Puasa Ini Saya Ingat Latung Bombo

Semua orang memiliki kenangan. Beberapa di antaranya diceritakan dengan santai, beberapa lagi disembunyikan di ceruk paling dalam, tinggal di sana, tidak untuk dihapus. Saya sendiri senang berbagi cerita. Maka beberapa kenangan juga ikut terbagi. 

puasa ini saya ingat latung bombo
Foto Masa Kecil | Dok. Armin Bell

Puasa Ini Saya Ingat Latung Bombo

catatan kecil pada prapaskah yang penuh rindu
Kalau pada hari ini saya membagi cerita tentang latung bombo, itu artinya saya sedang membagi kenangan. Bahwa pada suatu masa dalam hidup saya, latung bombo adalah bagian yang penting. Di rumah masa kecil saya menikmatinya tanpa sadar bahwa proses menghasilkannya hingga tiba di atas piring makan siang saya adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Agak sulit rasanya merumuskan pengertian latung bombo dalam bahasa yang mudah. Latung bombo adalah makanan yang terbuat dari bahan jagung. Latung adalah bahasa Manggarai untuk jagung. Lalu bombo? Maaf saya tidak tahu. 
Tetapi saya rumuskan saja latung bombo sebagai makanan dari bulir-bulir jagung tua yang direbus lama sampai mereka mengembang dan menjadi lembut. Masih ada sisa air dalam rebusan itu, semacam kuah atau sebut saja demikian: kuah jagung. 
Bingung? Mampirlah ke rumah masa kecil saya saat masa Prapaskah. Kau akan menemukannya di sana pada hari Jumat. Tidak ada nasi hari itu, sayur juga tidak, apalagi ikan dan daging. Jumat selalu tanpa garam di rumah kami sebagai bagian dari tradisi puasa Katolik di Gereja Katolik Manggarai.

Baca juga: Lima Puisi Pohon

Tetapi maaf, meski sebelumnya saya mengajak kalian mampir tetapi sesungguhnya itu basa basi belaka yang tak penting atau mungkin janji palsu juga kebohongan. Bagaimana engkau bisa ke rumah masa kecil kami sedang sekarang saya telah beristri? 

BACA JUGA
Pater Piet Pedo Neo, Imam dan Seniman (Bagian 2)
Saya hanya sedang berkisah tentang masa kecil saya dan latung bombo pada Prapaskah di Pateng Rego. Setiap Jumat tak ada sayur tak ada garam. Tambahan alpukat pada hidangan latung bombo pagi siang malam adalah kemewahan. Saya merindukannya. Bukan sekarang. 
Tetapi di hari-hari kecil itu saya merindukan Jumat pada masa Prapaskah. Kamis malam setelah makan malam selesai, Mama mengambil jagung yang telah bersih, ditakar dengan cinta yang tak pernah kurang, dimasukkan dalam periuk berisi air lalu dibiarkan matang dalam rebusan di atas tungku api dengan abu yang bercerita tentang usia dapur dan kami anak-anak.
Pada pagi hari kami bangun, Mama telah sedari tadi bangunnya. Ada latung bombo terhidang di meja, dari manakah asalnya. Dari sawah dan ladang di sana, petanilah penanamnya… eh kok saya malah nyanyi? Ada alpukat di sana. Buah yang seperti selalu hadir merayakan Prapaskah bersama kami. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Rasa latung bombo enak sekali. Lembut dan bercerita tentang perjalanan jagung dari sebutir menjadi berbulir-bulir. Ah… saya malah bermanis-manis kata. Padahal semula saya hanya ingin bercerita tentang latung bombo yang saya rindukan pada Prapaskah kali ini. 

