Usai perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar, yang tidak selesai adalah perdebatan tentang siapa yang terbaik, Messi atau Ronaldo?
Ruteng, 16 Januari 2023
Piala Dunia 2022 telah selesai. Sudah lama. Kita sudah sekali Natal dan sekali Tahun Baru pasca-perhelatan akbar empat tahunan tersebut. Qatar sukses mencatatkan banyak sekali hal hebat saat jadi tuan rumah. Stadion bongkar pasang plus AC, biaya penyelenggaraan termahal dalam sejarah, delapan stadion berdekatan sehingga ramah jarak/waktu tempuh, Indonesia belum juga bisa tampil di ajang itu, opening & closing ceremony nan mewah, dan masih banyak lagi. Bikin kita terkagum-kagum.
Tetapi Piala Dunia yang sama juga bikin sedih. Beberapa pemain hebat tidak akan kita saksikan lagi di iven berikutnya. Sedih. Inggris tertahan lagi. Saya sedih. Ini terakhir kalinya diikuti oleh 32 tim karena tahun 2026 akan ada 42 tim yang terlibat. Entah sedih atau senang. Korea Utara tidak mau lanjutkan perjuangan menuju Qatar, mereka putuskan berhenti di babak kualifikasi setelah lima pertandingan. Tidak harus sedih. Jerman pulang lebih awal dan jadi korban meme. Sedih? Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lebih sedih lagi adalah persaingan tak pernah usai antara penggemar Messi dan penggemar Ronaldo. Duh!
Lionel Messi dan Christiano Ronaldo adalah dua pemain paling disorot selama perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar. Persaingan keduanya sebagai Greatest of All Time atau GOAT jadi sebab utama. Sebab lainnya adalah Piala Dunia Qatar adalah piala dunia terakhir untuk mereka berdua. Kabarnya begitu. Kita sedih karena merasa akan kehilangan kesempatan menyaksikan aksi terbaik mereka di gelaran berikutnya. Kesedihan yang harusnya tidak perlu terlampau dipelihara sebab setiap era melahirkan bintang (meski barangkali tidak seterang keduanya). Yang harus diratapi adalah perdebatan kita yang tak akan pernah selesai tentang siapa yang terbaik di antara keduanya.
Skemata yang Kau Punya tentang Sepak Bola
Lionel Messi bukan pemain favorit saya. Barangkali karena saya lebih bisa menerima gaya permainan yang ‘lebih langsung’, seperti yang diperagakan Kylian Mbappe, atau Wayne Rooney, atau Eric Cantona, atau Widodo Cahyono Putra, atau Ronaldo yang Brasil. Bisa jadi begitu. Atau bisa jadi karena, menggunakan istilah yang biasa kami dengar di Bincang Buku Petra, cara Messi bermain tidak mudah saya kenali; skemata saya tentang sepak bola tidak cukup untuk memahami peragaan atraktifnya serta kemampuannya keluar dari kepungan dengan begitu luar biasa nan sederhana.
Apa itu skemata? Dalam penjelasan paling ringkas, skemata itu kira-kira begini: kau baru bisa menerima sesuatu dengan cepat kalau kau pernah punya informasi tentang hal itu di kepalamu sebelumnya. Dalam penjelasan yang lebih panjang dan terstruktur, skemata dijelaskan sebagai pengalaman dan pengetahuan yang terorganisir dalam pikiran dengan variabel-variabelnya (subkomponen) untuk memahami hal yang sama dengan pengetahuan yang baru dibaca atau diketahui. Dalam contoh, saya agak sulit memproses cerita-cerita macam Star Wars karena tidak mempunyai informasi yang cukup sebelumnya tentang outer space; skemata saya yang kurang dan bukan Star Wars yang bermasalah. Agar bisa memahami Star Wars, saya perlu mencari informasi awal/tambahan. Alias menambah skemata (semoga istilah ini politically correct).
Baca juga: Main Bola Paskah
Saya tentang Messi rasanya begitu. Saya pemain bola dengan referensi yang biasa: Andy Cole, Dwight Yorke, Frank Rijkaard, Kurniawan Dwi Yulianto, dan lain-lain. Saya masih sangat kecil ketika Diego Armando Maradona berjaya dan tidak melihat penampilannya di televisi. Hanya mengetahuinya dari radio dan radio mulut. Menurut orang-orang tua, pengetahuan tentang cara Maradona bermain adalah yang paling baik agar kita bisa menerima (informasi) gaya bermain Messi dan mencernanya dengan lebih cepat.
Barangkali karena tidak mengenal gaya Maradona itulah, saya lalu menjadi gagal memahami Messi. Karena itu saya sulit memfavoritkannya. Bukan karena dia tidak layak jadi favorit tetapi justru karena dia berada di luar jangkauan informasi yang saya punya tentang sepak bola yang bagus. Messi di atas semua yang kau pikirkan, dia seperti datang dari dunia yang lain, dia lahir untuk sepak bola. Bahkan jika Lionel Messi tidak mau bermain bola, bola dan lapangan akan datang padanya, saya memikirkan itu sekarang. Setelah menyaksikan penampilannya di Piala Dunia 2022 di Qatar.
Messi berada satu generasi dengan pemain yang sama sekali lain gaya bermainnya, tetapi memiliki prestasi yang sama hebatnya: Christiano Ronaldo. Ronaldo yang inilah yang disebut-sebut sebagai saingan sepanjang masa Messi. Skemata yang saya punya tentang gaya bermainnya beberapa tahun terakhir juga tidak cukup. Tentu saja saya lebih cepat memproses informasi tentangnya daripada tentang Messi di awal-awal Ronaldo bermain di Manchester United. Saya lebih mudah menerima sepak bola Inggris meski tentu saja mengagumi dengan hormat sepak bola Amerika Latin.
Christian Ronaldo, oleh banyak kalangan, dinilai sebagai contoh terbaik di dunia tentang latihan terus menerus akan membuatmu semakin ahli. Keahlian Ronaldo, pada puncak masa terbaiknya di atas rata-rata dan skemata yang saya punya tidak cukup menjangkaunya. Sebagai akibat, Christiano Ronaldo juga tidak berada di tempat yang sejajar dengan pemain-pemain favorit saya macam Wayne Rooney, Eduard Ivakdalam, Juan Sebastian Veron, Ignas Kopong, dan beberapa lagi. Ronaldo, seperti Messi, terlampau di luar jangkauan.
Saya menyukai Zidane dan menempatkannya di daftar paling atas dalam daftar pemain-pemain favorit. Saya menyaksikannya bermain dan menjuarai turnamen-turnamen termasuk Piala Dunia. Misalkan prestasi kolektif untuk negara dan bangsa adalah syarat utama untuk menyandang gelar GOAT, Zidane tentu boleh ada di daftar itu. Tetapi ‘barang ini’ tidak begitu cara mainnya. Zidane adalah sesuatu yang bisa kau lihat pada Andrea Pirlo, Luka Modric, Juan Roman Requelme, Fakhri Husaini, Tony Ndapa, dan lain-lain. Zidane lebih mudah dicari padanannya dan menjadi GOAT tidak begitu. Menjadi GOAT adalah ‘mempunyai sesuatu yang tidak masuk akal (in a good way)’ seperti yang Messi dan Ronaldo perlihatkan.
Baca juga: Lima (Plus Beberapa) Hal Pasca-Final Euro 2020
Statistik tentu penting untuk kita yang menggemari angka-angka. Beberapa pemain yang saya sebut tadi memilikinya: catatan kemenangan, piala-piala, penghargaan pribadi, dan lain-lain. Tetapi bagaimana menjelaskan dampak kehadiran seseorang bagi sepak bola modern?
Pele, Maradona, Messi, Ronaldo
Edson Arantes do Nascimento a.k.a Pele berhasil mempengaruhi seluruh cara bermain sepak bola di Brasil sampai saat ini. FYI, Pele pertama kali bermain di Piala Dunia pada tahun 1958, menerapkan martial art capoeira (cikal bakal samba) ketika mazhab sepak bola saat itu adalah keteraturan, kedisiplinan, dan hal-hal rapi jali lainnya. Brasil menang kala itu dan seluruh negara meyakini bahwa sepak bola Brasil itu seperti yang Pele peragakan-perjuangkan. Ronaldo Luís Nazário, Ronaldo de Assis Moreira (Ronaldinho), Neymar da Silva Santos Júnior, dan bintang-bintang Brasil lainnya memakai ‘aliran Pele’ dalam setiap penampilan mereka. Pele GOAT!
Diego Armando Maradona adalah GOAT yang lain. Berbadan gempal, tidak setinggi pemain-pemain lain, bahkan disebut sebagai pemain sepak bola dengan postur tidak ideal, Maradona membawa sesuatu yang lain dalam sepak bola. BBC.com menulis: Kelenturan, kegesitan, visi, kemahiran mengendalikan bola, kepiawaian menggiring bola, dan kemampuan mengoper secara akurat adalah elemen-elemen yang dia miliki sehingga dapat mengompensasi postur dan bobot tubuhnya yang kadang berlebih. Dan, dia penuh drama. Drama yang abadi. Akan selalu ada dalam percakapan tentang sepak bola sepanjang masa. Dan Messi ‘menirunya’ dengan sangat baik, memodifikasinya, dan tentu saja menempatkan Maradona sebagai ‘mazhab’.
Dua pemain itu berdampak pada sepak bola dunia. Pun Lionel Messi dan Christian Ronaldo; mendapat dampak sekaligus menciptakannya.
Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian 1)
Di Paurundang, kampung kecil di Manggarai Barat, anak-anak berlatih menggiring bola secara tidak masuk akal sebagaimana yang Messi lakukan. Mereka juga melatih diri melompat lebih tinggi pada duel udara karena Ronaldo sering melakukannya secara di luar akal sehat. Messi yang licin meliuk, Ronaldo yang tegas tendangannya saat berlari dengan kecepatan penuh, anak-anak mau kejar itu. Itu baru satu dampak. Dari banyak. Termasuk soal ipoleksosbudhankam, anggap saja begitu. Karena itulah keduanya juga telah jadi GOAT sejak lama. Apa masalahnya kalau kita punya dua GOAT lagi?
Maksud saya, pulangnya Messi dengan menggendong piala dari Qatar bukan satu-satunya alasan dia layak jadi GOAT. Misalkan Messi memikirkan itu (dalam skema persaingannya dengan Christiano Ronaldo), maka sesungguhnya dia sedang menyederhanakan dirinya sendiri. Dia sudah GOAT sejak dulu, sejak mampu melakukan hal-hal tidak masuk akal dalam sepak bola. Bahwa Ronaldo menangis di Qatar, juga bukan karena Portugal tidak juara dan karenanya dia tidak layak jadi GOAT. Dia menangis karena tidak bisa bawa pulang Piala Dunia untuk negaranya, hadiah paling besar dari seorang pesepak bola bagi tanah tumpah darahnya. Saya pikir Ronaldo (dan seluruh penggemarnya) sebaiknya berpikir begitu sebab Ronaldo juga sudah GOAT sejak lama.
Tetapi kita tentu saja akan tetap berdebat sepanjang-panjangnya, selebar-lebarnya tentang mereka berdua setelah Piala Dunia 2022 di Qatar selesai. Meski pertanyaan ‘untuk apa kita berdebat?’ tidak akan bisa kita jawab, kita akan melakukannya. Kalau itu untuk kesehatan, artinya dengan melakukannya kau akan lebih sehat, silakan. Tetapi kalau itu malah bikin daratinggi, cukup sudah. Sebab kalau penentuan GOAT bukan semata soal jumlah piala tetapi terutama soal dampak bagi semesta. Semesta sepak bola.
Akan tiba waktunya, kita semua tidak bisa membicarakan Messi tanpa melibatkan Ronaldo dalam percakapan, juga sebaliknya. Persis seperti masa orang-orang membicarakan Pele dan Maradona, selalu dalam waktu yang sama. ‘Cara main’ GOAT itu begitu. Bukan dengan perbandingan jumlah penggemar terbanyak di seluruh dunia. Sebab bisa jadi, seperti saya, ada yang tidak bisa mengagumi mereka berdua justru karena mereka berada jauh di atas yang bisa kami jangkau tentang sepak bola. Iya to?
Di luar seluruh catatan ini, saya kira kita semua sedang memikirkan apakah Piala Dunia berikutnya yang akan dilaksanakan di tiga negara akan sebaik di Qatar? Sejauh yang saya ingat, Piala Dunia 2022 di Qatar adalah satu-satunya Piala Dunia yang saya saksikan sambil membicarakan kehebatan penyelenggaraannya sebanyak membicarakan penampilan para pemainnya. Terima kasih, Qatar!
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell