Dari Ruteng ke Jogja ke BWCF 2014

Indonesia memiliki beberapa agenda tahunan di dunia tulis-baca. Salah satunya adalah Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Agenda ini dilaksanakan di Magelang, beberapa meter saja dari Candi Borobudur. Tahun ini saya ikut. 

dari ruteng ke jogja ke bwcf 2014
Baca Puisi di Gejayan | Dok. RanaLino.ID

Dari Ruteng ke Jogja ke BWCF 2014

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Samana Foundation, forum pertemuan bagi para penulis dan pekerja kreatif serta aktivis budaya pada umumnya dalam kerangka dialog lintas batas dan pemahaman interkultural. 
Festival ini juga merupakan wahana pertemuan antarkomunitas, antarkelompok serta ruang dialog antara karya-karya budaya dengan publik sehingga terbangun pemahaman yang mendalam di antara individu maupun komunitas budaya tersebut dalam cakupan ruang dan waktu yang tak terbatas.
As I said, saya berkesempatan mengikutinya dan betapa menyenangkan berada di tempat kau bisa mengenal banyak hal baru dan belajar dari orang-orang hebat. Akan saya mulai catatan perjalanan ini dari cerita tentang keramahan Jogja.  

Di Jogjakarta helm kami tidak hilang. Parkir saja sepeda motormu di tempat di mana tukang parkir ada dan simpan helm di sana. Tak perlu khawatir. Helm akan tetap ada di sana ketika kau pulang berbelanja. 

Tentu saja keramahan itu mengagetkan saya yang pernah lebih dari sekali kehilangan helm di kota kecil kami bernama Ruteng–mereka bahkan memotong tali pengamannya dari jok sepeda motor saya yang diparkir di depan gereja. Apa dengan demikian Jogja lebih ramah dari Ruteng? 

Ah, terlampau sederhana rasanya membandingkan tingkat keramahan kota dengan hanya sekedar melihat helm ada atau helm hilang. Ruteng ramah dengan caranya yang lain: bahwa semua orang saling kenal dan sapa meski hanya dengan senyum juga kepada orang baru. 
Tetapi Jogja memang menyenangkan selain fakta bahwa di sana ada seorang lelaki bernama Ronys berikut teman-temannya yang ramah menjadi guide yang hebat buat perjalanan saya di kota yang terbuat dari malioboro, kenangan, dan musisi jalanan itu. 
Baca juga: Rana Cinta Indonesa, Sebuah Cerita tentang Bangsa

Saya meneruskan perjalanan ke Magelang bersama rombongan. Kami adalah peserta Borobudur Writers and Cultural Festival BWCF 2014 mulai tanggal 12 sampai 15 November 2014. Tahun ini saya diajak untuk mengikuti kegiatan besar tersebut karena Ivan Nestorman yang mengenalkan (baca: mempromosikan) saya kepada salah seorang tim inti kegiatan ini bernama Bona Beding pemilik Penerbitan Lamalera. Jadilah saya boleh ambil bagian menjadi peserta. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Berbekal modal pernah menulis meski jumlahnya sangat sedikit karena modal yang paling banyak adalah berani hati, saya berangkat. Ini pertama kali saya ikut festival seperti ini sehingga akan selalu menjawab, “Ada kegiatan sedikit di Borobudur!” setiap ada pertanyaan tentang trip saya itu Yang terjadi sesungguhnya adalah: itu bukan kegiatan sedikit. 

Itu kegiatan besar yang menyenangkan sekaligus mengenyangkan. Makanannya enak dan banyak dari berbagai menu. Kalau tidak percaya bisa tanya Ronys, Dion, Jento dan Fadly. Ya, tanya mereka tentang makanan di Grand Hyatt saat pembukaan dan di Sheraton saat penutupan. Mereka pasti bilang: Enak, Kaeeee! Padahal makanan yang sedang saya mau bahas adalah makanan jiwa… cie ciee… 
Tetapi benar, tentang makanan memang enak. Ada berbagai jenis makanan tradisional dan modern tidak hanya pada iven pembukaan dan penutup tetapi selama berlangsungnya kegiatan. Panitia BWCF 2014 memang tampak sungguh-sungguh menyiapkan bagian ini. Sama sungguh-sungguhnya dengan persiapan mereka terkait pelaksanaan kegiatan seperti seminar, penginapan dan akomodasi peserta juga tas baik yang berisi materi kegiatan. 
Bagaimana tidak senang dan kenyang kalau kau bisa mendengar Rm. Mudji Sutrisno, Peter Carey, Doktor Enos dari Papua dan lain-lain para ahli yang begitu luar biasa bicara tentang Ratu Adil yang menjadi tema BWCF 2014 dan setelahnya bisa makan satu meja dengan mereka juga minum kopi bersama Kang Sobary dan orang-orang hebat lainnya. 

Saya dari Ruteng 

“Saya dari Ruteng,” kata saya dalam sebuah obrolan dengan seorang teman di Pondok Tingal tempat kami menginap. “Itu di mana? Sulawesi, ya?” tanyanya yang sempat membuat saya kaget. Itu adalah tebakan terjauh tentang Flores setelah banyak orang lebih sering keliru antara NTB kah? Atau NTT ya?.

BACA JUGA
Fiksi Mini - Kisah 2012

Menyadari bahwa tidak setiap orang bisa menjadi google, saya jelaskan dengan santun bahwa Ruteng itu di Pulau Flores dan Pulau Flores itu adalah satu dari banyak pulau di Provinsi NTT. 

Saya tidak marah-marah meski sedikit kecewa betapa tidak banyak di antara mereka yang tahu tentang pulau indah kami yang jalannya berliku ini. Saya santun karena juga berharap bisa bertanya banyak kepada mereka tentang apa saja termasuk tentang konsep Ratu Adil yang tidak banyak saya mengerti. Kita memang mesti begitu: 
Bertanyalah jika tidak mengerti dan jawablah jika kita benar-benar tahu. Menebak hanyak akan membuat kita mengandalkan keberuntungan padahal hidup adalah perjuangan. Maka saya bercerita tentang Flores dan potensi wisatanya lalu mengajak mereka sesekali berkunjung.

Ceritanya saya juga melakukan tugas promosi budaya. Toh pada sebuah kesempatan saya memakai kain tenun dari Todo (Manggarai) di hadapan mereka. Beberapa orang menyatakan tertarik dan berdoa semoga suatu saat bisa ke Flores. Saya aminkan.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Baiklah. Saya lanjutkan bercerita ya… Atau? “Lanjut doooong,” terdengar orang-orang berteriak-teriak di Sheraton ketika Ivan Nestorman bilang sampai jumpa pada saat pentas penutupan mereka bersama Lamalera Band dan Trie Utami. Dan Ivan Nestorman nyanyi lagi, kami bergoyang ria. 

Puas betul rasanya malam itu di Sheraton. Sepuas hati saya hadir dalam berbagai seminar tentang Ratu Adil. Mereka, orang-orang hebat itu bicara tentang konsep Ratu Adil di Nusantara termasuk Koreri di Biak sampai Ratu Adil dalam lahan seluas bumi dari kisah Yunani Kuno. 
Apa sebenarnya yang terjadi pada BWCF 2014 secara umum bisa diakses di website resmi mereka. Secara pribadi saya menikmati iven ini selain sebagai kesempatan belajar juga kesempatan melihat langsung dan ngobrol -meski sedikit dengan beberapa orang di antara mereka- dengan orang-orang penting dalam dunia literasi dan kebudayaan di Indonesia.

BACA JUGA
Haruki Murakami and Words We Don't Know on His "Norwegian Wood"

Ada Romo Mudji Sutrisno, Seno Joko Suyono, Trie Utami, Bre Redana, Ivan Nestorman, Mohamad Sobary, Sha Ine Febryanti yang memainkan monolog di bawah arahan sutradara Fajar Putu Arcana, Peter Carey, Jean Cetau, Yapi Taum, Bona Beding, Yoke, Wicaksono Adi dan masih banyak lagi. 

Saya juga melihat pentasan menyenangkan dari Komunitas Lima Gunung di dua lereng gunung yakni lereng gunung Merbabu di sebuah kampung bernama Gejayan dan kampung lain di lereng gunung Merapi bernama Tutup Ngisor.

Di lima kilometer dari tempat Mbah Marijan pernah berkuasa ini–semoga beliau beristirahat dalam kedamaian–saya makan bakso dengan teman-teman Lamalera: Andre, Josi, Yansen, Conrad tentu saja juga Ivan Nestorman dan Bona Beding juga Trie Utami dan suaminya. 

Ckckckckck… Trie Utami, Kakaaak. Yang dulu hanya saya lihat di televisi sekarang makan bakso semeja. Saya makan dengan gugup karena takut dia bilang: Min, cara kamu makan itu kurang falseto. Jaga pitch controlnya sambel itu ya! Untung dia tidak bilang apa-apa selain bahwa dia suka cara saya baca puisi. Cie cieee. Juga ada Ali, pemuda turunan Arab yang baik sekali dan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. 
Kami memang terus bersama-sama karena rombongan Lamalera selalu bersama-sama. Ceritanya, saya termasuk bagian dari artis Lamalera dan atas perkenanan kae Ivan saya boleh membaca satu puisi saya di depan masyarakat Gejayan dan para budayawan di tengah pentasan mereka. 
Terdengar banyak tepuk tangan setelah saya membaca puisi ini, juga Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo yang hadir pada malam itu. Di sinilah saya memakai kain tenun Todo Manggarai. Teman-teman Lamalera juga memakai tenun Flores. 
Oleee aeh… Banyak betul orang penting yang saya lihat di itu acara e. Tetapi nonton wayang membuat saya sadar betapa beruntungnya orang-orang Jawa yang sejarahnya ditulis dan tidak hanya dituturkan. Mereka punya banyak kesempatan membaca akar budayanya sementara banyak tempat lain di negeri ini yang hanya mengandalkan literasi lisan. 

Mungkin baik kita mulai menulis. Para peneliti tentu saja diharapkan menggarap lahan ini dengan tekun, setekun Dr. Peter Carey yang meneliti sepanjang 40-an tahun untuk mengetahui lika-liku hidup Diponegoro. Dia berteguh. Sebuah konsistensi yang mengantarnya meraih penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award

Tentang sikap konsisten, saya ingat Ivan Nestorman pada sebuah wawancara pernah bilang: Hidup itu ibarat menggali sumur. Teruslah menggali sampai bertemu mata air yang jernih. Luar biasa. Ada orang yang membuat refleksi seperti ini. Bukankah mata air yang jernih adalah tiket hidup yang sehat? Maka pesan BWCF 2014 yang saya bawa pulang adalah: berkaryalah terus. Berkarya juga berarti belajar. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Kisah Pater Roosmalen Bagian 1: Di Tengah Perang

Saya lalu membeli cukup banyak buku dan berterimakasih pada istri saya yang membiarkan saya melakukan ini tanpa banyak protes. Ah, begitu banyak orang yang terlibat dan membuat saya membungkukkan badan dan hati saya seraya berdoa semoga mereka senantiasa diberkati Tuhan seperti juga saya mendapatkannya banyak. 

Baca juga: Koalisi Politisi untuk Mereka Sendiri?

Kembali ke Jogja, saya bertemu lagi dengan adik-adik saya di TB 10 Babarsari. Berbelanja adalah hal wajib dan membeli gelang adalah keharusan setiap kali mampir ke Jogja. Helm kami basah di area parkir Malioboro tetapi tidak hilang.

Kami menembus hujan, pulang ke kosan, minum bir dan curhat: ada Adrian, Ronys, Dion, Colin, Fadly, Jento, Tosym dan Boni; lalu pulang ke Ruteng sehari setelahnya. Tiga perempuan menanti di rumah–anak-istri-mama–dan kau sadar: pulang adalah wajah paling cantik dari sebuah perjalanan. 

Di Ruteng? Kau akan tahu helm mana yang kau bawa ke tempat umum dan mana yang kau pakai sehari-hari ke kantor. Kota kecil ini tetap ramah dengan hujan yang tetap sama. Mari berkunjung, saya ada di sini. Kalau ada kesempatan, cari saya. Kota ini (sekali lagi) adalah kota yang ramah. Misalkan helm kalian hilang, bersama anak-anak di TB 10 saya menemukan ini: Ketika kau kehilangan, hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah melepaskan.
Salam
Armin Bell
Ruteng Flores
Bagikan ke:

4 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *