Saya agak ‘tida enak bodi’ mendengar cerita saling-lapor akhir-akhir ini. Seolah semua orang merasa bahwa ketika kau pernah menjadi korban dari sebuah laporan ke pihak berwajib, maka kau juga harus melaporkan pihak pelapor pada titik dia keliru.
Jangan Berisik | Foto: Armin Bell |
Boleh Bicara Tetapi Tidak Dengan Gaya Berisik
Berisik itu artinya ribut (ramai, hingar-bingar) suaranya. Kalau tidak percaya silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V (KBBI V) yang sudah tersedia di play store. Itu!
Jumlah mereka barangkali tidak banyak tetapi suara mereka ributnya minta ampun. Silent majority yang punya hati baik akan mudah dilupakan karena meski majority, mereka silent; telah lama kita menjadi bangsa yang senang mendengar, membaca, melihat apa yang muncul/tampak di permukaan.
Baca juga: Om Rafael Indonesianival
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Tentang yang senang ‘bertanding’ tadi, dalam jumlah yang sedikit tetapi suaranya paling ribut mereka bisa menyatakan tersinggung atas apa saja dan mendadak menjadi keyakinan umum karena yang majority tetap silent. Mereka bisa saja mengatakan bahwa warna hijau dan merah tidak boleh terlalu muncul bersama karena itu merujuk pada warna simbol hari raya tertentu, misalnya.
Karena itu, mereka akan melarang pohon Sepe atau Flamboyan di Kupang, karena bunganya merah dan daunnya hijau dan berbunga di bulan Desember. Pohon itu pohon kafir, harus dibasmi. Wow!
Baca juga: Om Rafael dan Kemenangan yang Biasa
Bahwa seribu kali lebih berguna mendengar lelucon plastik komedian tak cerdas daripada mendengar mereka. Itu kira-kira maksud saya ketika menulis: boleh bicara tetapi tidak dengan gaya berisik atau meniru lurus-lurus gaya mereka.
IMNSHO,orang-orang berisik akan selalu mendapat panggung.
Yup. Setuju. Saya hanya berpikir, sudah saatnya seluruh negeri sepakat menjadikan kaum berisik sebagai lelucon. Kita “bantai” dengan lelucon, daripada ikut berteriak. Jadikan mereka meme yang asyik *smile.