Menjadi Orang-orang Kecil, Renungan RD Lian Angkur

Menjadi orang-orang kecil adalah judul yang dipilih RD Lian Angkur dalam homilinya pada Minggu Biasa XIV. Siapa orang kecil itu?

menjadi orang-orang kecil
No Caption Needed | Foto: Armin Bell

Menjadi Orang-orang Kecil

Oleh: RD Lian Angkur

Injil hari ini (Mat. 11:25-30 ) dimulai dengan ucapan syukur Yesus kepada Allah BapaNya. “Aku bersyukur kepadaMu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi, sebab misteri Kerajaan Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.”

Yesus sungguh merasakan bahwa Allah menghargai dan mencintai orang-orang kecil. Siapakah yang dimaksudkan dengan orang-orang kecil itu? Apakah itu orang miskin, yang tidak punya kuasa atau kedudukan, atau yang terbatas dalam banyak hal? Tentu tidak.

Jika itu yang dimaksudkan, jangan sampai, muncul anggapan bahwa Allah tidak berpihak, tidak mencintai orang-orang kaya dan yang punya kuasa atau kedudukan, atau mereka yang berkelimpahan–Allah itu pilih kasih. Sekali lagi, tentu tidak.

Dari keseluruhan isi bacaan-bacaan suci hari ini, yang dimaksudkan dengan “orang-orang kecil” adalah mereka yang sungguh merasa kecil–tak berarti–di hadapan Allah, yang takut akan Allah, yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi.

Umumnya, orang-orang seperti ini akan selalu rendah hati-tidak sombong, lemah lembut-tidak kasar, tulus-ikhlas, murah hati, sabar-penuh kasih dan pengertian, serta cinta damai. 

Sikap-sikap ini bisa dimiliki oleh semua orang, entah dia miskin atau kaya, entah dia orang kecil maupun orang besar dan punya kuasa.

Dengan demikian, yang dilihat Tuhan bukan pada apa yang seseorang miliki termasuk status, kedudukan, profesi, tetapi apa yang seseorang hayati dan lakukan khususnya yang berhubungan dengan sikap-sikap orang kecil tadi.

Memang disadari bahwa itu tidak mudah. Seseorang akan berhadapan dengan kecenderungan manusiawinya–tidak berlaku untuk semua orang tentunya–antara lain: sikap tidak sabar, tidak mudah puas, sombong, jeli melihat kesalahan orang lain dan senang menceritakannya, main kasar (menyelesaikan persoalan dengan jalan kekerasan-ancam mengancam), enggan berkorban, suka yang mudah-mudah saja, ingin hasil cepat, dan lebih banyak andalkan kemampuan, kelebihan, dan kekuatan diri, dari pada kuasa Tuhan. Ini tantangannya.

BACA JUGA
Surat dari Sahabat
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Namun seorang pengikut Kristus tidak perlu takut atau menyerah, karena dengan berusaha memiliki dan menampilkan sikap-sikap “orang kecil” tadi, pertama, seseorang akan selalu terdorong untuk bersyukur dalam setiap situasi hidupnya.

Bersyukur bukan karena memiliki sesuatu tetapi lebih karena bisa dengan mudah menerima dan berdamai dengan situasi apa pun

Selanjutnya, orang yang lemah lembut dan penuh kasih akan lebih mudah memikul beban–menghadapi persoalan, menjalankan tanggung jawab dengan sangat baik dan menyenangkan.

Ada banyak contoh pekerjaan yang dilakukan atas dasar semangat kasih ini.

Ada seseorang mendatangi seorang anak laki-laki yang sedang menggendong seorang anak yang lebih kecil (adiknya), yang lumpuh. Orang itu berkata, “Engkau membawa suatu beban yang sungguh berat.”. Anak laki-laki itu menjawab, “Ini sama sekali bukan beban. Ini adalah adik laki-lakiku”.

Beban atau tanggung jawab yang dihadapi dan dipikul dalam kasih yang lemah lembut akan terasa ringan dan menggembirakan. Ada banyak contoh lain. Misalnya Ahok. Atau orang yang bepergian jauh (jarak dan waktu tempuh yang tidak singkat, belum lagi kondisi jalan yang cukup sulit dan menantang, tapi terasa dekat dan tidak melelahkan. Resepnya: dijalankan dengan hati penuh cinta dan damai).

Baca juga: Untuk Bahagia, Kita Butuh Orang Lain Menderita

Untuk maksud ini, Yesus kembali mengajak kita untuk datang dan belajar padaNya. Yesuslah sosok yang dinubuatkan Zakharia (Bc I), sebagai raja yang adil dan jaya-lemah lembut, yang melenyapkan busur perang dan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa.

Ini diulangi oleh Yesus sendiri dalam Injil tadi, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, sebab Aku ini lemah lembut dan rendah hati. Maka hatimu akan mendapat ketenangan.”

BACA JUGA
Mengapa Kita Harus Bicara?

Di sini, terkandung pesan singkat bahwa kita tidak hanya mengimani Yesus tetapi juga terus belajar dari atau mencontohi Dia.

Selain ajakan untuk bersikap lemah lembut dan rendah hati-penuh kasih, Yesus akhirnya juga mengajak-mengundang kita, khususnya yang letih lesu dan berbeban berat, untuk datang kepadaNya, agar memperoleh kelegaan.

Mari masing-masing kita bertanya, beban atau persoalan apa yang sedang saya pikul saat ini?

Kita bawa kepada Yesus. Yakinlah, Tuhan Yesus selalu bersedia membantu meringankannya. Jika itu yang selalu terjadi, kita sungguh merasa bahwa dalam menjalani hidup ini, dengan beban persoalan yang dihadapi, kita tidak sendirian.

Tuhan menemani-mendampingi kita, orang-orang kecil. Sehingga kita pun akan selalu tergerak untuk berseru dan memohon, “Ku tak dapat jalan sendiri. Tuhan, tolong padaku. Biarlah sinarMu menerangiku. S’bab ku tak dapat jalan sendiri. Semoga!

RD Lian Angkur | 
Imam Keuskupan Ruteng, kini berkarya di Paroki Waelengga.

Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *