bagaimana ivan nestorman melihat world music

Bagaimana Ivan Nestorman Melihat “World Music”?

Artikel ini ditulis oleh musisi Ivan Nestorman dan disebar via WhatsApp. Tentang bagaimana musisi asal Manggarai ini melihat World Music.


Artikel ini berjudul asli “World Music dari Sisi Praktisi”, judul yang menjelaskan isi artikel secara utuh: Ivan Nestorman menggeluti ‘jenis’ musik ini dan ingin berbagi cerita tentang apa yang dia rasa dan tahu tentang world musik ini. Yuk, kita simak!

World Music dari Sisi Praktisi

Oleh: Ivan Nestorman

World music adalah rumah, sebuah konsep musik yang memberi ruang kepada musik-musik etnis untuk berkembang dalam konteks industri. World adalah istilah marketing, industrial; terinspirasi World Harmony (harmonia mundi) yang menampilkan musik dari lima benua pada sebuah iven olahraga di Jerman dan juga beberapa iven budaya yang memberi ruang untuk musik-musik non-Eropa tampil.

World music hadir dalam dua kutub yaitu Eropa dan Amerika.

Di Eropa, world music lebih cenderung kepada upaya menghadirkan suatu peradaban musik dunia yang menggabungkan eksotisme oriental dan tradisi oksiden. Eksotisme musik Timur dianggap sebagai energi baru untuk satu sajian hybrid yang bernama suguhan musik dunia (world music); berangkat dari kegelisahan pemusik untuk terus berkarya melampau batas-batas peradaban yang diketahuinya.

Oleh karena itulah, kemudian, world music menjadi rumah, sebuah konsep musik yang mempunyai banyak bilik di dalamnya, seperti jazz yang merupakan sebuah konsep juga, bukan pola irama. Tidak ada irama world music atau irama jazz.

Di Amerika, umumnya istilah world music adalah (untuk) musik-musik dari sisa dunia, budaya lain selain Amerika Serikat. Atau, musik primitif, namun bukan dalam pengertian yang peyoratif, lebih kepada pengertian antropologis.

Baca juga: Ivan Nestorman Bicara tentang Pemajuan Kebudayaan di NTT

Bilik-Bilik World Music

Begitu beragam kamar kamarnya:

  • Musik indigenous (primitive): Musik-musik asli masyarakat;
  • Kreasi baru atau gaya baru: Contohnya musik Brazilyang dalam bahasa Portugis dinamakan bosanova yaitu upaya menggabungkan jazz dan slow-samba; tokohnya Carlos Jobim;
  • Etnis kontemporer: Suatu penyampaian musik etnis dengan lebih kontemporer, keluar dari pakem yan ada namun meninggalkan nuansa etnis.
  • New Age: Lebih ditandai musik-musik elektronis dengan hadirnya ritmik-ritmik elektronis dari looping-an mekanis atau sampling ritmis. Sesekali dikombinasikan dengan vokal-vokal unik dari bangsa lain, ditempel ke dalam teknologi rekaman. Kitaro merupakan contoh yang kita kenal.
BACA JUGA
Ivan Nestorman: Budaya Kita, Masa Depan Kita

Namun terkadang penamaan suatu genre merupakan hasil kerja tim marketing atau media. Pemusik selalu bekerja dengan hatinya berdasarkan inpirasi yang didapatkannya. Pihak lain yang cendrung melabelisasi dalam frame industri.

Baca juga: Lima Lagu Manggarai Terbaik…

Neo Tradisi (dari Sisi Praktisi)

Ini adalah salah satu kamar dalam world music yang saya geluti:

Neo tradisi sejatinya adalah sikap minimalis dalam bermusik dengan upaya memberi interpretasi ulang terhadap motif-motif asli dan terutama memberikan nuansa inovatif di dalamnya. Universalitas rasa digodok.

Pengertian minimalis bisa juga dalam bentuk non-material dengan tidak harus menghadirkan alat-alat etnik asli di dalam penampilannya. Yang diutamakan adalah idealisme nuansa atau spirit yang dihadirkan.

Misalnya dengan memainkan slendro (kadang kala dieja sebagai saléndro) pada gitar-gitar atau piano dapat juga menghadirkan nuansa etnis tertentu, dan sebagainya. Contoh irama sawah dari drum. Gilang Ramadhan bisa memainkan motif-motif Tebe (Timor) dari puluhan penabuh likurai, misalnya. Banyak contoh lainnya dan hal itu berpulang kepada misi masing-masing pemusik.

Sisi lain dari world music sebagai katalog industri adalah produk yang radio friendly/ramah radio. Mungkin sekarang ramah anak muda. World  music membuka peluang hadirnya nuansa ekspresi genre lain seperti jazz atau reggae/rock, dan lain-lain.

Di situlah upaya kita menghadapi tantangan dengan membangun keseimbangan antara art dan commerce. Kita tidak melulu memikirkan sisi art tetapi juga sisi commerce. Meskipun itu berpulang pada pilihan masing masing pemusik.

Di Indonesia, pemusik (baca: world music) berada pada posisi berat; berdiri pada kutub art atau commerce. Seperti orang normal lainnya, para pemusik world music juga berhadapan dengan masalah domestik. Sandang, pangan, papan, tentu saja menjadi kebutuhan dasar hidup. Mempertahankan idealisme di tengah arus kehidupan merupakan pilihan super-berat dari sisi finansial di daerah-daerah. Di situlah ‘musik idealisme’ itu kadang ditinggal.

BACA JUGA
Tulis Surat untuk Sahabat, Ivan Nestorman Bicara tentang Pemajuan Kebudayaan di NTT

Itulah yang saya jumpai, di Labuan Bajo misalnya. Mengapa?

Ekosistem world music di Indonesia, dalam bingkai industri hiburan, masih belum selesai terbentuk. Dia masih menjadi musik komunitas dengan segelintir penikmat. Masyarakat kita asing terhadap musik tanahnya sendiri. Alhasil, nuansa art harus mengalah pada commerce: banyak  pemusik akhirnya tidak fokus dengan world music.

Baca juga: Sebuah Telepon Pintar, Kumatikan!

Padahal, dari sisi demografi, akan ada saatnya banyak anak muda berubah juga taste-nya. Mereka ingin menukik lebih dalam, dalam pencarian jati dirinya.

Belum adanya label-label khusus yang seperti Putumayo di AS mengakomodasi katalog musik world music di Indonesia juga merupakan kendala tersendiri, belum lagi radio-radio swasta yang tidak memutar lagu berbahasa daerah misalnya; seakan-akan musik etnis itu musik daerah yg hanya boleh diputar di RRI Pro 4. Langkanya sponsorship (kecuali ada hubungan baik) juga jadi kendala dalam menggelar konser-konser.

Di sisi lain, kita, para pemusik harus memikirkan telinga audiens juga. Ini sedikit dari sisi commerce. Musik etnis kita harus bisa lentur juga, sesuai situasi dan kondisi. Ini perlu kreativitas dan musikalitas yang mendukung agar penguatan nuansa tertentu terjadi. Misalnya, dalam sebuah iven jazz, aransemen etnis diberi nuansa jazz yang cukup. Karena, orang datang menonton jazz, bukan etnis.

Dalam event-event luar negeri, saya menggunakan pendekatan lain lagi. Beruntung karena world music adalah sebuah konsep seperti jazz, happening art bisa saja terjadi sesuai sikon setempat. Kolaborasi bisa menjadi gimmick yang menarik. Contoh rekaman seperti yang saya buat dengan kang Dwiki Dharmawan yang seorang pejazz, dalam lagu “Benggong” pada albumnya. Ketika menyodorkan lagu tersebut, chord-chord jazz saya masukan untuk dasar lagu itu. Namun tentu harus cermat dan hati hati menggarap chord dan harmoninya.

BACA JUGA
Tohpati Gandeng Ivan Nestorman di Album Song For You

Dalam grup Nera, bersama Gilang Ramadhan, Donny Suhendra, Adi Darmawan, kami padukan instrumentasi modern dengan spirit etnis. Apakah itu ada unsur new age, neo tradisi, bisa saja. Ada pula yang menyebutnya jazz etnis, moderen etno, dan  lain sebagainya.

Pada akhirnya hanya ada dua jenis musik. Musik enak dan tidak enak. Itupun bisa disanggah karena soal rasa tidak bisa diperdebatkan.

Posisi Tawar World Music pada Destinasi Pariwisata

Indonesia yang beragam budaya musiknya, jelas merupakan sebuah kekuatan di tengah  gelombang musik yang terdengar generik saat ini. Ketika dunia jadi kampung global, identitas diri itu yang justru dipertegas di destinasi wisata kita. Keotentikan musik yang ada niscaya mempunyai posisi tawar yang tinggi. Orang ke Brazil ingin nikmati sambanya boda novanta. Ini membuktikan kekuatan musik lokal itu benar adanya pada sebuah destinasi.

Namun sekali lagi, perlu dipertimbangkan rasa “enak atau tidak”-nya dalam konteks universalitas rasa. Itu dari pengalaman pribadi saya. Referensi perlu terus diperkaya. Niscaya world music bisa jadi tuan rumah di radio-radio kota besar yang merupakan acuan dan referensi musik nasional.

Dari pengamatan terhadap teman-teman di Labuan Bajo atau NTT umumnya, pilihan untuk melakukan world music ini sesuatu yang berat. Dari sekian banyak hotel atau kafe musik yang ada, belum ada yang berani tampilkan musik-musik etnis atau world music. Dari keluhan keluhan mereka, nyata bahwa audiens/pemilik tempat hiburan masih keberatan lagu-lagu etnis dimainkan.

Di daerah pariwisata pantai di Indonesia saya melihat sudah menjadi habitat komunitas musik reggae. Nah itu bisa diolah dgn memasukan unsur tropical reggae itu ke dalam musik etnis. Sebagai salah satu bentuk ekpresi selain jazz atau rock misalnya.

Sebuah kenyataan adalah genre benar-benar melebur dewasa ini menjadi satu musik dunia saja dengan rupa rupa ingredient. (*)

Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *