Boleh Bicara Tetapi Tidak Dengan Gaya Berisik

Saya agak ‘tida enak bodi’ mendengar cerita saling-lapor akhir-akhir ini. Seolah semua orang merasa bahwa ketika kau pernah menjadi korban dari sebuah laporan ke pihak berwajib, maka kau juga harus melaporkan pihak pelapor pada titik dia keliru. 

boleh bicara tetapi tidak dengan gaya berisik
Jangan Berisik | Foto: Armin Bell

Boleh Bicara Tetapi Tidak Dengan Gaya Berisik

Tidak peduli apakah kekeliruannya bersifat umum atau khusus; habok! Rasanya seperti orang yang terlambat sadar; setelah sekian lama menjadi silent majority, semua orang merasa boleh bicara. 
Jawaban atas pertanyaan tersebut menurut saya adalah: TIDAK. Rasanya dia bukan opsi yang baik lagi. Tetapi juga tidak berarti bahwa kita bebas bicara apa saya. Saya cenderung berpendapat, kita boleh bicara tetapi tidak dengan gaya berisik. Semoga ketika membaca judul tulisan ini, kita tidak lantas menghubungkan kata berisik dengan seseorang atau sesuatu. 

Berisik itu artinya ribut (ramai, hingar-bingar) suaranya. Kalau tidak percaya silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V (KBBI V) yang sudah tersedia di play store. Itu!

Ihwal tulisan ini sebenarnya didasarkan pada situasi lapor-melapor yang kita dengar sedang marak di negeri ini. Sedikit saja merasa terganggu, kita langsung membuat laporan ke polisi. Apakah laporan itu akan berguna melerai soal, itu soal lain. Yang penting: kita beda pendapat, saya lapor, sejenak terkenal, lalu hilang. Ckckckck.
Tidak semua orang mampu menerima perbedaan dengan hati yang baik. Ada yang memiliki kecendrungan melihat semua hal sebagai ‘pertandingan’; terutama kelompok yang merasa umat dengan lain keyakinan adalah saingan.

Jumlah mereka barangkali tidak banyak tetapi suara mereka ributnya minta ampun. Silent majority yang punya hati baik akan mudah dilupakan karena meski majority, mereka silent; telah lama kita menjadi bangsa yang senang mendengar, membaca, melihat apa yang muncul/tampak di permukaan.

BACA JUGA
Passio dalam Cerita: Ciuman Yudas, Kesepian Barabas, dan Perempuan yang Mencintai Yesus

Baca juga: Om Rafael Indonesianival

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tentang yang senang ‘bertanding’ tadi, dalam jumlah yang sedikit tetapi suaranya paling ribut mereka bisa menyatakan tersinggung atas apa saja dan mendadak menjadi keyakinan umum karena yang majority tetap silent. Mereka bisa saja mengatakan bahwa warna hijau dan merah tidak boleh terlalu muncul bersama karena itu merujuk pada warna simbol hari raya tertentu, misalnya. 

Karena itu, mereka akan melarang pohon Sepe atau Flamboyan di Kupang, karena bunganya merah dan daunnya hijau dan berbunga di bulan Desember. Pohon itu pohon kafir, harus dibasmi. Wow! 

Silent majority? Asyik saja. Diam. Menganggap orang-orang itu sedang sakit, anggapan yang mereka pegang teguh dalam hati. Tidak terungkap. Silence. Lalu pada suatu ketika ribut-minority itu ternyata mampu bersikap lebih hebat; memasukkan pendapat mereka pada kebijakan (entah bagaimana) dan kaum mayoritas yang diam lantas kaget. Marah-marah. Pada siapa? Saya cenderung berpikir kita marah-marah pada diri sendiri yang telah membiarkan situasi ini berlangsung sangat lama. 
Mereka telah berhasil menjadi besar dan kita tertatih dengan kemarahan yang ngeri berjuang membuat mereka jatuh. Salah satu cara yang ditempuh adalah segera membuat laporan pada sekecil apa pun kesalahan/kekeliruan yang mereka buat. Asal ada peluang, SIKAT! Ho-ho-ho, wrong move, Buddy! 
Kemarahan kita termasuk membuat mereka sebagai terlapor, tidak akan berarti apa-apa selain bahwa orang-orang yang gemar berisik itu semakin terpersepsikan sebagai ‘besar dan penting’. Lagi pula, bukankah dengan membuat laporan tentang mereka–padahal dasar laporan sama sekali tidak kuat–justru membuat kita sama berisiknya? Apa kabar? Sehat? 
Lalu harus bagaimana? IMHO, just like the old days. Anggap mereka sakit. Hanya saja, kali ini anggapan tersebut harus dikatakan dengan keras. Cukup sudah menertawakan mereka dalam hati. Say something fun, make jokes, kick them with your hilarious comedy, sampai seluruh dunia sepakat bahwa mereka hanya lelucon yang salah.

BACA JUGA
Dakota Fanning dan Rueng Melawan Negara

Baca juga: Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa

Bahwa seribu kali lebih berguna mendengar lelucon plastik komedian tak cerdas daripada mendengar mereka. Itu kira-kira maksud saya ketika menulis: boleh bicara tetapi tidak dengan gaya berisik atau meniru lurus-lurus gaya mereka. 

Di akhir tulisan ini, izinkan saya menyampaikan dugaan ini: Ketika kita terus menanggapi kaum yang berisik dengan kemarahan, seorang dari mereka mungkin akan menjadi presiden. Ingat! Kita punya kecendrungan mendukung orang yang mampu bikin diri menderita. 
Salam
Armin Bell
Ruteng – Flores
Ps: Ke arah mana pun catatan ini dapat ditangkap, percayalah silent is not an option even if we are on the majority side.
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Yup. Setuju. Saya hanya berpikir, sudah saatnya seluruh negeri sepakat menjadikan kaum berisik sebagai lelucon. Kita “bantai” dengan lelucon, daripada ikut berteriak. Jadikan mereka meme yang asyik *smile.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *