Telinga Tak Selalu Mendengar

Tahun 2011 silam saya nekat meluncurkan buku kumpulan cerpen pertama. Beberapa cerpen pernah disiarkan di koran-koran di NTT dan yang lain ditulis dalam rentang waktu satu tahun dan dimuat tanpa proses penyuntingan yang berarti. 

telinga tak selalu mendengar
Telinga – Sebuah Antologi

Telinga Tak Selalu Mendengar

Buku kumpulan cerpen Telinga – Sebuah Antologi itu diterbitkan secara indie dengan semangat berapi-api dengan hasil yang astaga, kok begini? Tapi bagaimana pun, itu adalah anak rohani saya. Maka saya senang ketika mendapat apresiasi, entah itu dalam bentuk kritik yang pedas, juga dalam bentuk tanggapan hasil pembacaan
Berikut ini adalah resensi buku pertama saya itu oleh kawan-kawan di UNRAM Mataram. Terima kasih untuk resensinya, dan terutama terima kasih untuk apresiasi yang luar biasa atas buku pertama ini. Terima kasih untuk Rina Yulianti yang telah menghubungkan saya dengan teman-teman pencinta sastra Unram dan terima kasih untuk Ilda Karwayu untuk resensinya. Sukses selalu.

Telinga Tak Selalu Mendengar

Oleh: Ilda Karwayu 
Telinga. Setiap orang di dunia pasti setuju bahwa itu adalah salah satu panca indera pada tubuh manusia. Telinga berfungsi untuk mendengar. Mendengarkan apa yang terdengar dan ingin didengar oleh pemiliknya. Lalu, bisakah telinga melakukan sesuatu selain mendengar? 
Atau bisakah bagian dari diri kita yang lain menggantikan fungsi telinga sebagai pendengar? Adalah satu bagian tubuh yang bersedia, walau mungkin bukan sebuah indera namun terkadang orang bergerak dan merasakan segalanya menggunakan ‘itu’, apalagi jika sudah menyangkut masalah hati yang namanya cinta dan kasih sayang. Itulah hati. Ada banyak kisah tentang hati yang menerjemahkan cinta. Seperti apa kisahnya? 
Saat hati merasa ingin menggantikan fungsi panca telinga, demi sang cinta lama yang tertanam indah hingga kini. Ada rasa yang tak tersampaikan oleh lisan, tak lantas tertelan tak berbekas. Cerita demi cerita sang cinta selalu terdengar di telinganya. Jika lisan tak dapat berkata cinta, maka telinga akan mendengar cinta, meski dengan cerita cinta yang lain. Sang cinta telah dimiliki. 
Di lain kisah, kematian terkadang menjadi suatu bagian yang menakutkan dari hidup, walau tak dapat dihindari. Di kala kematian menghantui hidup seorang laki-laki, munculah sosok yang menyelinap dalam penantiannya. Obrolan renyah yang diujungkan dengan akhir yang tak terduga. Membuat segalanya akan menjadi mungkin. 
Juga saat dua sejoli merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang irasional, maka perpisahan pun menjadi suatu yang irasional. Tak ingin berpisah meski rasa telah hilang. Butuhkah alasan irasional saat pemberontakan hati menolak untuk berpisah? Apakah teori cinta itu akan mematikan jiwa keduanya dalam ujung kebimbangan? 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Skenario Alternatif untuk Film AADC 2 Remake

Kisah di atas adalah sekilas tentang hal umum yang kadang tak terpikirkan untuk dibahas dan diungkapkan, walau setiap orang pasti pernah mengalaminya. Antologi Telinga merupakan kumpulan cerita reflektif dengan cerita yang menyentuh dan gaya bertutur yang kuat dengan pilihan diksi yang memukau. 

Jika banyak para penulis yang takut menerbitkan kumpulan cerpennya karena terikat oleh aturan-aturan formal nan membingungkan, maka buku perdana karya Armin Bell inilah yang menjadi bantahannya. Satu kata untuk buku ini : TIDAK BIASA. 

Gaya penulisan yang mengalun, berhasil mengajak pembaca seolah menjadi tokoh utama dalam setiap cerita yang ada. Seperti notes kehidupan. Dengan bahasa yang puitis, akan memuat setiap orang berkata dalam hati : “Ah, inilah kisahku!”, “Benar! Aku pun merasa seperti itu.”

Baca juga: FF100K Karina – Kejutan

Kumpulan cerpen ini banyak mengisahkan kehidupan klasik yang diulas dengan bahasa puitis, membuat sudut pandang menjadi tidak membosankan. Ada beberapa tulisan puisi dan notes seorang kawan penulis. Begitu pun emosi yang tertuang dalam kumpulan tulisan ini begitu kuat. 

Tentang pengorbanan cinta seorang teman lama, dalam cerpennya terkutip : … maka aku diam, mendengar tetapi tidak berusaha mengerti. Menjadi sepasang telinga sudah cukup, mengapa berharap lebih? 
Telinga tak harus menjadi alat dengar, walau itu akan menyakiti diri dan membahagiakan hati yang bercerita. Telinga tak selalu pendengar. Begitulah perubahan fungsi yang irasional demi cinta, demi yang dipuja. Sesakit apapun, telinga dapat mendengar, tanpa mendengar. Sepenggal kepuitisan penulis yang tertuang dalam ceritanya. Serta kebimbangan sepasang kekasih yang berpisah tanpa alasan, karena cinta itu irasional, itu katanya. Serta beberapa kisah lainnya yang tak kalah menyentuhnya. 
Setiap cerita memiliki akhir yang gantung, terkesan seperti ingin memberikan kesempatan para pembaca untuk menentukan sendiri bagaimana akhir dari ceritanya. Jika pembaca jeli dan menikmati tulisan Armin Bell, maka tidak sulit untuk menangkap pesan yang ada. Sungguh menarik untuk dinikmati saat santai, seperti suguhan segelas es teh lemon di cuaca panas. 
Jika pembaca adalah penikmat sastra, maka antologi ini sangat pas sebagai penambah koleksi kumpulan buku sastra. Namun tak memberi sekat untuk pembaca yang ingin mengenal dunia sastra. Antologi unik ini juga akan menghadirkan sudut pandang baru dalam memandang sebuah posisi hidup yang terlihat dan dirasai sulit. Sudut pandang realistis dan sekali lagi, akan membuat pembaca berdecak kagum dan berkata : “Ya, memang begitulah seharusnya.” (*)

PS: Resensi Telinga Tak Selalu Mendengar ini dibuat beberapa saat setelah buku saya dipublish. Terimakasih.
Bagikan ke:

2 Comments

  1. aku diam, mendengar tetapi tidak berusaha mengerti. Menjadi sepasang telinga sudah cukup, mengapa berharap lebih?#Suka buke TELINGA katena kata-kata ini, Terlalu keran Pak.

  2. Terima kasiiiiih…. Bilang teman-temannya, buku Telinga ada di Toko Buku Gratiae Ruteng hihihi #promoterus 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *