di langa bajawa orang muda meramu masa depan wisata langa trekking community yeris meka

Di Langa Bajawa, Orang Muda Meramu Masa Depan Wisata Desa

Ini adalah cerita tentang sekelompok orang muda di Langa Bajawa. Langa adalah salah satu kampung di Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada Langa Trekking Community di sana.


Di Langa Bajawa, Orang Muda Meramu Masa Depan Wisata Desa

Oleh: Yeris Meka

Sabtu 11 November 2017. Langit cukup bersahabat untuk kegiatan trip and loza. Trail tua menjadi tunggangan saya hari itu. Okay! Sebelum berbusa-busa demi judul tulisan di atas, secuil tentang bagaimana ke Langa perlu disampaikan sebagai informasi.

Jadi begini. Beberapa tahun lalu, jalur paling dekat yang menghubungkan Mangulewa – Langa itu one and only, lewat jalan Flores Raya via Watujaji. Ada juga jalur lain. Jika mau. Memutar lewat Warike’o, sebelum kampung Bena di pertigaan desa Tiwuriwu, belok kanan.

Tapi itu terlalu jauh. Kecuali su punya rencana bonceng nona manis, pake kaca mata hitam gaga, lalu belum punya surat ijin mengemudi. Tambah lagi tugas sebagai warga negara yang taat membayar pajak kendaraan belum ditunaikan. Itu “syarat” yang sudah lengkap supaya jalur memutar ini  dilahap. Hmm… sesat ini. *smile.

Untuk hari ini, Mangulewa – Langa sudah bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Di desa Turekisa, tepat di persimpangan menuju Kampus Undana Bajawa, jalur baru menuju Langa itu sudah mulai ramai dijajaki. Jalan ini langsung tertuju ke Langa, persis di belakang kampung Bomari. Jalannya sudah mulus.

Jadi, hapus saja bayangan bahwa seseorang yang mengendarai sepeda motor trail seperti saya pada hari yang sudah lewat itu, pasti pakai baju dengan corak mencolok, melewati medan berbatu dan sulit, naik bukit, turun lembah dan larinya kuencaaang sekali. Trail yang saya tunggangi, hari itu tidak akan menemukan medan sebagaimana alasan ia dirancangciptakan. Alhamdulilah!

BACA JUGA
Jadi Petani, Bermula dari Pertanyaan Guru Martha

Langa Trekking Comunity

Di Langa Bajawa, telah tumbuh komunitas yang hampir selalu hadir pada kegiatan pemberdayaan wisata alam desa. Langa Trekking Community (LTC). Sulit bagi saya untuk tidak merasa kagum dengan komunitas anak muda ini. Keberanian mereka menjunjung idealisme dalam meramu kehidupan pedesaan untuk menjadi lebih menarik, patut mendapat apresiasi.

Boleh dikatakan bahwa LTC bergelut melawan arus, sebab tidak sedikit kaum muda yang pada akhirnya hopeless berada di kampung sendiri lalu memilih merantau di negeri orang. Konon katanya, tinggal di kampung berarti menetap dalam ketertinggalan, terpuruk, terjatuh, tenggelam, terguling, susah bangun nilai jual sampai akhirnya tak punya reputasi. Wala… Ah!

Kembali ke trekking community. Salah seorang punggawa Langa Trekking Community, Uge Mertin Lusi kebetulan punya waktu luang hari itu. Jadilah kami bercerita lau zele – mena zale mengenai kegiatan komunitas ini. Beberapa iven sederhana sudah mereka laksanakan. Setidaknya kehadiran anak-anak muda dalam komunitas ini memberi sedikit kontribusi untuk kehidupan sebuah kampung.

Kampung jadi lebih hidup dengan hadirnya anak-anak muda ini. Running, trekking, hiking, touring and guiding. Setidaknya itu sudah rutin mereka lakukan. Menjadi beda karena ini agak anti-mainstream. Sebab yang lebih populer dan menyedot animo  anak muda biasanya bermain bola kaki atau volly. Jalan-jalan ke hutan, berkemah, menyusuri lembah atau mendaki gunung adalah pilihan ke sekian yang kadang tidak selalu masuk hitungan.

Baca juga: Orang-Orang Ini Dilarang Mengunjungi Tempat Wisata Kami

Sebenarnya running, trekking, hiking, camping, touring and guiding sudah menjadi kebiasaan penduduk kampung pada setiap pagi. Setiap hari. Topografi dan medan yang biasa dilalui setiap pagi ketika dheso selo, dua uma, nuka sa’o menuntut penduduk kampung harus melakukan hal-hal itu.

BACA JUGA
Memori Penderitaan dan Karya Sastra

Akan tetapi semua berjalan biasa saja sebagaimana sebuah rutinitas. Sebagaimana kewajiban yang harus ditunaikan. Tanpa konsep, tanpa kemasan, aktivitas seperti ini hanya akan menjadi “yang usang” dan bersiap punah. Sampai anak-anak muda di komunitas LTC meramu sedemikian rupa, akhirnya menarik perhatian beberapa pihak.

Terhitung sejak 2015 berdiri dan resmi dengan nama Langa Trekking Community atau LTC, kurang lebih sudah dua ratusan wisatawan asing yang terlibat bersama komunitas ini. Belum termasuk beberapa wisatawan mancanegara yang sedang dalam program pertukaran pelajar dan mahasiswa dan bergabung bersama Isi Langa. Kegiatan yang dilakukan bisa macam-macam.

Mereka mendaki ke puncak Inerie beberapa kali, menyusuri jejak perdagangan barter pada zaman dulu, berselancar sejarah di kampung lama, memetik kopi di kebun-kebun milik penduduk lokal. Aktivitas yang biasa saja, tapi oleh anak-anak muda ini dikemas kreatif.

“Mereka kita anggap seperti keluarga. Live-in, nginap dan makan di rumah penduduk. Kalau mereka merasa nyaman, mereka akan datang lagi. Malah ada yang membawa keluarganya dan menetap di sini dalam waktu yang cukup lama,” kata Mertin, sebelum kami mencicipi jalur yang biasa dilewati LTC.

Saya jadi tambah kagum. Bukankah NTT sedang berbenah sebagai New Tourism Territory? Kita perlu belajar untuk menjadi tuan rumah yang baik to? Sebab, cukup santer terdengar ada oknum nakal yang memerlakukan wisatawan bak sapi perah. Atau mungkin “berbohong” lewat promosi bodong dalam foto di media sosial tentang destinasi wisata.

Wah… bisa kapok tujuh turunan kalau ternyata tidak seperti yang mereka bayangkan. Sebab, setelah melihat pemandangan yang sebenarnya, kadang orang menjadi kecewa. Misalnya Pink Beach ternyata tidak se-pink gambar di instagram. Lalu, local guide is too expensive and make them disappointed. Too much money taken. Lha, kita perlu worry dengan keadaan ini. Jadi, jujurlah sebagaimana hakikatnya kita. Mereka mau mengalami Indonesia. Masa’ kita gitu?

BACA JUGA
Soal Pengarang NTT dari Perspektif Sejarah dan Sosiologi Sastra

Di pucuk kunjungan saya diajak mencicipi jalur yang biasa dijajaki Langa Trekking Comunity. You can buy a house but not home. Tiba-tiba saya memikirkan sepenggal kalimat bijak ini, tepat di puncak Bedhi Me Luna. Sementara Ine Rie di seberang tebing sudah diselimuti kabut yang dikirim angin Teluk Aimere. Kami harus segera turun. Katanya, kalau kabut tiba-tiba muncul, mungkin pertanda ada yang punya niat tidak baik. Jadi kalau mau ke sini pastikan niatnya baik.

“Eh, kau ini niat bae ko tida e?”

“Siapa? Yang nulis.”

Eh jangan curiga begitu ka! Ini kampung rumah kita. (*)

12 Mei 2018

Yeris Meka | Alumni SMU Negeri 1 Bajawa dan School of Alam Raya

Beberapa catatan:

Loza: Pesiar = plesiran | Dheso selo = Aktivitas pindah ternak pada pagi dan sore hari | Lau zele-mena zale = Ngalor ngidul | Dua uma = Pergi ke kebun | Nuka Sa’O = Kembali ke rumah | Bedhi Me Luna = Nama tempat. Menurut cerita orang setempat, Luna dirajam, karena perkawinan sedarah, di tempat ini. |

Langa Trekking Community menjelaskan diri mereka sebagai: We’re a community-based social enterprise proud to share our local culture and natural environment with visitors from around the world. Planning a trip to Flores? Come be a local with us! (sumber: langatrekkingcommunity.com)

Bagikan ke:

6 Comments

  1. Halo Yeris… Senang sekali baca catatan ini. Kalau di Ruteng, trekking menjadi produk yang cukup populer kalau tidak bisa dikatakan sebagai 'unggulan' bagi wisatawan asing. Mungkin karena tidak banyak hal menarik yang dekat dan bisa dikunjungi sekitaran Ruteng. Kekurangan yang mendorong inovasi. Oh ya… Saya punya teman akrab dari Langa. Namanya Hilda (mama Gerald). Semoga ada waktu liburan ke Langa dan ikutan trekking.

  2. Halo Cita salam kenal & terimakasih sudah mampir. Nanti coba hubungi nomor 0852 1693 2429 atau fb empunya nomor Mba Mertyn Lusi. Terimakasih

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *