Semua Suka Rahasia Pengakuan

Sebagai bagian dari perayaan Paskah tahun ini, OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng melaksanakan kegiatan katekese dalam format yang berbeda. Menggunakan panggung dan mewartakan pesan melalui teater. Judulnya “Rahasia Pengakuan”. 

semua suka rahasia pengakuan
Rahasia Pengakuan | Image: Courtesy of OMK LG Ruteng

Semua Suka Rahasia Pengakuan

Saya senang berhasil melibatkan seniman-seniman muda dalam kegiatan ‘katekese’ ini. Romo Beben berhasil meyakinkan saya untuk menggabungkan dua konten dalam satu agenda: katekesi dan pentas seni. Ini Romo memang my partner in crime, dan menikmati kegembiraan setelah pentas itu selesai.
Tetapi penonton tidak mau pulang padahal pentasan sudah sampai di ujung. Lagu Heal The World yang kami nyanyikan dengan lilin yang bernyala di masing-masing tangan adalah yang paling akhir di daftar rangkaian pentasan. Mereka menunggu apa lagi? Saya melihat Rm. Beben Gaguk, Pr produser kami hari itu. “Bagaimana ini?” Kami saling bertanya lewat mata. 
Hari itu, Minggu 13 April 2014 mulai pukul 18.30 Wita di Aula Assumpta Katedral Ruteng, setelah proses latihan selama sebulan, “Rahasia Pengakuan” akhirnya dipentaskan. Orang Muda Katolik OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng adalah para pemainnya, dan saya dipilih jadi sutradara. 
Ini naskah lama yang ditulis oleh Rohaniwan Katolik Rm. Edy Menori, Pr dan telah dipentaskan berulang-ulang; pentasan pertama di tahun 90-an. Ada cerita ‘sukses’ dari pentas Rahasia Pengakuan pada masa awal. Melahirkan cinta lokasi yang berujung ke pernikahan yang langgeng. Dua tokoh utamanya saling jatuh cinta di dunia nyata dan hidup bahagia dengan anak-anak mereka sampai hari ini. Pak Sian Warut dan istrinya. 
Sebagai penata lakon, saya tentu saja bertugas tidak menghadirkan pentasan berulang tetapi pentasan baru. Produser mengingatkan bahwa “Rahasia Pengakuan” sudah belasan kali dipentaskan. Saya pernah menonton sekali di antaranya ketika dimainkan oleh siswa-siswa Seminari Kisol di Gedung Ciptaria Ruteng (sekarang Manggarai Convention Center) tahun 2005 silam. Bagaimana membuat pentasan baru itu? 
Baca juga: Jika KPI Tidak Mampu Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor Pribadi

BACA JUGA
Mencari Angga

Sembari berlatih, saya mengundang beberapa orang untuk ikut berpikir. Ada gambar di kepala dan saya mengenal beberapa orang yang bisa mengeksekusinya dengan baik. Saya butuh panggung yang hebat. Saya mengundang ahli dekorasi bernama Peik Paus. 

Kata saya kepadanya: “Saya mau, panggungnya tidak mati. Setiap adegan harus berganti. Suasana panggung adalah cerita itu sendiri, bukan hanya latar belakang tanpa arti. Kita hadirkan simbol tidak hanya pada lakon tapi juga penggung.” Peik setuju dan mulai menggarap. Demikian juga pinta saya pada Acik ‘Chikko’ Jansen sang penata musik, Jimmy Haryanto di bagian pencahayaan dan Nandez Sampur pengatur properti. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Semua selesai tepat waktu, beberapa hari sebelum GR. Saya suka karena merasa pasti memiliki ruang yang tepat untuk menghadirkan lakon para pemain muda yang tidak akan membosankan. Mereka juga sudah berlatih baik, bermain hebat, dan yakin sukses. Persis itu yang saya butuhkan. Ini juga adalah bagian penting untuk mereka memberi warna pada perayaan Paskah di Ruteng. Memulai pekan suci dengan katekese melalui panggung teater. 

Maka pentaslah kami hari Minggu itu. Penonton telah datang, dengan tiket dua jenis: biasa Rp. 20.000,- dan VIP Rp. 50.000,-. Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng juga hadir. Duduk bersama Pastor Paroki kami dan undangan lainnya.

Baca juga: Pentingkah Memberi Maaf?

Di hadapan mereka, satu setengah jam lamanya orang-orang muda Katolik ini beraksi. Di panggung. Berakting. Bekerja mengubah tata panggung dalam sekejap. Bergerak lagi. Di bawah tata lampu yang baik. Dan berbicara dalam irama yang tepat sesuai musik yang disiapkan. 

Cerita itu mengalir deras, tentang hubungan Pastor Paroki dengan umatnya. Bahwa kedekatan Imam dengan umat terutama kaum perempuan, tidak pernah terlepas dari kecurigaan pada munculnya ‘motivasi lain’. Konflik muncul ketika ada umat yang membunuh seorang Ibu yang dianggap dekat dengan Pastor Paroki mereka. 
Setelah melakukan pembunuhan, si pembunuh mengaku dosanya pada Pastor Paroki. Si pembunuh melakukan aksinya dengan menggunakan jubah yang dicurinya dari kamar jemur pastoran. Alhasil, si Pastorlah yang dituduh membunuh. Leraian pada teater ini adalah ketika Pastor Paroki tidak membongkar rahasia pengakuan demi kesetiaan pada janji imamatnya, meski itu merugikan dirinya sendiri. 
Tidak ada masalah berarti sepanjang pentasan. Masalah kecil justru muncul ketika kami tiba di akhir pentasan dan penonton tak beranjak pulang. Mereka suka dan berharap pentasan itu disambung lagi.

Lalu saya ingat P. Frans Mido, SVD ketika dulu saya bermain di pentas teater Potret Hitam Putih di Seminari Kisol pada pesta emas lembaga pendidikan itu. Katanya, “Jangan biarkan penonton puas dan berhenti menyaksikan. Beri mereka rasa penasaran. Itu adalah akhir yang baik!” 

Merujuk pada pendapat guru dramaturgi itu, saya merasa kami berhasil. Tugas terakhir hanyalah meminta para penonton pulang; pentas Rahasia Pengakuan telah usai malam itu. 

BACA JUGA
Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak
Usai pementasan, berbagai komentar masuk. “Bagus!” “Mantap!” “Kapan pentas lagi?” “Banyak yang minta agar itu diulang!” “Kalian harus pentas lagi!” “Kok bisa panggungnya begitu cepat berubah?” “Musiknya mendukung!” “Wah, Adeng Crova lucu!” Bahkan penulis naskahnya yang malam itu hadir juga meminta pentasan diulang, demi memenuhi permintaan sekian banyak penonton yang enggan pulang. Nah, itu dia… 
Pengakuan dari penulis naskah, sepertinya adalah bagian yang ditunggu oleh setiap produser dan sutradara di manapun; tentang kesesuaian harapan ketika naskah itu ditulis dan dipentaskan. Demikianlah saya puas malam itu, Uskup juga puas dan meminta kami terus berkarya. Kritikan dan saran juga muncul, saya rekam di catatan harian saya dan akan dipakai sebagai bahan berbenah di kali lain. 
Penonton kami malam itu beragam. Dari berbagai kalangan, usia dan minat. Tetapi mereka sama-sama enggan pulang cepat. Bahkan sampai lagu Heal The World selesai, mereka tetap tak beranjak. Febry ‘Djiboel’ Djenadut sampai harus berulang bilang: Demikianlah akhir pentasan Teater Rahasia Pengakuan, sampai jumpa di pentasan-pentasan selanjutnya! 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Sesungguhnya yang juga penting adalah mereka membayar tiket untuk menyaksikan pentasan tersebut, sesuatu yang baru di kota ini. Biasanya kami suka tontonan gratisan. Dan teater adalah pilihan terakhir di antara sekian banyak tontonan gratisan.

Baca juga: Gratitude Box: Beberapa Langkah

Tetapi bersama OMK Lumen Gratiae Katedral Ruteng, kami ingin memulai sesuatu yang baru: siapapun yang ingin menyaksikan atau menikmati karya seni, wajib membayar. Dan orang-orang mau. empatratusan penonton untuk teater 1,5 jam adalah sesuatu yang luar biasa di Ruteng, terutama karena mereka tak ingin cepat pulang setelahnya. 

BACA JUGA
Tentang Cobaan Iblis yang Pertama, Renungan Tobat RD Lian Angkur
Yang pasti, inilah mereka yang bersama saya mengurus pentas teater “Rahasia Pengakuan” ini. 

Produser: Rm. Beben Gaguk, Pr; Musik dan Sound: Acik ‘Chikko’ Jansen; Tata Panggung: Peik Paus; Tata Lampu: Jimmy Haryanto; Videografer dan Opening Teaser: Kaka Ited; Properti: Nandez Sampur.

Para Pemain: Fendy Dasman (Pastor Paroki), Lorens ‘Lowas’ Waso (Pak Jigur), Eltind Damon (Bu Jigur), Veren Dugis (Tessa), Adeng Crova (Koster), Edward Ileng + Putra Lama + Regna Bos (Polisi), Celly Jehatu + Ferdy ‘Mozak’ Iring (Saksi), Febry Djenadut (Jaksa), Rossy Fernandez + Wella Molas Do + Priska Reza (Hakim), Cici (Asisten Rumah Tangga), Ando Fernandez + Pedro Parera + Alfred + Herry Fernandez + Ellen + Nong Kant + Celvin Tatus + Priska Janggi (Tetangga).

Backstage Crew: Yoan Waso + Talis + Ricky + Jordy, Screen Crew: THS/THM Katedral
Terima kasih untuk semua!
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *