Ada banyak cara mengatasi patah hati. Bisa sampai seribu langkah. Kalau pada catatan ini yang muncul hanya tiga, itu karena panduan mengatasi patah hati lainnya disiapkan untuk konten selanjutnya. Eh?
Ruteng, 15 Juli 2019
Setiap hari pasti ada cerita patah hati di dunia yang fana ini. Patah hati, seperti juga kesenangan, kebahagiaan, kematian, penipuan, bolos kantor, adalah peristiwa yang pasti ada setiap hari.
Tentang patah hati itu, beberapa waktu lalu, jumlahnya meningkat drastis menyusul kabar perceraian Song Hye Kyo dan Song Joong Ki. Wajar. Keduanya adalah pasangan kesayangan seluruh penggemar drama Korea dan tidak ada yang pernah menduga bahwa mereka akan berpisah.
Di negeri kelapa ini, jumlahnya bertambah lagi pasca-pilpres sebagai akibat dari beberapa peristiwa: putusan MK menolak semua gugatan BPN Prabowo-Sandi, sesuatu yang sesungguhnya telah dipredi… eh… yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, dan rekonsiliasi yang dianggap mengkhianati proses.
Begitulah. Situasi patah hati biasanya terjadi karena datangnya peristiwa menyedihkan. Misalnya kekalahan, perceraian yang terjadi tanpa pernah kita duga, seorang idola pindah agama, dan lain sebagainya. Seperti seorang teman saya. Yang meraung-raung meratap sambil menatap senja yang, sepertinya matanya, memerah. Dia menangis dan marah. Menurutnya, kekasihnya telah memutuskan hubungan cinta mereka tanpa alasan yang kuat. Tiba-tiba minta putus.
Dia merasa kalah dan karenanya sangat menderita. Kurang apa? Untuk apa kami kumpulkan berkarung-karung barang bukti beralbum-album foto romantis jika hasilnya seburuk ini? Kira-kira begitu bunyi protes itu dalam rangkuman.
Baca juga: Bagaimana Mengucapkan Selamat Tinggal Secara Pantas?
Dia sampaikan pada saya, setelah sebelumnya dia sampaikan pada pacarnya itu, yang menjawab dengan template: “Su tir bisa diperjuangkan lagi, Kak. Jika dilanjutkan ke mahkamah internasional, kita mungkin akan kehilangan segalanya di masa-masa yang akan datang. Rekonsiliasi juga belum waktunya.” Halaaah…
Kita semua mafhum belaka, pertanyaan semacam ‘kok bisa?’, ‘tapi kenapa?’, ‘apakah bukti cinta saya tak cukup kuat?’, hanya akan membuat jawaban super-klasik itu didendangkan berulang-ulang. Kalau toh berubah versinya, paling banter hanya tambahan kata ‘pokoknya’ di bagian awal, atau ‘begitu’ dan ‘sa harap kau mengerti’ di bagian akhir. Tentu saja situasi atau jawaban seperti itu sulit dimengerti. Sebagaimanapun kerasnya usaha, menerima hasil akhir yang buruk setelah sebuah perjuangan panjang lengkap dengan pengerahan massa dan biaya yang tak sedikit bukan perkara mudah.
Kalau tidak percaya, silakan tanya teman kita yang sudah el-de-er-an sekian lama lalu mendapat undangan pernikahan yang dikirim via WA; nama kekasihnya tertera di sana bersama nama orang lain. Pakai tinta emas pula. Mamamia e. Yang akan jadi reaksi bersama ketika mengetahui cerita seperti itu adalah pertama-tama penghakiman. Kejam betul Song Jong Ki, eh MK, eh maksudnya, kekasih yang seperti itu.
Reaksi yang wajar karena peristiwa-peristiwa tadi sangat tiba-tiba. Meski, kalau mau jujur, tidak ada yang tiba-tiba dalam situasi kalah-menang-jadian-putus-pacaran-nikah-cerai. Kecuali, sekali lagi, kecuali kalau dulu, ketika awal jadian, kau tidak pe-de-ka-te dulu. Tiba-tiba jadian. Di lorong kampus, bertabrakan dengan seseorang tak dikenal, buku berhamburan, sambil bereskan buku, alih-alih minta maaf kau malah bilang: sepertinya kita cocok deh. mau jadi pacarku? Lalu dia langsung mengangguk dan kalian segera pacaran.
Peristiwa seperti itu mungkin saja terjadi, tetapi tidak umum. Langsung jadian setelah tabrakan pertama itu semacam anomali dari seluruh kisah percintaan yang biasa kita tahu. Tahu anomali, kan? Contoh anomali paling sering diceritakan adalah Bill Gates dan Mark Zuckerberg: drop out dari bangku sekolah tetapi berhasil menguasai dunia. Kamu mungkin sulit ada di level itu, apalagi kalau malas mandi. Eh?
Baca juga: Tahukah Kamu Siapa Cewek Berbaju Kuning di Video Viral “Will You Marry Me?”
Kalah di sidang MK karena bukti-bukti yang diajukan tidak kuat, eh maaf, maksud saya perceraian dua kesayangan kita di Korea dan peristiwa teman saya diputus secara sepihak itu tentu bukan anomali. Dia bermain di jalur yang umum: seseorang (atau dua-duanya) merasa tidak cocok lagi >> berusaha bertahan >> hampir berhasil >> didoakan agar menang tetap langgeng >> barang bukti alasan untuk bertahan kurang kuat >> tak berhasil.
Harusnya, jika dia bermain di template umum, hasil akhir yang buruk mestilah sudah teprediksi. Artinya, kemungkinan patah hati sudah dapat diduga sehingga cara menghadapinya sudah disiapkan; waktu yang dibutuhkan untuk move-on tidak terlampau lama. Tetapi, kenyataannya tidak begitu, bukan? Nasihat-nasihat dalam tema usaha menyembuhkan patah hati akan dijawab dengan kalimat menyedihkan macam: hidup tak semudah cocot-e Mario Teguh. Pasti begitu.
Hidup memang tak semudah mulut manis Mario Teguh. Tetapi move-on, pada beberapa kasus, akan mudah jika tiga hal berikut ini dilakukan:
Pertama, sadar bahwa bukan kita yang rugi tetapi dia!
Ya, jelas! Pikirkan saja begitu. Yang rugi itu pasti dia. Yang meninggalkan kita, orang yang telah setia menjaga hati untuknya, yang telah merelakan segalanya: waktu-biaya-tenaga-ambulans-batu-lengan agar bisa memenangkan hatinya. Kita semua pasti merasa begitu, kan? Merasa telah menunjukkan bukti terbaik tetapi dicampakkan begitu saja seperti sampah di area open dumping. Nah, orang yang melakukan itu pada kita-lah yang seharusnya bersedih. Bukan kita.
Mengapa mereka yang harus bersedih? Karena mereka tak akan lagi mendapatkan orang sebaik kita. Katakan itu secara terus-menerus. Ya. Dan seterusnya dikatakan. “Kita yang terbaik dan melepaskan kita adalah sebesar-besarnya kerugian!”
Lagipula, kalau kita benar-benar hebat dan telah mematuhi seluruh ketentuan yang berlaku, ada dua situasi yang seharusnya terjadi: 1) kita tidak akan kalah dan dipermalukan begitu saja, dan 2) kita akan segera dapat yang jauh lebih istimewa daripada sekadar jadi presiden di hatinya. Iya ka tida?
Kedua, hindari hal-hal yang membuat kau memikirkannya!
Asli! Ini harus. Untuk apa menyusuri lorong-lorong kenangan di kotamu hanya untuk bertemu setiap pohon, jembatan penyeberangan, warung pinggir jalan, tembok belakang kampus, kedai kopi, dan lain-lain yang membuatmu terjatuh dan tak bisa bangkit lagi lalu tenggelam dalam lautan luka dalam? Kau hanya boleh melakukannya, berjalan ke tempat-tempat itu, bersama seseorang yang lain; yang lebih baik darinya!
Baca juga: Membedakan Kritik dan Ungkapan Sakit Hati Bertopeng Kritikan
So? Daripada menangis, berusahalah dengan cepat mendapatkan pengganti. Masa sih ketika dulu kalian pacaran, engkau telah begitu setianya sampai tak sempat flirting dan ditanggapi positif. Hmmm… Kejar jalan itu secepatnya, Kakak. Atau siapkan lagi strategi yang lebih matang untuk lima tahun berikutnya. Berhenti pakai cara-cara lama. Eh? Apa sih?
Ketiga, tampil sebagai pribadi yang bahagia!
Kau membutuhkannya. Selain baik untuk kesehatan fisik dan mentalmu, juga sebagai penjelasan pada seluruh bangsa bahwa kau baik-baik saja, Pak Prab… eh, Song Hye Kyo dan seluruh penggemarnya. Kalau dia meninggalkanmu dalam posisi sebagai orang yang kalah karena niat ingin membuatmu bersedih, dia akan sangat menderita melihatmu bahagia. Angkat kepalamu tegak. Melangkah dengan penuh kepercayaan diri. Menjadi bahagia kan tidak harus dengan menjadi presiden berada di sisinya senantiasa.
Melakukan tiga hal tadi akan membuatmu lebih cepat mengatasi patah hati. Silakan dicoba. Eitsss… Jangan menangis lagi. Cup cup cup… Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang tiba-tiba, Kakak. Mungkin kemarin, waktu Pemilu hidup bersama, tanpa sengaja, kau telah menamparnya, mencubit terlalu kencang, atau melotot berulang-ulang. Coba diingat-ingat. Jika benar, kekalahan adalah sesuatu yang harus diterima dengan rela. Semangat, Kakak.
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Gambar dari Kompas Health
Baca ini serasa deja vu ��
Cie cieee?