Kini saya hidup di Ruteng, kota dingin tempat di mana keluarga yang makan jagung sebagai pengganti nasi akan dikomentari: “Apa? Jagung? Habis uang untuk beli beras ka?” diikuti tawa yang panjang dan saran untuk segera mampir ke kelurahan tempat beras-beras murah dijual untuk rakyat miskin dengan harga yang telah ditambah sedikit sebagai pengganti biaya administrasi.
Saya rindu latung bombo, lalu bingung, benarkah saya rindu latung bombo atau sedang mengenang suasana dengan rindu? Banyak dari kita mungkin demikian. Memaksakan diri menyebut sesuatu yang paling kita rindukan pada masa kecil dan kita menyebut salah satunya padahal yang sebenarnya sedang kita rindukan adalah masa kecil itu sendiri. 
Baca juga: Negeri Tak Punya Salah

BACA JUGA
Dari Buku ke Tabungan

Masa Prapaskah saya tidak banyak istimewa sekarang. Jumat memang tanpa daging dan ikan tetapi ada garam di sayuran, seperti juga pada hari-hari lain ketika ikan dan daging diterpa isu formalin di pasar Ruteng jauh sebelum Prapaskah ini dimulai. Kalau ada yang istimewa mungkin hanya aktivitas wajib setiap Jumat: mengikuti Ibadat Jalan Salib di Gereja Katedral Ruteng

Hanya saja saya selalu merasa masa Prapaskah adalah sesuatu yang begitu lembut karena berjalan sendu sekaligus kejam karena harus mengenang Yesus didera, jatuh, wajahnya dibersihkan oleh Veronika dan berjumpa dengan IbuNya. Bagaimanakah wajah seorang Ibu ketika berjumpa anaknya yang sedang terluka dalam? 
Saya sempat tergoda untuk berpikir bahwa perjumpaan Yesus dengan Ibu-Nya adalah alasan Jalan Salib itu sampai di Kalvari; bahwa Yesus ingin bilang kepada Maria bahwa Dia mampu–agar ibuNya tak perlu bersusah hati. Saya sudah besar, Mama. Saya bisa menyelesaikan ini. Jangan menangis lagi. Sesekali jatuh tetapi Saya akan bisa bangkit lagi. Dalam setiap langkah, Saya tahu ada doa yang kau daraskan dengan sungguh.
Sampai di paragraf ini saya bingung, apa sebenarnya yang ingin saya ceritakan?
Saya lalu ingat “Kisah dari Selatan Jakarta”, sebuah lagu milik salah satu band favorit saya White Shoes and The Couples Company. Saya mendengarnya lagi dan mendadak mengerti bahwa lagu itu bahkan tidak punya cerita apapun pada liriknya selain kisah sepotong-sepotong, apakah sedih atau gembira atau apa? Seperti puisi yang tak selesai. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Dalam diskusi novel “Kepada Apakah” karya Afrizal Malna saya ingat seorang teman menjabarkan tentang klausa: berfungsi menjabarkan subyek/ide/topik ke dalam sejumlah predikat/uraian/komentar dengan cara yang relatif kompleks tetapi belum mampu menjadi kalimat. Novel Afrizal dapat dibaca sebagai klausa dan bukan kalimat. Mungkin juga “Kisah dari Selatan Jakarta” adalah klausa? Entahlah…

BACA JUGA
FF100K Karina - Karma
Saya tidak ingin bicara tentang teori itu karena sesungguhnya saya tidak terlampau paham sebenarnya tetapi teman saya di Petra Book Club sangat membantu kami semua untuk mengerti tentang klausa. Apakah ini berhubungan dengan kisah saya dan kerinduan pada latung bombo yang melompat saja ke Yesus yang berjumpa dengan IbuNya, mungkin tidak. 

Kadang cerita tak harus hadir dengan lengkap agar kau dapat kembali ke dalam dirimu sendiri dan menemukan keutuhan makna di sana lalu kembali bertemu denganku dan menyampaikan terjemahanmu sendiri. Saya akan mendengarnya tanpa komentar karena hakikat pendengar adalah mempunyai telinga dan bukan mulut. 

Saya senang bisa sampai di paragraf terakhir ini dengan selamat dan menganggap tulisan saya kali ini telah selesai. Sampai jumpa pada postingan berikutnya.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
| Pada Prapaskah tanpa Latung Bombo
Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *