Judul tulisan ini seperti sebuah ancaman. Tetapi tentu saja saya membawa beberapa alasan, termasuk bagaimana penguasaan atas banyak informasi akan membuat seseorang tidak memiliki kecendrungan super-reaktif pada sebuah isu.
Dongeng untuk Anak di LG Corner, Ruteng. Ajarkan cinta baca | Foto: Dok Saeh Go Lino |
Ajak Anak-anak Anda Membaca Agar Mereka Tidak Radikal
Sebagian besar pengguna media sosial barangkali pernah melihat meme yang menggambarkan seseorang dengan satu buku di dalam kepalanya sedang menampilkan ekspresi marah. Mulutnya terbuka sangat lebar, seperti hendak menguasai dunia dan seluruh percakapan, hanya bermodal satu buku. Bentuk buku yang di dalam kepalanya itu mirip Kitab Suci, entah milik agama apa.
Pesan moral gambar itu mungkin tentang betapa lantangnya teriakan orang-orang yang hanya membaca satu buku dalam hidupnya, betapa ngototnya mereka. Konfirmasi atas meme itu pada kehidupan nyata dapat dengan mudah dilihat di sisi kiri-kanan-depan-belakang kita.
Di Indonesia, jumlah orang dalam kategori itu sangat banyak, dan karena jumlah yang banyak itulah mereka lantas bersatu-padu sehingga teriakannya menjadi yang paling kencang. Di lain sisi, karena jumlah bacaan yang tidak banyak (hanya satu), teriakan mereka cenderung fals ketika diperdengarkan kepada orang-orang yang pengetahuannya lebih luas seturut asupan informasi yang lebih beragam.
Situs thejakartapost.com pada tahun 2016 silam (16/5) memberitakan sebuah kegiatan menarik yang digelar di Bentara Budaya Jakarta. Kegiatan itu adalah sebuah diskusi bertajuk “Buku vs Media Sosial: Membangkitkan Selera Literasi untuk Dunia”.
Judul berita yang dimuat media tersebut cukup provokatif, Low literacy Rate Leads to Fanaticism, Experts Say. Judul artikel tersebut merujuk pada paparan salah seorang pembicara tentang apa yang terjadi dengan minat baca di Indonesia.
Pembicara dimaksud adalah Henricus Widarmono, seorang jurnalis senior, pendiri tabloid untuk anak “Berani”. Henricus menyampaikan data hasil survey 2012 Program of International Student Assesment (PISA) yang menempatkan Indonesia di peringkat ke 64 dari 65 negara dalam student reading scores.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Survey itu mengevaluasi kemampuan literasi dari siswa usia 15 tahun. Peringkat yang sangat rendah tersebut menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia hanya mampu menyerap satu atau dua bagian informasi dari sebuah bacaan, dan memperlihatkan rendahnya kemampuan interpretasi dari para siswa.
Henricus lalu mengatakan, “This is very dangerous, as people with low interpretative skills have a higher tendency to be fanatic, radical or fundamentalist.” Ini dia soalnya. Situasi minimnya pengetahuan dan kemampuan menginterpretasi akan membuat seseorang memiliki kecenderungan menjadi fanatik, radikal, atau fundamentalis.
Tiga hal itu adalah secukup-cukupnya alasan untuk membuat seseorang menjadi ngotot tir tau diri dan kadang berujung pada chaos. Dalam skala kecil tentu masih bisa diredam, tetapi bayangkan jika sikap ngotot tir tau diri itu sampai ke tingkat nasional. Berabe to?
Baca juga: Soal Pengarang NTT dari Perspektif Sejarah dan Sosiologi Sastra
Sebagai jurnalis senior, Henricus Widarmono tentu telah banyak bertemu dengan golongan seperti itu; orang-orang yang hanya membaca kitab suci seumur hidupnya lalu merasa paling benar dan berpikir memiliki hak penuh mengatur hidup orang lain. Lalu bayangkan kalau orang-orang seperti itu jumlahnya akan bertambah banyak suatu saat hanya karena kita lupa mengajak anak-anak kita membaca banyak buku. Pasti perang! Yakinlah.
Karenanya, saya sepakat dengan Henricus ketika dia bilang, peran dan campur tangan orang tua dalam membangun kebiasaan membaca anak-anak adalah sesuatu yang sangat krusial. Caranya? Nah, ini… Ini dia bagian yang paling saya sukai dari artikel yang dimuat thejakartapost.com itu.
“Parents can help sharpen a child’s focus and concentration level with reading a bedtime story to them every night,” Henricus said. Ini adalah kutipan langsung yang diambil wartawan media tersebut atas apa yang pada paragraf pertama dia tulis: Parents must be involved in developing reading habits in their children in the current fast-paced digital era as populations with a low literacy rate are prone to fanaticism and radicalism.
Jadi begitu. Orang tua harus terlibat dalam pengembangan kebiasaan membaca pada anak-anak mereka di era digital yang serba cepat saat ini karena populasi dengan tingkat melek huruf yang rendah, rentan terhadap fanatisme dan radikalisme. Setuju?
Kalau masih belum tahu apa maksud saya berpanjang-panjang menulis ini, berikut saya bikin ringkasannya.
Indonesia ada di level rendah dalam budaya membaca. Orang yang tidak banyak membaca atau hanya membaca satu buku akan cenderung radikal, fanatik, dan muka jelek. Orang tua tidak ingin anaknya tumbuh menjadi muka jelek. Anak-anak harus banyak membaca. Orang tua bisa memulainya dengan membacakan dongeng sebelum tidur. Titik.
Jika tidak dilakukan, ini yang mungkin terjadi: Indonesia akan tetap ada di level rendah dalam budaya membaca. Akan semakin banyak orang yang menjadi radikal, fanatik, dan muka jelek. Anak-anak kita akan tumbuh sebagai muka jelek tadi. Orang tua akan menyaksikan anaknya muka jelek dan ‘membunuh’ orang tuanya sendiri. Kejam dan titik.
Sesungguhnya artikel yang saya bahas di sini menjadi salah satu artikel favorit saya di thejakartpost.com karena menyinggung tentang membaca dan dongeng. Dia menjadi semacam konfirmasi atas apa yang saya yakini selama ini, bahwa orang yang banyak membaca selalu memiliki banyak sudut pandang dalam melihat atau ketika memikirkan tentang sesuatu.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Dongeng untuk Anak adalah Jalan Awal
Meningkatkan minat baca bukan hal yang mudah. Banyak orang mengatakan salah satu penyebabnya adalah harga buku yang mahal. Saya tidak percaya. Saya menyediakan ribuan judul buku yang bisa diakses gratis di LG Corner Ruteng, dan kami beruntung jika menemukan satu atau dua orang sedang duduk membaca di sana dalam satu hari.
Alasan harga buku jelas tidak bisa saya terima. Lagipula, sekian banyak situs di internet menyediakan buku bacaan gratis. Unduh *pdf.nya, jadi sudah. In my humble opinion a.k.a IMHO adalah kebiasaan. Orang-orang memang tidak memiliki kebiasaan membaca.
Maka jalan awal adalah dongeng, seperti yang Henricus sampaikan di atas. Mengapa dongeng? Karena salah satu manfaat dongeng adalah meningkatkan minat baca anak. Silakan browsing kalau tir percaya. Kalian akan menemukan sangat banyak artikel tentang itu. Tetapi kalau tidak ingin browsing sendiri, saya bantu dengan menulis kembali di artikel ini.
Manfaat Dongeng untuk Anak menurut Ahli Psikologi
(Dirangkum dari berbagai sumber)
Pertama: Mengembangkan imajinasi anak. Dunia anak adalah dunia yang penuh imajinasi. Perhatikan bagaimana mereka kadang membangun percakapan dengan teman-teman khayalan mereka.
Imajinasi akan membantu mereka berpikir kreatif, serta terampil berkomunikasi dengan orang lain. Kosa kata yang ia dengar dari dongeng yang dibacakan atau dituturkan menambah jumlah kata yang ia miliki. Selanjutnya mereka akan memiliki kecendrungan ‘mencari sendiri’ kata-kata baru, dan itu sangat baik.
Kedua: Meningkatkan keterampilan berbahasa. Ini adalah bagian lanjutan dari hal imajinasi tadi. Mendengarkan dongeng adalah salah satu stimulasi dini yang bisa digunakan untuk merangsang keterampilan berbahasa pada anak. Selain itu, kisah-kisah dongeng yang positif akan membantu anak bertutur kata dalam bahasa yang sopan.
Ketiga: Meningkatkan minat baca anak. Secara tak langsung, anak-anak yang memiliki ketertarikan pada dongeng akan memiliki rasa penasaran yang lebih tinggi. Cara yang paling mudah untuk mendongeng adalah dengan membacakan buku cerita kepada mereka.
Ketika tertarik pada dongeng, mereka menjadi lebih tertarik pada buku-buku cerita bergambar. Dengan sendirinya, minat baca mereka juga meningkat. Tutorial mendongeng dapat dilihat di sini:
Dongeng Brothers Grimm – Tujuh Burung Gagak.
Keempat: Membangun kecerdasan emosional. Mendongeng bermanfaat membangun kecerdasan emosional anak. Ini adalah fungsi dongeng yang erat berhubungan dengan poin utama postingan ini; agar mereka tidak radikal.
Shortcut-nya kira-kira begini: anak mendengar dongeng, minat bacanya tumbuh, emosinya tertata dengan baik. Ketika kurikulum pendidikan kita lebih banyak mengurus kecerdasan kognitif, orang tua wajib ‘mengurus’ kecerdasan emosional mereka. Mendongenglah.
Kelima: Membentuk anak yang mampu berempati. Mereka yang memiliki kecerdasan emosi yang baik selalu lebih mampu berempati. Itu pasti! Yang memiliki sikap empati yang baik, tidak akan tumbuh menjadi orang-orang yang radikal, fundamentalis, atau fanatik. Ta.. daaaa…. get it?
Catatan ini barangkali seumpama lingkaran. Membaca, mendongeng, empati, non-radikal, lingkungan yang sehat, bangsa yang baik, dunia yang selamat, urutkan seturut keinginan kita semua. Aeh… Sampe di sini dulu e.
Jangan lupa mendongeng untuk anak-anak kita. Kalau mereka minta dibelikan buku, yuk beli. Jangan pelit-pelit. Atau mereka hanya akan tumbuh sebagai penggemar berat kitab suci yang tidak memiliki kemampuan interpretasi yang luas. Itu bahaya e.
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
Tulisan ini berutang pada:
- Low Literacy Rate Leads to Fanaticsm, Exprests Say (http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/20/low-literacy-rate-leads-to-fanaticism-experts-say.html)
- Manfaat Dongeng untuk Anak (http://female.kompas.com/read/2012/05/15/14183692/manfaat.dongeng.untuk.anak)
- Manfaat Dongeng yang Tak Terbantahkan (https://id.theasianparent.com/manfaat-dongeng-yang-tak-terbantahkan/)
Makasih…
Terima kasih Irenz 😀
Dan betapa sulitnya sy mencoba pd anak saya.. ultramen dan power ranger sudah merasuk sampe ke diap sum2 tulang belakang.. kalau pun sy mendongeng maka tokoh utama hanya 2: ultramen dan powerranger…dengan tema utama: pertarungan antara keduanya… ulasan bermanfaat pak armin.. terimakasih..tabe
Saya pikir, tentang siapa atau apa saja, asal dia punya waktu mendengar, itu baik sekali. Soal terbaik tentang dongeng adalah anak dapat membangun imajinasinya tanpa panduan televisi