Catatan ini bisa saja keliru. Akan diperbaiki jika memang perlu. Tetapi baca saja dulu. Jangan buru-buru beri nilai satu. Kamu belum jadi guru. Berlatihlah bersabar selalu. Harus begitu!
Hari guru sudah berlalu. Setiap peringatan selalu begitu. Dirayakan, kemudian diabaikan karena datang cerita baru. Tetapi cerita tentang peran guru tidak begitu. Akan selalu ada sepanjang segala masa, dan selalu. Membuat refleksi juga begitu.
Kalau mengenang jasa para guru dan membuat refleksi tentang peran mereka hanya dilakukan pada hari guru, itu namanya terlalu. Sungguh ter-la-lu, seperti kata Rhoma Irama sebelum memulai lagu. Semenakutkan bagaimanapun seorang guru, cerita tentangnya tidak akan terhapus meski kita telah besar dan sudah membangun rumah tangga baru. Karena kalau dihapus, bagaimana negara ini bisa maju?
Di pundak merekalah nasib bangsa ini ditentukan; apakah akan lahir generasi baru yang cerdas atau justru membuat kita kembali ke zaman batu. Untuk itulah kita memerlukan para guru yang cakap, berkapasitas baik, dan menjadi bagian dari sepuluh pemuda yang diminta Sukarno, alih-alih seribu orang tua yang hendak diajaknya memindahkan Semeru.
Tetapi tidak semua guru lantas harus ditiru. Ada beberapa tipe yang justru menghambat niat kita bergerak maju. Tipe-tipe berikut ini adalah beberapa contoh dari seribu. Tentu saja berasal dari pengalaman-pengalaman pribadi, baik masa lalu maupun yang paling baru.
Tipe Guru yang Terburu-buru
Ini tipe guru yang ingin para muridnya segera menjadi pintar sehingga cenderung tidak sabar menunggu. Akibatnya, dia akan mudah memberi label pada muridnya-muridnya itu: anak pintar, anak malas, anak bodoh, anak belagu, bahkan ada yang diberi label sebagai anak bau.
Tipe guru seperti itu lumayan banyak jumlahnya, untuk tidak menyebut sebagian besar guru memang begitu. Yang tidak disadari adalah akibat pelabelan-pelabelan demikian, yang mendapat julukan buruk merasa bahwa pandangan gurunya itu benar, meyakininya dengan sungguh, lantas enggan bergerak maju.
Baca juga: Surat Terbuka dari Ruteng untuk Najwa Shihab
Masih sebagai akibat, yang lainnya adalah pengaruhnya pada pendekatan sang guru. Kepada anak yang bau, guru tidak lagi ingin mendekat, kepada yang belagu, guru lebih sering memberi siksa, yang pintar didampingi selalu: diutus ke lomba-lomba, dipuja dan dipuji, direkomendasi ke universitas nomor satu.
Guru yang terburu-terburu seperti itu umumnya akan menciptakan situasi yang buruk terutama pada pembentukan karakter siswa-siswa yang ‘dipinggirkan’, dan karenanya tidak perlu ditiru.
Tipe Guru yang Banyak Tahu
Ini banyak ditemukan pada zaman now ketika mana seluruh teknologi pesat melaju. Sebagian guru masih ‘tertinggal’ di zaman dahulu sehingga tidak bisa lagi menyesuaikan pengajarannya dan menjadi mati kutu. Ya, begitu. Di hadapan gerak revolusi digital 4.0, banyak guru yang tidak tahu lagi cara meningkatkan mutu.
Guru seperti itu menjadi mudah tersinggung karena muridnya lebih banyak tahu. Akibatnya, mereka mengulang-ulang pernyataan bahwa nomor satu guru selalu benar dan jika guru salah maka semua harus kembali melihat peraturan nomor satu. Kegiatan belajar mengajar akan menjadi kacau. Murid-murid yang telah banyak tahu akan menjadi kepala batu.
Guru yang tidak banyak tahu, yang melengkapi ketidaktahuannya itu dengan tidak pernah berusaha belajar adalah batu sandungan bagi gerak maju dunia pendidikan di negeri ini, negeri seribu pulau.
Tipe Guru yang Mirip Serdadu
Serdadu adalah orang-orang yang dianggap kejam di zaman dahulu. Membawa senjata, mengamankan negara, mengancam jiwa-jiwa pemberontak dengan lars sepatu atau tang pencabut kuku. Ada guru yang seperti itu. Kehadirannya di ruang kelas akan membuat seluruh kelas terdiam membisu. Guru Killer, istilah populernya begitu. Umumnya yang mengampu mata pelajaran tertentu.
Guru yang seperti itu membuat anak-anak tidak bisa apa-apa selain setuju. Kreativitas siswa menjadi mati dan lonceng tanda pelajaran berakhir seumpama jawaban atas sejuta rasa rindu. Kecerdasan apakah yang dapat diperoleh dari pengajaran seperti itu?
Tiga tipe guru di atas sudah seharusnya tidak perlu ada di zaman sekarang yang serba maju dan penuh semangat baru. Bukankah begitu? Yang kita butuhkan adalah guru-guru yang banyak tahu, mengajar dengan lucu, memberi perhatian yang sama pada semua murid dari yang paling pintar sampai yang paling lugu.
Tentu saja perhatian yang sama berarti bahwa setiap murid mendapat perhatian sesuai dengan apa yang paling dia perlukan, bukan apa yang dipikirkan oleh guru. Karena guru tidak boleh sok tahu. Karena itulah negara perlu menyiapkan para guru. Agar menjadi lebih bermutu. Melalui pendidikan dan pelatihan yang dirancang dengan jitu. Lihat video ini dulu!
Ada juga hal selain itu. Guru-guru seharusnya tidak dipaksa berurusan dengan urusan-urusan administrasi yang membuat mereka lupa menyiapkan pelajaran bahkan lupa menyetrika baju. Padahal guru-guru harus tampil prima: baju disetrika, sepatu disemir, dan tidak memakai kaus kaki bau.
Baca juga: Om Rafael Bertemu Guru Don
Beberapa guru yang saya temui di sela peringatan hari guru kemarin itu mengeluhkan kurangnya waktu mereka membaca buku. “Bagaimana kami baca buku kalau setiap hari hanya sibuk dengan administrasi yang banyaknya sepulau?” Saya mendadak setuju. Tetapi kalau mereka tidak mau mengurus administrasi, bagaimana bisa beli kaus kaki baru? Jadi guru kadang susahnya begitu.
Urusan-urusan administrasi umumnya berhubungan dengan kesejahteraan para guru. Idealnya adalah mereka semua belajar mengatur diri agar menggapai kesejahteraan tidak membuat mereka lupa membaca buku. Saya kira begitu.
–
1 Januari 2019
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Gambar dari Indozone.id.