Lima tahun terakhir, perkembangan media massa dalam jaringan (daring) sangat pesat. Dikenal dengan sebutan media massa online (atau media online), pegiat media massa daring berlomba menyajikan informasi sembari mengejar klik. Ataukah sebaliknya?
Di Indonesia, Harian Republika yang pertama kali merambah dunia jaringan ini. Harian nasional bertiras besar tersebut bergerak ke sisi cyber pada tanggal 17 Agustus 1995. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjelaskan fakta tersebut dalam sebuah publikasi berjudul Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika.
Laporan tersebut dikerjakan dua anggota AJI J. Heru Margianto dan Asep Syaefullah, sebagaimana ditulis beritagar.id. Tulisan Rahadian P. Paramita pada tahun 2015 tersebut juga menjelaskan bahwa tidak lama setelah Republika, Kompas melakukan hal serupa. Kompas Online berdiri tanggal 14 September 1995.
Meski Republika dan Kompas memulainya lebih awal, namun media massa daring yang disebut-sebut sebagai pelopor di Indonesia justru Detik.com yang lahir pada tahun 1998. Media ini layak dianggap sebagai pelopor, karena pertama, lahir bukan oleh media yang sudah terbit dalam versi cetak, dan kedua, menjadi begitu cepat populer.
Sebulan setelah Detik.com tayang di internet, kunjungannya mencapai 15.000 klik per hari. Satu tahun kemudian, jumlah pembacanya melesat menjadi 50.000. Jumlah pembaca tersebut dianggap sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah pengguna internet pada era tersebut.
Dalam lima tahun terakhir, jumlah pembaca media massa daring terus meningkat. Di saat yang sama, pembaca media massa konvensional menurun. Data hasil survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyebutkan, kebiasaan membaca orang Indonesia telah mengalami pergeseran.
Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%. Dirilis Katadata.id, menurut Nielsen Indonesia, saat ini pembaca media digital sudah lebih banyak ketimbang media cetak.
Kecenderungan tersebutlah yang tampaknya berusaha dimanfaatkan oleh pengusaha media atau para pegiat jurnalistik Indonesia. Maka lahirlah sekitar dua ribu media massa online di Indonesia (Data Dewan Pers tahun 2016). Sayangnya, hanya sekitar 10% dari jumlah tersebut yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan. Demikian disampaikan anggota Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo pada hari Rabu, 20 Januari 2016.
Situasi yang dilaporkan dua tahun silam tersebut rasanya tidak banyak berubah. Perburuan target klik, pekerja media yang minim pengetahuan, keinginan melakukan pencitraan secara berlebihan, membuat hari-hari terakhir ini kita menyaksikan ratusan tautan berita yang tidak saja bombastis dan meninggalkan kaidah dasar-dasar jurnalistik, tetapi juga mengabaikan aturan dasar berbahasa.
Baca juga: Media Massa, Politisi, dan Khalayak yang Pasrah
Dengan mudah kita bertemu dengan berita-berita dalam media massa daring yang mengabaikan aturan tata bahasa yang baik dan benar. Ada banyak contoh, izinkan saya memadatkannya.
Lima Kesalahan Penulisan Terpopuler di Media Massa Daring
Pertama, Kesalahan Menulis Di. Ini paling sering ditemukan. Para jurnalis atau editor atau kedua-duanya seperti para penulis pemula yang tidak tahu bahwa Di Palu itu berbeda dengan Dipalu. Yang pertama berarti di sebuah tempat bernama Palu, dan yang kedua berarti dipukul dengan menggunakan palu. Sama juga dengan Di Sidik yang berarti di rumah seseorang yang bernama Sidik, dan Disidik yang artinya sedang dalam tahap penyidikan.
Kedua, Kegemaran Menambah H. Situasi ini juga kerap terjadi dan barangkali disebabkan oleh kalimat lisan yang disampaikan oleh orang-orang dengan kecenderungan mendesah yang tinggi. Akibatnya, kata bawa yang berarti memegang atau mengangkat sesuatu sambil bergerak, sering ditulis bawah. Padahal, kata bawah berarti tempat (letak, sisi, bagian, arah) yang lebih rendah. Saya membayangkan sebuah kalimat dalam berita kriminal yang ditulis: Barang bukti tersebut di bawah ke kantor polisi. Kesalahan rangkap. Oh, jurnalis yang sedih.
Ketiga, Kekeliruan Menulis Sufiks -kan. Sufiks -kan akan mengubah suatu kata menjadi kata kerja. Kata kerja yang terbentuk akibat mendapat sufiks –kan menyatakan makna perintah. Maka jika dipasangkan pada kata masak, imbuhan ini akan berarti perintah kepada seseorang untuk memasak. Bentuknya harus ditulis masakkan. Tetapi sering sekali dijumpai dalam berbagai media massa daring, kata-kata yang diakhiri konsonan k hanya ditambah sufiks -an. Seperti kata semarak menjadi semarakan atau masak menjadi masakan, padahal keseluruhan kalimat sesungguhnya bermakna perintah. Hei, masakan aku mie rebus! Lho lho lho …
Baca juga: Media Massa Daring dan Masalah Akut Bernama Penyuntingan
Keempat, Kata-Kata yang Salah. Yang seperti ini rasanya tidak perlu dijelaskan panjang-lebar. Praktek adalah kata yang salah menurut KBBI. Yang benar, praktik. Respon yang berarti menanggapi/tanggapan itu seharusnya ditulis respons. Demikian juga dengan anti korupsi, semestinya ditulis antikorupsi. Oh, koruptor yang malang. Eh?
Kelima, Kata Serapan yang Ditulis dengan Aneh. Pernah lihat orang menulis kometmen, kompentesi, angkuntasi, akutansi? Saya sering. Yang sering tidak saya pahami adalah bahwa kesalahan penulisan seperti itu sering dijumpai (dan berulang-ulang) pada media massa daring kita.
Silakan heran. Ya! Silakan. Bukan silahkan. Heranlah dengan saksama. Betul. Saksama. Bukan seksama. Mengapa saya meminta Anda heran dengan saksama? Karena sesungguhnya, setiap media memiliki editor. Tugasnya adalah menyunting kata, kalimat, dan koherensi laporan jurnalis sebelum disajikan ke khalayak. Jika itu tidak dilakukan, bertahun-tahun kemudian kita akan membaca berita tentang seorang penjahat yang kepalanya di palu. Astaga. Bayangkan kalau kejadiannya berlangsung di Ruteng. Jauh sekali letak kepala penjahat itu. Di Palu. Beda pulau. Ckckck.
—
2 Mei 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Mantap kae. Nanti kita ngopi di bawah nekang e kae😁.Salam hormat, guru
A haa…. enak. Siap. Sip sip sip.