Hindia adalah nama Indonesia di zaman perang. Kisah-kisah perjuangan di zaman perang, pengkhianatan, sampai pada strategi perang, dibahas satu per satu oleh Iksaka Banu dalam Kumpulan Cerpen “Semua Untuk Hindia”.
Kumcer Iksaka Banu “Semua untuk Hindia”, Sebuah Tanggapan Pembaca
Berikut komentar salah seorang anggota
Petra Book Club Ruteng atas atas kumcer pemenang Khatulistiwa Literary Award tersebut.
Apa Yang Istimewa Dari Perang?
Saya diberi tugas untuk menyusun komentar buku kumpulan cerpen Iksaka Banu. Pada awalnya saya senang karena hanya diberi tugas untuk menyusun komentar– itu lebih mudah daripada menyusun esai. Namun apa yang saya anggap mudah itu sangat sulit ketika saya duduk di depan laptop tua saya.
Cerita pendek memang menarik dan enak untuk dibaca. Dari segi panjang cerita, tema, ide, alur dan penokohan, cerpen tak memberikan kita beban yang mengerutkan kening kita ketika dibaca. Bisa dimengerti kalau kita dapat membaca cerpen sambil menikmati kopi pagi, sebelum mandi, sebelum berangkat ke tempat kerja bahkan sebelum tidur malam.
Ketika membaca kumpulan cerpen Iksaka Banu inilah yang terjadi: Saya, orang merdeka yang terjajah di depan buku cerita, membayangkan cerita yang berdarah-darah, namun yang saya temukan adalah cerita tentang wanita yang mencintai negara yang dijajah oleh negaranya sendiri (Selamat Tinggal Hindia), perselingkuhan (Stambul Dua Pedang), pergundikan (Racun untuk Tuan) dan takhyul (Gudang Nomor 012B).
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Cerita tentang perkara-perkara tersebut tidak istimewa, karena cerita-cerita ini saya dengar di masa damai; bahkan di kampung Kakor–yang tradisional dan konservatif dalam urusan agama–cerita perselingkuhan sering saya dengar.
Baca juga: Cinta Sederhana di Novel Mawar Padang Ara
Orang beristri dua pun bukan cerita baru apalagi cerita tentang setan: potiwolo, ineweu dan spesias setan lainnya. Harapan saya akan sebuah cerita yang berdarah-darah pada kumpulan cerpen ini baru terwujud di pertengahan buku.
Diawali dengan cerita “Semua untuk Hindia”, disusul “Di Ujung Belati” dan “Bintang Jatuh”, tiga cerpen tersebut mengingatkan saya pada kata-kata Emanuel Levinas: “Perang mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan!”
Perang tidak manusiawi dan tidak bermoral. Perang mendorong orang untuk memainkan peran-peran di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. “Perang mengadakan suatu tatanan yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun,” kata Levinas lagi.
Kembali tentang kumcer
Semua untuk Hindia; cerita-cerita Iksaka Banu sederhana baik dari segi tema, ide, alur dan penokohan. Tak dibutuhkan pengetahuan khusus atau jerih payah interpretasi untuk memahami cerita-ceritanya.
Iksaka memilih latar sejarah yang hampir diketahui oleh semua orang berkat pelajaran sejarah di bangku sekolah; kita tahu sejarah perjuangan bangsa kita: perang di Bali, Surabaya, Jakarta, Yogyakarta (mungkin juga di Manggarai).
Kita juga tahu sepak terjang Belanda (penjajah) selama perang kemerdekaan. Tetapi siapa yang tahu perkara pergundikan, laskar yang bertindak sebagai bandit dan perampok, takhayul dan perselingkuhan pada masa perang kemerdekaan? Siapa yang tahu ironi penyebaran agama oleh kaum penjajah di tanah “misi” (baca: tanah jajahan)?
Ada banyak perkara dan kejadian namun hanya beberapa yang menjadi tema dan ide cerita. Ada proses seleksi, sehingga yang lulus seleksilah yang dijadikan tema dan ide cerita. Tema dan ide itu didramatisasi untuk memberikan efek tertentu.
Banu dengan jeli mengangkat ke permukaan hal-hal yang luput dari perhatian banyak orang apalagi sejarawan. Saya yakin kaum yang terakhir ini hanya tertarik pada narasi besar: kapan, di mana, mengapa, jumlah korban perang dan lain sebagainya. Mereka menyajikan data sejarah; kita mungkin membacanya tanpa emosi sama sekali.
Namun di tangan Banu, sejarah disajikan dengan cara yang unik. Kepiawaian Banu terletak pada kemahirannya melukiskan gejolak batin tokoh-tokohnya sehingga semuanya benar-benar hidup di batin pembaca.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, Iksaka Banu menjadikan kita sebagai pelaku. Dia berhasil melahirkan perasaan terlibat pada pembaca. Ketika “sejarah” itu dibaca, seolah-olah kita membaca “sejarah” yang kita buat sendiri. Berhadapan dengan cerita-cerita Banu, kita adalah pembaca sekaligus pelaku.
Iksaka Banu punya pengetahuan sejarah yang baik. Rasanya mustahil dia menulis cerita-ceritanya tanpa tahu tentang sejarah. Hal-hal kecil yang dijadikan tema dan ide cerita-ceritanya mungkin ditemukan dalam dokumen-dokumen sejarah namun bukan tidak mungkin tema dan ide tersebut didapatkan dari penuturan orang-orang.
Baca juga: Nama Anak dan Harapan Orang Tua
Bisa jadi mereka dituturkan di meja makan, di kedai kopi, di dalam bus, di kemah metet orang mati atau di kamar tidur sebagai cerita sebelum tidur yang dituturkan neneknya sebelum tidur. Setiap orang bisa secara tidak sengaja memberikan tema atau ide cerita bagi Iksaka Banu. Pengetahuan dan pengalaman diramu oleh imajinasi, sehingga lahirlah cerpen-cerpen yang menarik.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Mengapa Bukan Saya?
Setiap kali selesai membaca cerpen (termasuk cerpen-cerpen pilihan Kompas), muncul pertanyaan dalam diri saya: mengapat saya tidak mampu menulis cerpen seperti ini? Rasanya telah lama saya menyukai cerita pendek. Namun kalau ditanya berapa cerpen yang telah saya hasilkan maka mulut saya terkunci.
Bila belajar dari Iksaka Banu, rasanya saya tidak kekurangan tema dan ide penulisan cerpen. Manggarai adalah rahim tema dan ide cerita. Ia punya sejarah Motang Rua, pembabatan kopi di Colol, persoalan tambang dan lingkungan hidup, belis perkawinan, harga komoditas pertanian yang jarang naik sementara harga pupuk semakin tidak tidak terkontrol, dan sebagainya.
Saya juga tidak mengalami kesulitan menemukan teman sebagai editor atau teman curhat karena saya bergabung dalam klub, bukan klub malam melainkan klub sastra (meskipun aktivitasnya terjadi malam hari). Sepertinya tidak ada cerpenis (novelis, dsb) yang menghasilkan karya sastra dalam kesendirian.
Sebagai contoh: Leo Tolstoy memilik istri yang setia menyalin ulang naskah yang telah dikoreksinya sampai 120 kali. Di setiap novel/buku kumpulan cerpen ada seksi/bagian tertentu di mana penulis menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya. Akankah saya mulai menulis cerpen dan kepada siapakah ucapan terima kasih saya sampaikan?