Tulisan tentang situasi HIV/AIDS di NTT telah saya bahas dalam dua bagian di blog ini. Tulisan tersebut sebelumnya disiarkan di Harian Flores Pos.
Pegiat HIV AIDS di negeri ini selama sekian lama tahu betul bagaimana cara mengkampanyekan perang melawan endemi ini dengan formulasi sederhana. Mereka menyebutnya ABC, Abstinence, Be Faithful dan Condom.
Abstinence berarti tidak boleh berhubungan seks. Sasaran dari poin ini adalah remaja atau yang belum menikah. Alasannya sederhana. Hubungan seks adalah salah satu ‘moda transportasi’ berpindahnya virus ini.
Dengan tidak melakukan hubungan seks, maka peluang tertular menjadi sangat kecil, kecuali tentu saja jika dia (remaja atau yang belum menikah tadi) mendapatkannya melalui jarum suntik atau bawaan lahir dari ibu yang sejak awal tertular sehingga ASI-nya membawa ‘barang’ itu.
Selanjutnya Be Faithful yang artinya setia dengan pasangannya. Ini tentu saja untuk yang menikah atau yang memutuskan samen leven. Penting menyebut samen leven karena gejala hidup serumah tanpa ikatan pernikahan (misalnya: sakramen pernikahan dalam agama Katolik) mulai terlihat di beberapa tempat di negeri ini.
Selanjutnya adalah Condom yang berarti kewajiban menggunakan kondom jika melakukan hubungan seksual beresiko. Mengacu pada dua poin sebelumnya, hubungan seksual beresiko adalah hubungan seksual di luar pernikahan entah itu remaja yang belum menikah atau mereka yang tidak setia pada pasangannya. Penting untuk menegaskan bahwa ‘pernikahan’ yang saya tulis di sini bukan sakramen tetapi pasangan tetap.
Maka demikianlah mereka, para pegiat HIV/ADIS di negeri ini selalu berkampanye di setiap kesempatan. Menularkan ilmu itu kepada seluruh lapisan masyarakat, ABC – Abstinence, Be Faithful, Condom. Lalu muncul kontroversi. Cerita tentang kondom dipandang sebagai tiket yang membolehkan orang melakukan hubungan seks di luar pernikahan.
Kaum puritan protes. Saya juga. Terutama karena sepertinya kondom menjadi begitu disederhanakan fungsinya. Seorang pegiat HIV/ADIS ketika bercerita tentang ABC ini berkata, “Kondom adalah cara ketiga apabila cara satu dan dua tidak teratasi atau tidak terbendung.”
Dalam terjemahan bebas personal, kalimat itu tentu saja lalu berubah makna menjadi peluang; bahwa seseorang boleh melakukan hubungan seksual di luar pernikahan asal menggunakan kondom -demikianlah laju virus bisa dihentikan-. Apakah itu kalau bukan saran? Begitu saya melihatnya, mungkin demikian pula golongan puritan.
Apakah sebenarnya yang keliru dari ABC itu? Begini saya melihatnya. ABC pada mulanya adalah konsep. Sebagai konsep, dirinya tidak bisa lalu diubah sebagai resep. Maksudnya adalah ketika hal-hal tersebut sama-sama diyakini sebagai konsep, maka titik tujunya adalah perubahan perilaku. Dengan demikian kita sama-sama sepakat bahwa kampenye tentang mereka pun seharusnya fokus pada kalangan sasaran.
Abstinence dikampanyekan hanya dan berulang-ulang kepada kelompok sasaran yang tepat, pada situasi kita tentu saja kalangan remaja karena berdasarkan data dari 250 ribu kasus HIV di Indonesia, empatpuluh persen di antaranya adalah kelompok orang muda. Kepada kelompok ini, kampanye pentingnya tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah perlu dilakukan secara besar-besaran.
Mereka layak mendapat penjelasan yang lebih lengkap tentang mengapa tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah, sehingga pemahaman tentang ini tidak terbatas pada: Bahwa melakukan hubungan seksual sebelum menikah itu potensial menyebarkan HIV AIDS.
Secara pribadi saya menganggap itu adalah bentuk penyederhanaan terhadap no sex before married. Padahal kita semua sama-sama tahu bahwa saran untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah bagi kaum remaja memiliki sangat banyak kepentingan, di antaranya: persoalan psikologis, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan terutama self respect.
Nah, dalam konteks ini, jika kampanye Abstinance dilakukan dalam bingkai pemikiran yang lebih luas dan tidak terbatas pada mencegah penularan virus (atau hanya persoalan kesehatan), maka yang terjadi adalah kemungkinan perubahan perilaku. Remaja akan berpikir berulang kali tentang niatnya melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Mereka pada akhirnya paham bahwa berhubungan seksual sebelum menikah itu berdampak buruk secara psikologis, ekonomi dan lain-lain.
Hal serupa juga akan terjadi pada kelompok sasaran yang sudah menikah atau mereka yang memutuskan samen leven jika kampanye tentang Be Faithful tidak hanya sekedar ‘mengingatkan’ mereka tentang persoalan bahaya kesehatan yang mengintai kalau tidak setia.
Baca juga: FF100K Karina – Karma
Kelompok ini seharusnya diingatkan mengapa kesetiaan pada pasangan itu penting, apa manfaatnya bagi keutuhan keluarga dan lain sebagainya. Sekali lagi. Titik tuju kita adalah pada perubahan perilaku. Bahwa sikap tidak setia pada pasangan itu bahayanya besar. Mengapa hanya HIV AIDS yang dianggap berbahaya?
Hemat saya, yang jauh lebih berbahaya adalah kehancuran rumah tangga karena persoalan ekonomi, anak-anak menjadi tidak diperhatikan dan pada tahap selanjutnya akan mengalami persoalan psikologis yang besar sebagai produk dari broken home. Yang sedang kita selamatkan adalah generasi. Mengacu pada pandangan bahwa setiap orang tua selalu menginginkan hal-hal terbaik untuk anak-anaknya, mereka tentu saja akan berpikir ribuan kali untuk bersikap tidak setia.
Demikianlah kira-kira mengapa setiap fokus itu dibahas dengan detail dengan kerangka berpikir yang luas. Lalu kita berpendapat: “Ah, semua orang tahu kok pentingnya kesetiaan bagi keutuhan keluarga!” Benar! Semua orang tahu, tetapi tidak semua orang menjiwainya. Yang perlu dilakukan adalah membuat pengetahuan itu menjiwa. Dan ini perlu dilakukan berulang-ulang, masif dan melibatkan semua pihak.
Lalu bagaimana dengan kondom? Saya selalu percaya bahwa kondom diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar dan bukan sekadar mengurangi kemungkinan ditulari. Dalam konteks HIV/AIDS, kondom itu penting-sepenting-pentingnya. Tetapi sepertinya mengkampanyekannya pada semua kelompok sasaran bisa diartikan sama dengan menjelaskan cara aman untuk tidak Abstinence dan Be Faithful. Maka tentu saja saya menolak ini.
Begini ilustrasi sederhana yang bisa saya ceritakan. Saya punya seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Kepadanya, bersama istri kami jelaskan bahwa permen itu tidak baik. Fokus kami adalah masalah kesehatan gigi. Pada beberapa waktu itu berhasil, lalu tiba-tiba tanpa kami sadari kami memberinya resep berupa sikat gigi. Alhasil, dirinya menjadi begitu menyukai permen dan langsung sikat gigi setelahnya. Dalam caranya berpikir, giginya akan aman. Mungkin benar demikian.
Tetapi bagaimana dengan dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh permen? Misalnya kadar gula dalam darah, kecanduannya pada permen membuatnya lupa makan, dia menjadi tidak ramah pada temannya yang meminta jatah permennya, dia tidak cukup menghargai bentuk oleh-oleh lain selain permen dan tentu saja jumlah uang jajan yang harus kami siapkan di kemudian hari untuk memenuhi kebutuhannya akan permen. Kami melupakan itu dan telanjur memberinya sikat gigi.
Konsep kondom hemat saya adalah sesuatu yang mulia. Tetapi dalam situasi kampanye HIVA/IDS, kelompok sasarannya harus diperjelas. Dalam hal ini kalangan yang high risk, misalnya lokalisasi. Mengapa? Karena sebagian besar yang ke lokalisasi adalah yang ingin melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Baca juga: Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?
Kepada mereka inilah kondom dalam hubungannya dengan menghentikan laju virus HIV/AIDS dikampanyekan secara luar biasa. Ide tentang kondom gratis atau ATM kondom tentu saja penting untuk kelompok ini.
Membagi kondom gratis kepada peserta seminar, atau menyediakan kondom gratis di tempat-tempat umum bisa jadi akan dianggap sebagai ajakan agar orang-orang berpikir tentang hubungan seks. Itu sama seperti membagi roti kepada orang yang sudah makan, akan dimakannya juga karena bukankah roti itu untuk dimakan? Saya sederhana? Hmmmm… Bisa jadi. Tidak apa-apa.
Apa sebenarnya yang menjadi poin berpikir saya adalah bahwa, ABC pada mulanya adalah konsep namun pada prakteknya menjadi resep. Resep adalah keterangan dokter tentang obat serta takarannya, yang harus dipakai oleh si sakit atau keterangan tentang bahan dan cara memasak obat.
Obat adalah untuk orang yang sakit. Nah, apakah kita semua sudah HIV ADIS? Tentu saja tidak. Tetapi kita mungkin akan kena HIV AIDS kalau tidak tahu konsep hidup sehat. Maka sekali lagi konseplah yang harus dibagi dan bukan resep. Demikianlah saya berharap agar kita semua, terutama para pegiat HIV AIDS tidak lagi membagi ABC dalam satu kesempatan pada kelompok sasaran yang sama.
Ketika menulis ini, saya ngobrol juga dengan seorang pegiat di Ruteng. Sebagai pegiat, dirinya berpendapat bahwa untuk saat ini, membagi resep adalah hal yang bisa dipikirkan dan dibuat, terutama karena penyebarannya sekarang yang seperti tidak terbendung. Alasan lain adalah, kita tidak pernah tahu siapa yang sudah terkena atau membawa virus ini dalam tubuhnya. Maka menyiapkan pengaman menjadi penting untuk diketahui bersama; yang berarti penting untuk dikampanyekan.
Lalu bagaimana bersikap pada kontroversinya? Sebut saja negeri ini memang tidak pernah berjalan tanpa kontroversi. Maka kontroversi berkembanglah. Tetapi upaya menguranginya adalah hal yang baik. Inilah yang mungkin bisa dibuat. Pegiat HIV AIDS bekerja sama dengan sebanyak mungkin pihak dalam hubungannya dengan konsep. Silakan tetap bekerja kalau itu tentang resep.
Kampanye Abstinence misalnya, tidak mesti dihubung-hubungkan dengan HIV/AIDS demikian pula Be Faithful. Orang akan terhindar dari HIV/AIDS jika dia Abstinence dan Be Faithful. Dia hanya perlu paham dan menjiwai pentingnya sikap Abstainance dan Be Faithful itu. Dan oleh para pegiat, pengetahuan ini dititiptularkan kepada pihak yang langsung bersentuhan dengan kelompok sasaran. A dititipkan kepada guru, B dititipkan kepada kelompok dakwah dan sebagainya.
Praktisnya adalah melalui TOT: Training Of Trainer. Sehingga energi pegiat tidak dihabis-habiskan untuk satu per satu menemui kelompok sasaran; itu akan melelahkan dan membutuhkan biaya yang banyak padahal tidak banyak daerah yang berniat mengalokasikan dana cukup untuk soal ini. Ini bisa dilakukan sambil mengadvokasi pengambil kebijakan agar memiliki kecerdasan anggaran yang cukup.
Butuh waktu memang. Tetapi saya pikir itulah salah satu alasan mengapa kita diberi umur panjang, untuk bekerja dan optimis. Kondom? Itu baik. Tetapi sesungguhnya jauh lebih baik memahami bahwa dia berfungsi sebagai sesuatu yang jauh lebih hebat daripada dibatasi fungsinya pada pencegahan penyakit menular.
Untuk situasi HIV/AIDS, biarkan kami berpikir tentang No Sex Before Married dan Be Faithful serta menjiwainya dan pada masa selanjutnya kondom berfungsi seperti seharusnya. Urusan HIV/AIDS jangan diklaim atau diserahkan sebagai urusan pegiat. Itu urusan semua, tetapi pandulah kami dengan baik agar kami tahu apa yang harus kami buat; demikian kira-kira harapan saya untuk pegiat HIV/AIDS.