Membaca: Aktivitas Mendulang dan Mendalang

Manfaat membaca tentu sangat banyak. Bisa disusun dari A sampai Z, atau dalam daftar bilangan hingga ratusan. Tetapi apa yang terjadi ketika seseorang membaca adalah hal yang menarik untuk dibahas. Romo Ino Dangku mengulas hal tersebut.

membaca aktivitas mendulang dan mendalang
Romo Ino Dangku

Romo Ino Dangku adalah rohaniwan, dosen di STKIP St. Paulus Ruteng dan anggota Petra Book Club Ruteng, Manggarai. Esai ini ditulis untuk dan dibacakan pada peringatan ulang tahun pertama Petra Book Club Ruteng. Kegiatan peringatan ulang tahun tersebut dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2014 di Markas PMI Kabupaten Manggarai. 

Membaca: Suatu Aktivitas Mendulang dan Mendalang


Oleh: Romo Ino Dangku 
Tiada yang tuntas di dunia. Seperti halnya kegiatan membaca yang tidak pernah tamat. Tangan dan mata pembaca memang menggapai halaman terakhir, tetapi isi bacaan bersarang dalam benak dan serentak memicu imaginasi mengepakkan sayap-sayap pembaca untuk terbang ke segala arah tanpa pernah bisa dikendalikan sang pengarang.

Dalam arti itu, kegiatan membaca tidak pernah berakhir dengan tanda titik, tetapi dengan titik koma karena potensi bacaan sendiri yang kaya makna dan karena potensi pembaca dengan kemerdekaan menafsir yang dimilikinya. 

Mengapa? Ketika sebuah kata menempati suatu konteks, kata itu dibebaskan dari penjara kamus dan melahirkan aneka makna yang serba mungkin. Meminjam kata-kata Paul Ricoeur: Ketika bahasa menjadi peristiwa, bahasa menjadi wacana, menjadi selembar tenunan makna, dan karenanya kata dari suatu bahasa memiliki polisemi, makna yang jamak
Dalam nada-nada yang hampir sama, di tanah air ini pernah Sutarjdi Calzoum Bachri menitipkan sebuah wasiat tentang kata. Pada awalnya adalah kata dan kata itu adalah mantra. Karena kata adalah mantra maka kata memiliki daya magis, dasyat dan menyihir setiap pendulang-pendulang makna.

Jika kata memiliki kedigdayaan yang demikian, maka kata harus dibebaskan dari beban arti yang mengungkung. Kedigdayaan kata yang demikian tidak hanya memenangkan kata sendiri, tetapi juga membuka gerbang kemerdekaan pembaca untuk menentukan dan menawarkan makna dalam berbagai tafsir. 

Baca juga: Dari Buku ke Tabungan

Di dalam wacana dan kitab-kitab, kata-kata tidak lagi merupakan anak kamus, tetapi sudah menjadi induk makna yang beranak-pinak. Every discourse has surplus meaning. Setiap teks, seperti buku-buku dan juga syering-syering pembacaan kita selama ini, selalu memiliki makna yang berlebih. Oleh karena itu, kitab-kitab kata bacaan kita tidak pernah bisa dikupas tuntas sekali baca atau selesai dibahas sekali duduk. 

Demikian pun syering pembacaan kita tidak boleh dikira berakhir di lesehan LG Corner Ruteng atau ruang ini (Markas PMI Kabupaten Manggarai, ed). Sebab, saat kita berbicara atau menyimak pembicaraan rekan kita, saat itu kita menyajikan teks dan mendulang makna secara bergantian.

BACA JUGA
Telinga Tak Selalu Mendengar
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kata-kata yang kita rakit dalam ungkapan dan kalimat kita amat berbusa, yang buih-buihnya mengisi memori kita untuk selanjutnya diolah dan dikelola. Entah pembacaan seseorang itu membenarkan, melengkapi dan menambah atau pun menggugat pembacaan kita sendiri. Pada akhirnya, kita kembali ke rumah masing-masing memetik buah-buah percakapan kita yang tampak remeh dan penuh kelakar. 

Jangan berkecil hati, justru dalam kepiawaian kita merakit kata dengan gurau canda dan gelak tawa itu kita meninggikan obrolan yang tampak biasa menjadi percakapan yang cendekia. Sebab, hanya yang cendekia yang mampu melucu, sedangkan yang cerdik biasa melicik. Hanya yang cerdas yang bercita rasa humor. 
Kawan-kawan,
Pernah kita sadari bahwa setiap kali membaca sebenarnya kita beraskese? Kita mengekang diri untuk tidak bercakap dan bergurau dengan orang-orang sekitar. Kita mengendalikan diri dari keasyikan memutakhirkan curah rasa dan ungkap maksud di facebook. 
Namun, kita sendiri mengalami, pengorbanan itu membuahkan kenikmatan sehingga setiap kali kita membaca, kita tidak hanya merasa penasaran, tetapi juga mengalami ketagihan. Oleh karena itu, setiap kali buku baru yang judulnya memukau pikiran, kita selalu tergoda dan bahkan, merasa terusik jika kita belum bisa memiliki. 
Memang. Membaca adalah suatu resepsi, seperti aktivitas makan. Menunya buku. Pembacalah penikmatnya. Itulah sebabnya para ilmuwan sastra menyebut aktivitas membaca sebagai resepsi, kegiatan menikmati suatu bacaan (reception theory). Oleh karena itu, setiap buku selalu mengundang pembaca dan pembaca senantiasa merasa diundang.

