Ini kisah lain tentang Albert Einstein. Kisah yang barangkali tidak ada dalam artikel-artikel yang berseliweran sekarang ini di setiap gadget.
Einstein jatuh cinta pada seorang pramuria? Kok bisa? Tetapi sebelum sampai ke bagian itu, beberapa hal berikut sebaiknya kalian dengar.
Peter Preskar di Medium.com menulis artikel berjudul The Racy Love Life of Albert Einstein. Ada banyak nama perempuan yang dicintai Einstein di tulisan itu. Albert Einstein (1879-1955), seorang ilmuwan hebat abad 20, yang namanya sekarang disamaartikan dengan jenius itu, pernah beberapa kali jatuh cinta. Atau berkali-kali barangkali.
Ada Mileva Marić, istrinya yang pertama. Ada Marie Winteler, cintanya yang pertama. Ada Elsa Einstein, masih sepupu dengan Albert; mereka menikah setelah tokoh jenius ini bercerai dengan Mileva. Lalu ada juga nama-nama ini: Betty Neumann, Margarete Lebach, Estella Katzenellenbogen, Toni Mendel, dan Ethel Michanowski–perempuan-perempuan yang mengisi hidup Albert Einstein di masa dia masih terikat pernikahan Elsa. Setelah Elsa Einstein meninggal dunia, Tuan Albert jatuh cinta pada Margarita Konenkova, seorang agen Rusia di masa Josef Stalin. Margarita disebut-sebut sebagai perempuannya yang terakhir.
Ah … Dulu saya pikir, para ilmuwan adalah orang-orang yang hidup dengan serius (baca: tidak banyak waktu untuk jatuh cinta). Semua hal dipikirkan serius. Membaca artikel tadi membuat saya lantas memikirka sesuatu yang lain. Mereka, para ilmuwan itu, juga manusia. Sebagai manusia, mereka pasti memiliki waktu untuk hal-hal manusiawi lainnya, termasuk bercanda. Sa kira begitu! Maksudnya, di luar tingkatan-tingkatan kebutuhan yang sudah dibuat oleh Abraham Maslow, kita semua sadar bahwa selera humor, rasa cinta, merindu, dan hal-hal lain adalah penyerta seluruh perjalanan manusia. Tentu saja, jika ditarik-tarik, jatuhnya pada teori tentang kebutuhan itu juga.
Nah, cerita tentang Albert Einstein jatuh cinta pada pramuria itu begini:
Dalam dunia sains, selain berkutat dengan penelitian yang superribet dan melelahkan serta memakan banyak biaya, para saintis juga mengisi waktu dan ketekunan mereka dengan jeda. Jeda itu mereka sebut humor, jokes, mob di masyarakat Papua, atau orang Manggarai – Flores bilang tombo bop. Salah satu yang paling terkenal dari sedikit yang pernah saya dengar, adalah tentang humor tentang Om Kumis Putih bernama Albert Einstein ini.
Kabarnya, sesaat setelah menemukan rumus E=MC2, Einstein (E) bersantai dengan seorang Pramuria cantik sebut saja namanya Marry Christie (MC) di sebuah cafe. Einstein sudah dalam keadaan setengah mabok ketika tiba-tiba ngobrol soal pernikahan. Dia sebenarnya jatuh cinta pada pandangan pertama tetapi situasi ‘sadar’ membuatnya tidak berani bicara, sehingga butuh beberapa teguk air kata-kata–di Manggarai kami menyebutnya sopi.
Berikut percakapan mereka:
E: (Tanpa tedeng aling-aling) Kau mau menikah denganku?
MC: (Heran tapi tetap menjawab, maklum yang bertanya adalah pelanggan) Beri saya alasan yang kuat mengapa saya harus menikah dengan kau!
E: (Semakin mabok semakin percaya diri) Karena saya pintar dan kau cantik.
MC: Maksud Lo? (Ini pramuria sepertinya pernah kerja di Jakarta).
E: Maksud Gue–(Enstein terbawa suasana) kalo kita menikah, kita pasti punya anak yang cantik seperti ibunya dan pintar seperti bapaknya.
MC: Aduuu… kau PD sekali tah (Ini pramuria orang Jakarta ato orang Manggarai e, pake dialek Manggarai).
E: Knapa e… (Einstein benar-benar terbawa suasana, sekarang dia pake logat Manggarai yang super kental).
MC: Iya ka, kau PD skali kita pu anak bisa jadi begitu. Kalo sebaliknya ge, bagaimana? (Pramuria su mulai tertarik dengan Enstein, buktinya dia bilang KITA PU ANAK). Tiba-tiba anaknya bodoh seperti saya dan jelek seperti kau, kan parah… Kau pikir-pikir lagi dulu e.
E: (Termenung. Pengaruh alkohol semakin parah, tidur di bar dalam keadaan seratus persen lega karena su ungkap) Zzzzzz.
MC: (Memandang Einstein penuh perhatian)… Hhhh…. Tapi bisa jadi kau benar e, apa pun resikonya saya sanggup.
You see? Sang pramuria sama sekali tidak peduli dengan singkatnya waktu PDKT Sang Maestro. Dia hanya percaya bahwa saat hatinya bicara, waktu tak lagi jadi ukuran. Pengunjung cafe yang lain mungkin bilang, “Kalian kan belum lama saling kenal!” tetapi pramuria cantik itu yakin, mereka (Marry Christie dengan Enstein) bertaut hati di garis yang sama. Ahaaaiiii …
Beberapa tahun kemudian, situasi semirip Albert Einstein jatuh cinta di cafe itu saya saksikan lagi pada seorang teman saya. Beberapa tahunnya lagi, saya sadar bahwa ini sebenarnya adalah situasi yang dialami oleh banyak pria di luar sana–untuk tidak menyebut diri sendiri.
Hmmm … Sayang memang karena beberapa bagian dari memori saya corrupt dan tidak bisa mengingat apakah kisah ‘ungkap dalam keadaan mabok‘ ini berujung pada pernikahan. Kisah ini adalah satu dari sekian banyak bacaan ‘tak sesuai umur’ yang saya baca ketika masih sekolah dasar. Saya bahkan tidak tahu pasti apakah itu adalah kisah yang saya baca atau saya karang atau hasil bacaan itu saya karang-karang lagi. Duh …
Dan, semakin saya berusaha mengingat, ending-nya semakin tak jelas dan saya takut menceritakannya lagi. Bukankah sesuatu yang tidak jelas tetapi terus diceritakan kembali malah akan mengaburkan posisi cerita; fakta atau sudah bercampur, atau murni khayalan?
Baca juga: Mengapa Gratis Kalau Bisa Bayar?
Tetapi sebenarnya terdapat beberapa hal yang saya tangkap dari cerita Albert Einstein jatuh cinta pada pramuria tadi, adalah:
Pertama, situasi bagaimana kau jatuh cinta adalah sesuatu yang sulit terbahasakan. Beberapa orang akan bertanya-tanya tentang bagaimana kau jatuh cinta dan berharap akan mendapat jawaban rasional, tetapi yang bisa kau buat adalah mengulang-ulang jawaban yang sama; saya jatuh cinta, itu saja.
Kedua, dalam kisah kau jatuh cinta, takaran waktu (sama seperti rasio) juga akhirnya tidak lagi berjalan wajar. Sehari = 24 jam = 1440 menit tidak lagi bisa dipakai untuk mengukur. Yang lama bagi orang lain (yang tidak sedang jatuh cinta), bisa jadi justru menjadi sangat cepat untuk kita. Ngobrol selama dua jam akan terasa seperti baru bicara dua menit. Deskripsi ini mungkin terdengar seperti kuno, tapi seperti Corrine Bailey Rae bilang You don’t know what Love Can Do til it Happens to You.
Ketiga, kau sungguh tak bisa memilih kepada siapa harus jatuh cinta. Seorang peneliti dan orang pintar sekelas Einstein jatuh cinta pada pramuria (PS: Di jaman kuno pramuria masuk dalam strata sangat rendah dan berada pada deretan ‘pemuas nafsu’; beberapa sinetron kita juga mengekalkan pandangan ini… dan saya heran), juga adalah hal yang bagi banyak orang tidak masuk akal. Jika anda juga berpendapat demikian, liat kembali film-film romantic drama yang pernah kalian tonton dan lihat berapa banyak ‘situasi’ tidak masuk akal juga terjadi di sana.
Keempat, melamar dan dilamar (untuk menikah) adalah situasi unpredictable sesungguhnya. Bisa jadi kau (pria) sudah mempunyai skenario bagaimana melamar kekasihmu dan kau (wanita) juga sudah mempunyai cita-cita terpendam tentang bagaimana nantinya kau ingin dilamar, tetapi sorry to say.… sepertinya akan sulit terwujud. Penggambaran pria melamar dan wanita dilamar hanya karena soal ‘budaya’ kita yang mengaturnya demikian padahal saya sendiri tidak setuju.
Kelima (agar lengkap seperti lima sila pancasila, hihihi), bagaimana kalian (ingin) melamar atau dilamar? Pertanyaan ini juga terbuka untuk yang sudah menikah. Beberapa mungkin nyamannya seperti Einstein (setengah mabok dan berani), dan beberapa mungkin seperti Marry Christie (terheran-heran tetapi setuju).
Ah…. saya tetap tidak berhasil mengingat ending mob Einstein ini, memori masa kecil saya benar-benar rusak; ada yang tahu?
.
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
.
Tulisan ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Terakhir disunting tanggal 23 Juni 2022. Gambar diambil dari wikimedia.