Hari Jumat, 30 Mei 2014 silam kami berkumpul kembali. Pertemuan bulanan anggota Petra Book Club Ruteng, Manggarai. Buku yang dibahas adalah sebuah karya penulis asal tanah kami: Manggarai.
![]() |
Mawar Padang Ara karya Otto J. Gaut |
Resepsi Atas Novel Mawar Padang Ara
Sebagai penulis asal Manggarai, Otto J. Gaut berhasil mengangkat cerita yang manis, mengambil latar yang akrab dengan kami, dan membawa kami ke Nuca Lale bertahun silam melalui “Mawar Padang Ara”.
Misalnya, bahwa dulu, istri guru itu dipanggil Nyora. Bahwa dulu, Guru Agama atau Katekis itu menggunakan lentera, bahwa dahulu Guru Kepala atau Kepala Sekolah adalah tokoh yang bijak, dan sebagainya dan sebagainya.
Novel ini sangatlah ‘kami’. Demikianlah, Jeli Djehaut a.k.a Ema’d Erich menulis esai berikut ini sebagai kisah pengalaman membaca Mawar Padang Ara yang sebelum diterbitkan sebagai novel, adalah pemenang lomba menulis di Femina.
Cinta Sederhana di Novel “Mawar Padang Ara”
Oleh: Jeli Djehaut
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Masyarakat seperti ini juga biasanya diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. Bagi anggota yang tidak memenuhi norma dan kaidah yang sudah disepakati, akan dihukum dan dikeluarkan dari ikatan sosial dengan cara mengucilkan/memencilkan.
Atau oleh nafsu tradisional di luar nilai-nilai standar. Kadang-kadang oleh masyarakat itu sendiri. Melakukanya dgn cara-cara kekerasan. Oleh karena itu setiap anggota harus patuh dan taat melaksanakan aturan yang ditentukan.
Otto J. Gaut mengangkat kisah dengan memunculkan konflik utama yaitu membenturkan nilai/norma yang sudah biasa dengan nilai-nilai baru yang masuk seperti agama (cerita tentang keinginan Toma menikah), pendidikan (Magda yang menjadi Nyora yang sebenarnya ingin tetap bersekolah), budaya (Pastor mengunjungi Nyora saat suaminya sedang berada di kota) dan aneka hal lain.
Bagi saya pribadi novel ini cukup bagus. Bukan karena persoalan utama dalam cerita tetapi terutama pada kemampuan penulis mengangkat cerita dengan latar belakang Manggarai, mengangkat budaya lokal manggarai dengan produk budaya sendiri: Songke, Belis, Loma Mata dan lain-lain. Itu adalah ‘sesuatu’ buat Indonesia.
Penulis mengangkat situasi kampung dengan seluruh cirinya dan menggabungkannya dengan situasi lain yang lebih maju pada saat itu.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); |
Ah, iya ada satu kata yang rasa-rasanya cocok dikenang yaitu: SEDERHANA. Saya ingin pesan itu tetap terekam dalam kepala, mudah-mudahan dari kepala bisa nyantol ke hati, Amin! Lebih tepat mungkin: Cinta yang Sederhana! Cinta Magda (Nyora) dalam Novel tersebut adalah apa adanya, tanpa syarat, tanpa tuntutan, tanpa batas waktu.
Baca juga: Surat dari Sahabat
Cinta yang sederhana: Tulus dan Setia. Cinta Magda yang secara tak sadar tergoda tetapi dengan cara yang sederhana menemukan kembali jiwa dari cintanya itu -dengan membaca lagi surat-surat lama). Cinta yang sempurna ketika dijalankan dengan keikhlasan.
Jeli Jehaut
Anggota Petra Book Club, tinggal di Ruteng.
Anakronisme: Penempatan peristiwa, tata latar (setting) tokoh, maupun dialog yang tidak sesuai dengan tempat dan waktu yang dipilih sastrawan dalam karyanya. Terjadi dalam karya sastra realistis, dan mengambil setting di masa lampau. Meski dianggap mengurangi kepercayaan pembaca, anakronisme kadang disengaja demi efek dan nilai lambang sastra dalam karya-karya modern, seperti dalam aliran surealisme yang lebih menekankan kelanggengan peristiwa yang tidak terikat oleh waktu.
Awesome
Terima kasih.