Berhubung dengan itu, kita petik kata-kata dalam Kitab Nabi Yehezkiel: Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan kepadamu dan isilah perutmu dengan itu. Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku” (Yeh., 3:3)

Baca juga: Rosario – Cerpen di Pos Kupang

BACA JUGA
Haruki Murakami and A Loneliness on "Men Without Women"

Seperti Yehezkiel, menurut hemat saya, membaca itu adalah sebuah panggilan. Sebab, setiap kali kita membaca kita berkontemplasi. Dalam hening kita merenung dengan tuntunan bacaan kita sehingga kita mendapat semacam ilham tentang keberadaan dan cara hidup yang ditawarkan atau ditentang, ilham tentang amanah dan haram, ilham tentang perintah dan larangan. Ilham yang mewajibkan kita untuk bersikap dalam kehidupan konkret. 

Itulah sebabnya konflik dan harmoni dalam cerita yang dibaca menggugah pembaca untuk mengelola konflik dan menata harmoni dalam hidup sehari-hari. Kekalahan atau kemenangan tokoh-tokoh kisah adalah cermin mengaca untuk tidak gagal atau tidak mabuk kemenangan. Keberpihakan atau kutukan kita pada salah satu tokoh adalah cermin kejujuran diri dengan siapa kita berbela dan untuk apa kita mengecam. 
Pada momen yang sama kita mengalami katarsis dan terapi. Mata kita menjadi terbuka melihat kekurangan dan kelebihan diri dari sosok dan peristiwa dalam roman. Bathin kita menjadi lebih jernih melihat diri dan orang lain sehingga tergugah untuk jujur dan apa adanya dalam keseharian.

Derita dan sakit sosok tertentu dalam cerita membawa kita pada kesadaran: selama kita masih manusia duka dan suka cita selalu menyertai alur kehidupan kita. Kita disembuhkan cerita justru ketika cerita memberitahu kita bahwa di samping kita ada orang lain yang juga menderita dan mungkin jauh lebih menderita. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kawan-kawan, 

Pernahkah pula kita ingat bahwa setiap kali kita membaca kita tampil sebagai hakim dan pembela sekaligus? Kita menghakimi Key sebagai sebuah karya yang picis dan mengagung-agungkan Pulang sebagai buah pena yang menawan.

Sebaliknya, kita mungkin membela Key sebagai karya etnologi agar kita mengenal sekilas gambaran watak suatu suku sebagai sesama saudara sebangsa. Mana watak yang sama dan mana cara pandang yang unik. Sebuah undangan untuk mengindonesia tanpa menanggalkan kesukuan masing-masing. Atau juga kita mengecam perilaku Toma yang suka usil dan memendam curiga dalam harmoni Padang Ara dengan Mawarnya Magdalena. 

Begitulah… 
Setiap pembaca bukan hanya menikmati melainkan juga menanggapi. Pengarang menyajikan karya dengan visi yang disetujui atau ditolak pembaca. Mengapa? Sebab, pengarang memiliki tujuan, sedangkan pembaca memunyai harapan. 

Karena penulis memiliki horison, sementara pembaca membawa serta batas pandang. Jika pengarang menata cerita dalam sebuah horison, maka pembaca mendambakan sebuah kisah berada dalam batas harapannya.

Itulah sebabnya ilmuwan sastra memaklumkan paradoks membaca bahwa membaca itu reseptif dan produktif sekaligus. Membaca tidak hanya mendulang makna tetapi juga mendalang makna. Membaca tidak hanya menikmati tetapi menanggapi. Teori resepsi pembaca harus diperluas menjadi teori tanggapan pembaca (reader response theory). Memang.

Membaca membuat kita menangkap dan mendulang makna tetapi serentak juga menggubah cerita dalam imaginasi kita yang bertualang. Itulah sebabnya Andre Fuller, pengaji karya Seno Gumira Adjidarma, menandaskan bahwa pembaca sama kreatif dengan dan bahkan lebih kreatif dari pengarang.

BACA JUGA
Ajak Anak-anak Anda Membaca Agar Mereka Tidak Radikal

Baca juga: Kampanye HIV/AIDS, Konsep atau Resep?

Dari satu cerita bisa lahir seribu satu cerita dalam benak dan bayang-bayang pembaca. Saat membaca kita mendulang makna-makna yang dibawa pengarang serentak menjadi dalang lahirnya cerita dalam mimpi dan impian-impian kita. 

Orang-orang seperti Armin, Jefry, dan Njeuk menemukan oase dalam membaca untuk cukup energi melahirkan puisi dan cerpen mereka. Sedangkan kita yang lain merasa cukup siap untuk menyambut karya-karya mereka dengan tanggapan yang semakin berwibawa. Atau jika Uciek dan Ajen merencanakan sebuah kisah atau syair, maka sekarang mereka berdua sedang hamil, ya, hamil kata-kata untuk kemudian melahirkan puisi atau cerpen. 
Hari ini Komunitas Pembaca Petra mengenang setahun bertualang dalam mendulang dan mendalang melalui selusin buku bacaan kita. Kita hadir dan tampil dalam kesahajaan kita. Namun, justru dalam kesahajaan itu kita mengalami hal-hal luar biasa karena kita tidak hanya mendulang tetapi juga mendalang makna. Itulah sebabnya kita masih betah di sini. Entah sampai kapan. 
Ruteng, 27 Juni 2014 – Menyambut 1 Tahun Petra Book Club
Romo Ino Dangku, Pr | 
Dosen di STKIP St. Paulus Ruteng. Pernah mengabdi di Seminari di Papua. Bernama lengkap Yohanes Mariano Dangku.
Bagikan ke:

2 Comments

  1. Artikel bagus, Romo (dan Pak Armin).. saya cukup jadi penikmat tulisan2 bagus dari Pak Armin, Pak Jefrin (ini sap teman e, Pak Armin), Ucik, Njeuk, dll.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *