Dialog Om Rafael: Nonton Bola di Indonesia Bisa Bikin Kita Lelah

Sebagaimana telah dikabarkan sebelumnya, Dialog Om Rafael adalah kolom baru di ranalino.co. Meski demikian, Om Rafael dan tokoh-tokoh di dalamnya adalah orang yang sama. Maksudnya, dia tetap Om Rafael yang dulu. Yang sering salah kata itu. Kali ini dia bicara tentang sepak bola.

dialog om rafael nonton bola di indonesia bikin kita lelah
Penonton sepak bola yang lelah | Image: pixabay.com

Dialog Om Rafael: Nonton Bola di Indonesia Bisa Bikin Kita Lelah

Televisi telah sampai ke kampung-kampung. Meski tanpa arus listrik dari Perusahaan Listrik Negara, namun di beberapa sudut Manggarai (Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur), beberapa orang melakukan swadaya elektrifikasi. Beli mesin listrik sendiri, cari bensin atau solar eceran sendiri, dipakai sendiri, sibuk sendiri.

Di rumah Guru Don juga pernah begitu. Ribetnya minta ampun. Apalagi kalau mesing dongfeng itu rusak. Pusing mereka. Tujuh keliling. Kali tujuh puluh kali. Seperti pengampunan dosa. Oh…

Maka mereka mengikuti jejak Om Rafael. Memakai listrik tenaga surya. Ada piring penangkap matahari di bubungan, ada accu di sudut ruang tamu. Ada televisi di depan accu. Televisi DC, mengandalkan tenaga matahari. Terima kasih matahari.

Televisi begitu penting buat mereka. Untuk apa? Tanya saya suatu ketika. Supaya bisa nonton bola. Biar tidak hanya dengar Om Rafael cerita. Jawab Guru Don. Saya setuju. Om Rafael memang senang berbagi cerita tentang pertandingan sepak bola yang disaksikannya di televisi. Tetapi versi ceritanya selalu tidak lengkap. Entah karena dipotongnya sendiri, atau dicampur dengan khalayannya. Kadang bikin pusing.

Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola, Bagian Pertama

Sekali waktu Om Rafael pernah cerita tentang pertandingan yang dia saksikan malam sebelumnya. Pertandingan sepak bola. Tetapi dia bilang, pertandingannya dihentikan karena ada raket yang patah. Kasihan, Nana. Raketnya patah. Padahal bola sudah hampir masuk ring. Katanya lalu berlalu. Tinggal aku sendiri, terpaku menatap langiiiit. Barangkali di sana ada jawaban. Mengapa di tanahku sepak bola menjadi gabungan antara bulu tangkis dan bola basket?

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tetapi Om Rafael memang begitu. Suatu ketika, saya baru saja mematikan televisi ketika handphone saya bergetar. Ada telepon. Dari Om Rafael. Pasti mau omong bola. Saya jawab saja.

OR: Nana, saya cape nonton bola ini malam e.
A: Hae. Bisa cape karena nonton? Om nonton sambil lompat-lompat ka?
OR: Tidak juga, Nana. Tapi kau punya Tanta ini ka. Maen tanya terus saja ini omongannya komentator. Sedikit-sedikit tanya apa itu trupas? Apa itu impresif? Terus sektor kanan itu apa?
A: Hahaha… Saya juga kadang bingung dengan itu istilah dorang, Om. Tapi, Om kasi jawaban bagaimana?
OR: Untunglah saya wawasan luwes, Nana. Jadinya saya bisa kasi penjelas.
A: Pake ‘an’, Om. Penjelasan. Terus luas. Bukan luwes. Adoooh.
OR: Pokoknya begitulah, Nana. Saya bilang trupas itu sama dengan pekerjaan. Misalnya trupas kita sebagai orang tua adalah mendidik anak. Benar to? Terus impresif itu ya, macam di Ndari. Ada SDI atau Sekolah Dasar Impresif. Nah kalau sektor kanan itu lawan dari dapat laba di kanan. Misalnya kalau dagang to. Kalau tidak dapat laba ya, berarti sektor.
A: TUHAN E. LINDUNGI TANTA. ITU TEKOR, OM. TEKOOOORRR! ARRRRGH.
OR: Hae, kenapa pake huruf besar ini telpon ka?
A: SUARA, OM. SUARA! BUKAN HURUF.
OR: Hahahaha. Nana mulai emosionalisasi e, aeh. Tapi saya juga bingung e. Dari tadi komentator omong Yabes Roni, Yabes Roni. Itu istilah baru, ka?
A: ITU NAMA PEMAIN, OOOOM. DARI NTT. OM, KITA BEKELAI E. OM CARI HAL TERUS…

Tut tut tut… Sambungan terputus. Saya duduk dan menangis. Persis seperti judul novel Paulo Coelho. “By The River Piedra I Sat Down and Wept”.Yang sudah diterjemahkan menjadi “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis”, dan menjadi salah satu novel wajib bagi penggemar Coelho. Tetapi saya tidak sedang di sungai Piedra. Saya di depan televisi. Yang sudah mati. Saya matikan lebih awal karena komentator sepak bola kita yang lebay minta ampun.

Oh, iya. Paulo Coelho itu dari Brasil. Brasil kalah di Piala Dunia 2018. Padahal Neymar sudah berusaha bikin drama telenovela di Rusia. Tetap saja kalah. Kasihan, ya? Tapi lebih sedih mana? Brasil atau Jerman yang kalah dari Korea Selatan? Hahahahahah…. Oooops. Maaf. Saya selalu sulit menahan tawa ketika menulis bagian ini. Jerman finish di peringkat empat grup lho. Peringkat terakhir di babak penyisihan. Silakan duduk dan menangis. Eh…

Anda merasa lelah? Begitulah. Nonton bola di Indonesia bisa bikin kita lelah. Selain karena Om Rafael yang sering asal omong, juga karena para penggemar sepak bola tanah air yang suka saling serang. Tetapi itu lucu. Dan saya suka. Asal tidak disimpan di hati. Asal tidak pakai lelucon fisik, atau agama, atau ras. Lelucon yang begitu umumnya tidak lucu. Yang lucu itu kalau Jerman kalah dari Korea Selatan dan Neymar berpikir bahwa dia adalah pemain telenovela. Oooops… Maaf.

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

#OmRafael #NontonBola

Note: Dialog Om Rafael diambil dari status facebook saya. Edisi ini adalah status facebook tanggal 26 Agustus 2017, ketika Timnas Sea Games Indonesia 2017 kalah atas Malaysia dengan skor 0 – 1, digabung dengan fakta-fakta Piala Dunia 2018.

1 thought on “Dialog Om Rafael: Nonton Bola di Indonesia Bisa Bikin Kita Lelah”

Tanggapan Anda?

Scroll to Top
%d bloggers like this: