Atas alasan itulah keluarganya mendaraskan doa-doa; agar dia ‘kembali’. Di akhir film, tampak Pak Budiman ke Gereja, hendak mengaku dosa. Bagaimana bisa?

Dalam pembacaan anggota OMK Lumen Gratiae yang hadir pada rekoleksi itu, perubahan sikap Pak Budiman terjadi karena doa-doa orang tercinta. Ini pembacaan yang membuat saya teringat pada beberapa hal lain.

Kalau tidak salah, Sujiwo Tejo pernah menulis ini di Twitternya: mendoakan adalah cara mencintai paling rahasia. Saya pikir, dari sudut itulah ‘jalan kembali’ Pak Budiman bermula, juga saya yang tidak jadi pindah agama. Dari sudut-sudut paling rahasia ketika orang-orang yang mencintai mendaraskan doa. Guru Don dan Muder Yuliana pasti langsung berdoa ketika mendengar saya berita tentang saya malas ke Gereja.

BACA JUGA
Nama adalah Doa, Nama Kami Tidak Dipilih Secara Acak

Misalkan mereka tidak berdoa, mungkin iya saya tetap tidak jadi pindah agama, tetap seorang Katolik, tetapi mungkin tidak mengenal OMK, tidak belajar mengolah bakat marah-marah menjadi sesuatu yang berguna. Siapa yang tahu? Lagipula, siapakah seseorang tanpa orang-orang tercinta yang berdoa?

Tentang bagaimana berdoa, saya sering mendengar nasihat ini: “Berdoa saja.” Jangan repotkan dirimu dengan berpikir akan jadi apa baris-baris kata yang kau daraskan itu. Itu rahasia. Bukan kita punya urusan. Itu DIA punya urusan.

DIA punya urusan jugalah untuk menentukan cara berdoa yang paling benar: masuklah ke kamarmu dan berdoalah di sana, segala persembahan yang ingin kau berikan, letakkan saja di pintuNya dan pulanglah ke rumah, berdamai dengan saudaramu. Mungkin begitu.

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

 

Bagikan ke:

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *