Saya adalah minoritas yang minum kopi dengan bahagia di Bari. Saya juga adalah minoritas yang ikut sahur di rumah seorang teman di Malang, dan tetap diizinkan makan siang di tempat yang sama. Lalu apa itu minoritas-mayoritas?
Saya Minoritas yang Minum Kopi dengan Bahagia
Ya, Guru Don itu seorang Katolik. Dia sa pu bapa, yang sempat mengabdi sebagai guru SD di Bari. Maka saya juga pernah tinggal di sana dan menjadi (sebut saja) minoritas. Kami adalah satu-satunya keluarga Katolik di tempat itu. Minoritas to?
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Di depan rumah Guru Don, kami tidak teriak. Ya, Guru Don dan Muder Yuliana tidak perlu bangun sahur. Mereka hanya perlu bangun membukakan pintu saat saya selesai ikut berkeliling. Itu juga nanti, saat Azan Subuh berkumandang, saat saya selesai menumpang sahur di rumah salah seorang teman, dan lanjutkan tidur sampai siang.
Pertemanan tetap jalan seperti biasa, ngobrol, merancang kegiatan, main ping pong jika mereka sedang fit karena sahur yang bergizi; tidak berubah polanya, tidak menyesuaikan pola relasi hanya karena perayaan tertentu seperti Ramadhan atau Natal.
Baca juga: Saya, Media Massa dan Foto Tanpa Caption
Kalau ada yang tanya mengapa Ibu itu melakukannya, barangkali dia akan jawab, “Dia anak saya juga.” Atau mungkin saja jawabannya adalah: karena kita harus mencintai sesama manusia. Kebetulan manusia yang ada di rumah mereka saat itu adalah orang Flores yang sedang ingin berhemat uang makan. Kata kunci di atas kondisi kami yang beda agama di rumah di Jalan Belimbing itu adalah manusia.
Sudah bisa kopi hitam lagi?Atau masih sering Cappucino?
Haaa… sekarang no cappucino.Kopi itu baru kopi kalau dia hitam dan dari Manggarai 😉