dari buku ke tabungan

Dari Buku ke Tabungan

Buku bisa membuat orang melakukan apa saja. Tentu saja maksud saya adalah isi buku yang kita baca. Beberapa film atau ficer yang pernah kita tahu melukiskan bagaimana kegiatan membaca menggerakkan seseorang melakukan sesuatu yang luar biasa.

Kalau hari ini buku membawa seseorang ke rencana menabung, maka yang akan terbaca adalah saya yang ingin keliling dunia terutama ke tempat-tempat yang dideskripsikan dengan sangat baik di novel yang saya baca, dan untuk mewujudkan keinginan luhur tersebut saya membuat buku baru: buku tabungan. Paling tidak, untuk sementara, itu yang saya rasakan sebagai manfaat membaca. Cie cieee…
“Saya ingin ke India,” tutur saya pada teman saya yang bertanya tentang negara tujuan saya jika punya kesempatan keliling dunia. Saya baru saja selesai membaca Balada Si Roy karya Gola Gong (Grasindo, 2002). “Mengapa?” tanyanya heran. “Saya mau tau tentang negara yang jauh lebih tradisional dari Indonesia,” jawab saya sekenanya.
Saya jelas tidak punya padanan kata yang lebih tepat untuk mengganti kata tradisional, tetapi Gola Gong dalam sebuah bagian Balada Si Roy pernah melukiskan kesederhanaan India lewat anak-anak India tepi, yang terheran-heran dengan tools para backpaker dan berusaha memegangnya, termasuk kamera si Roy.
Maka beberapa tahun setelah membaca buku itu, India masih menjadi negara tujuan saya jika berhadapan dengan pertanyaan yang sama. Gola Gong melakukan tugasnya sebagai penulis dengan sangat baik, menggiring pembaca untuk jadi seperti yang dia inginkan termasuk saya yang ingin mencicipi kesederhanaan India.

Tapi mimpi tentang India tak bertahan sangat lama. Saya ingin ke Laos. Ingin menjadi Bodhi, seorang pemuda unik dengan bentuk tengkorak kepala yang aneh yang mengalami perjalanan luar biasa di wilayah segitiga emas. Saya ingin menjadi salah seorang pemetik daun ganja, mengumpulkan uang lalu pulang ke Indonesia.

Baca juga: Tarian Caci, Warisan Leluhur Manggarai

Dee berhasil mengajakku berkhayal menjadi backpaker tanpa modal mengelilingi Asia masuk ke zona berbahaya, kucing-kucingan dengan Khmer Merah dan sampai di wilayah penuh Ranjau. Beberapa tahun setelah membaca ini, saya lalu ke seniman tattoo di Ruteng, namanya Ako Sang.

“Mau tattoo apa?”
“Tulis nama anakku di punggung, Ako”
“Kok tiba-tiba pengen bikin tattoo?”
“Saya mau seperti Tristan!” kata saya dalam hati.
Tapi yang keluar dari mulut saya adalah karena saya ingin anak saya tahu bahwa saya mencintainya setulus hati karenanya saya rela melukai punggung saya. Kedua jawaban itu–yang di hati dan yang saya jelaskan ke Ako Sang–semua benar. Kulit punggung saya dirajah, r a n a, lengkap dengan tujuh bintang kecil sekelilingnya.

Saya punya tatto di punggung, salah satunya karena buku ini: Supernova Akar (Bark Comm, 2002). Saya beruntung bisa mendapatkan edisi pertama yang covernya kemudian menuai kontroversi karena dianggap melecehkan agama tertentu. Setelah saya membelinya, Supernova Akar harus ganti cover. Lucky Me! 

Dan saya masih ingin ke Laos, paling tidak beberapa bulan setelahnya sebelum saya terpesona pada Italia. Adalah Gama Harjono membuat saya menjadi semakin tertarik pada negeri Pizza ini, dan ingin mencoba keramahan pengemudi Gandola yang hanya saya lihat sebelumnya di film.

Saya juga ingin membuktikan sendiri kenyataan bahwa birokrasi Italia sama atau bahkan jauh lebih rumit dari negeri saya Indonesia. Harjono dalam buku Ciao Italia: Catatan Perjalanan Empat Musim melukiskannya dengan sangat baik (Gagas Media, 2008).

Untuk kepentingan ini, suatu saat bisa ke Italia, saya bersama istri akhirnya memutuskan untuk mengikuti salah satu program tabungan pensiun di sebuah bank. Kami menyisihkan 100 sampai 200 ribu penghasilan bulanan kami untuk dua rekening tabungan pensiun. Saya percaya pada masa tua kami, Italia tidak hanya sekedar mimpi. Kami ingin menikmati romantisme kota air Venice.
Pihak bank memberi saya kepercayaan lebih dengan hitung-hitungan investasi tabungan pensiun ini, bahwa mungkin bukan hanya Italia, tetapi juga India. Lalu Laos? Saya tidak berani mengajak istri saya ke sana apalagi di usia tua. Dee melukiskan perjalanan Bodhi sebagai perjalanan nekat, dan saya tidak cukup punya keberanian untuk melihat istri saya senekat Bodhi. Saya sendiri juga tak punya jiwa ’seberani’ itu.
Rasanya, buku yang saya baca selalu memberi saya mimpi yang sangat ingin saya wujudkan kelak. Saya ingin menulis novel tentang kisah cinta dalam balutan travelling. Empat orang blogger berhasil melakukan itu dengan baik ketika menulis Travelers Tale: Belok Kanan, Barcelona (Gagas Media, 2007).

Ya, Aditya Mulya, Alaya Setya, Iman Hidajat dan Ninit Yunita dengan sangat baik melukiskan kisah perjalanan dan sebuah novel pop. Saya bersama istri saya akan melakukannya dengan lebih baik. Maka, perlahan kami mulai menabung. Soal konsistensi menabung, kami belajar dari Elektra dalam Supernova Petir-nya Dee (Akar, 2004).

Suatu saat, jika berhasil keluar negeri, saya akan berterima kasih kepada buku. Saat ini saya menikmati Ruteng, kota kecil di Flores, menabung, membangun mimpi dan berbagi cerita bersama istri saya Celestin dan anak saya Rana Maria dan orang-orang tercinta. Bahwa suatu saat saya tidak sempat keluar negeri misalnya, saya tidak menyesal.

Baca juga: Dua Senja

Mimpi itu mungkin terlampau besar, tetapi telah mampu ‘memaksa’ kami belajar menabung. Mimpi yang sama juga me’nekat’kan saya menerbitkan buku beberapa waktu silam, sebuah kumpulan cerpen yang bisa didapatkan di Website Penerbit Leutikaprio.

Soal ini -menabung dan mewujudkan mimpi-, kami saya, istri dan beberapa sahabat kemudian membuat langkah lain. Menabung dengan konsep lain, yakni gerakan Gratitude Box: Seribu Sehari Cukup. Aksi ini sebenarnya tidak layak disebut menabung, tetapi seperti menabung dengan titik utama: bersyukur dan membantu. Lihat informasi lengkapnya, dan kami berharap banyak yang bergabung. Saya suka buku dan bergerak dari buku ke tabungan cie cieee.
Salam Baca
Armin Bell
Ruteng, Flores

4 Comments