Berapa banyak buku ekonomi yang sudah anda baca? Buku Melawan Penjual karya Arin Swandari adalah salah satu yang baik untuk kita baca.
Saya pernah ingin bersurat kepada Adam Smith, bercerita tentang sulitnya menerima ‘tangan-tangan tak terlihat’nya. Saya merasa bahwa yang seperti itu tak akan saya jumpai di dunia ini. Niat menulis surat itu batal ketika saya belajar komunikasi pemasaran. Itu barang memang ada.
Meski mengakuinya, buku-buku ekonomi tetap tidak pernah jadi pilihan pertama, atau kedua, atau ketiga pada kunjungan sesekali saya ke toko buku. Buku-buku demikian selalu terbayangkan sebagai tulisan-tulisan teoretis nan susah dipahami dengan santai. Kemudian saya bertemu buku ini. Melawan Penjual (Elex Media, 2011). Arin Swandari, penulis buku ini mengirim buku terbarunya untuk saya di Ruteng, kota seribu hujan di barat Pulau Flores ini.
Ada dua hal yang muncul di seputar kisah itu.
Pertama, senang. Siapa yang tak senang dikirimi buku oleh penulisnya? Sebuah kehormatan. Kedua, pesimis. Mampukah saya menerima penghargaan itu dengan membaca bukunya sampai selesai? Saya ragu. Nilai pelajaran ekonomi saya yang ‘sederhana’ jelas bukan curriculum vitae yang bagus untuk membaca satu buku tentang persoalan ekonomi sampai selesai.
Buku itu datang lengkap dengan tulisan tangan penulisnya di halaman pertama serta ucapan: selamat membaca. Artinya: Armin, tidak banyak orang di dunia ini yang mendapat kiriman buku dari penulisnya. BACA!
Beberapa situasi menguntungkan membuat buku ini akhirnya saya: pulsa internet saya habis sehingga saya tidak bisa berselancar, dan, daftar buku baru di rak saya telah lama tidak terisi. Kondisi ekonomi sedang susah di tahun 2011, dan sebuah buku saya terima gratis; berterima kasihlah!
Baca juga: Memaknai Cinta Bersama “Sergius Mencari Bacchus”
Saya baca buku Melawan Penjual itu. Menyenangkan. Melawan Penjual adalah buku yang manis, bertutur renyah tentang manusia normal yang sering jatuh dalam godaan membeli berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan. Arin menulis buku ini dengan konsep bercerita, bukan menasihati. Inilah kiranya yang menjadi alasan buku berhasil saya selesaikan.
Saya pernah mendengar ceramah tentang cara menjalani hidup dengan menjadi pembeli yang cerdas, tentang pentingnya mengukur income dan mempertimbangkannya dengan kebutuhan, dan, percayalah, saya tertidur sebelum penceramah menyelesaikan bagian pengantar. Terlalu banyak teori dan nasihat.
Tetapi saya tidak tertidur ketika membaca buku ini. Arin Swandari menghindari berceramah seperti itu. Dia hanya bercerita tentang kesalahannya ‘termakan’ iklan lalu membeli kalkulator seharga 560 ribu rupiah hanya karena kalkulator itu mampu menyimpan banyak nomor telepon. Dia lalu sadar sadar bahwa kalkulator diciptakan untuk membantu kegiatan berhitung.
Ketika ada yang menambahkan fitur lain padanya, percayalah, itu tidak akan maksimal. Buktinya? Setelah berlelah-lelah memasukkan 700-an nomor kontak, semuanya hilang sekejap hanya karena kesalahan prosedur mengganti baterai. Siapakah yang mau mengulang kegiatan itu lagi?
Belilah kalkulator untuk berhitung dan sebuah notes jika ingin mencatat nomor telepon gebetanmu. Harganya? Kalkulator biasa plus notes digabung, mungkin hanya 30 ribu rupiah. Maka anda masih akan punya 530 ribu rupiah untuk memanjakan diri atau menabung, sekian dan terima kasih. Begitu kira-kira yang penulis ingin ingatkan.
Buku Melawan Penjual memuat pengalaman praktis manusia-manusia normal yang ditakdirkan menjadi pembeli, sekaligus mengingatkan pembacanya agar berjuang menjadi pembeli yang cerdas.
Ya, selama ini kita adalah sekumpulan ‘pembeli biasa’, orang-orang yang mengeluarkan uang secara berlebih untuk sesuatu yang sebenarnya bisa diperoleh dengan harga lebih murah namun memenuhi kebutuhan.
Membeli baju di toko A dengan harga yang lebih mahal tetapi prestisius selalu menjadi pilihan daripada membeli baju dengan model dan merk yang persis sama di toko B hanya karena toko B tampak agak kurang bonafide. Ckckck, membayar gengsi, itulah yang saya lakukan selama ini.
Pun diskon. Pernahkah kita memperhatikan dengan sungguh harga asli barang-barang SALE? Apakah memang benar-benar SALE atau justru itu strategi promosi? Arin bilang, pada beberapa kasus, ada barang yang didiskon setelah harga aslinya dinaikkan terlebih dahulu. Sehingga ketika musim diskon, tetap terjual dengan harga normal. Penjual tak merugi, dan pembeli antre karena kita suka potongan harga. Oh, diskon nan penuh derita.
Berikut penggalan satu paragraf yang saya comot dari buku itu tentang pertarungan gengsi dan dompet:
Tomy adalah pacar Rayi dan sudah menyerah dengan sikap kekasihnya yang sok-sokan borju dan gengsi. Ia tinggal di kost seberang. Beberapa bulan lalu, sepulang dari tugas di Singapura ia membelikan tas merek terkenal dari Paris, sesuai pesanan Rayi. Tapi Tomy tak membelinya di negeri Singa. Tomy mendapatkan tas itu di Mangga Dua. Kata penjualnya KW super, artinya kualitas nyaris sama dengan yang asli bikinan Taiwan. Harganya hanya kurang dari sepertiga merek aslinya. Sampai saat ini tas masih dipakai Rayi, tanpa protes apa-apa.
Lihatlah! Arin Swandari bahkan tidak perlu bilang “JANGANLAH BERHAMBA PADA MERK, KALAU TIDAK TAHU APA-APA TENTANG BRAND TERSEBUT!” Dia hanya bercerita dan saya tersenyum membacanya. Saya lalu berpikir, benarlah sudah penjelasan singkat di cover buku tersebut: Tip dan trik berbelanja bijak, mewaspadai hadiah dan diskon, menemukan jalur komplain, hingga menghadapi sales kartu kredit yang ngotot.
Baca juga: Televisi 14 Inci
Sekadar tambahan, buku ini juga bagus untuk penjual, paling tidak agar tahu lebih banyak tentang alasan orang membeli. Sebagai sebuah buku dengan isu penting dalam menghadapi masa ekonomi sulit bersama datangnya tagihan kredit yang tak kenal lelah, buku Melawan Penjual dikemas ringan dan jujur.
Begini kata Arin, “Menjadi raja dan ratu belanja? Hmm tentu boleh. Tetapi sebaik-baiknya ratu atau raja adalah ratu atau raja yang bijaksana, bukan?”
Arin Swandari? Saya mengenalnya di Mataram beberapa bulan silam, saat dia menjadi pemateri dan saya peserta pada Pelatihan Talk Show dan Wawancara Radio, kegiatan yang digelar PPMN bersama KBR68H Jakarta. Ketika menulis buku ini, Arin adalah penyiar dan jurnalis di Kantor Berita Radio 68 H. Menjadi orang radio sepertinya berpengaruh pada cara bertuturnya yang efektif.
Arin sendiri telah melakukan sesuatu seperti yang dia ceritakan dalam bukunya. Ketika akan mengirim satu eksemplar buku ke Ruteng, Arin memilih jasa Kantor Pos dan bukan jasa pengiriman lain yang lebih cepat. Alasannya? Kantor Pos lebih dekat tempat tinggalnya dan buku tidak akan basi meski tiba agak terlambat.
Kini buku Melawan Penjual tersedia dalam format e-book. Lebih murah. Bisa dicari di Google. Sekarang. Dulu? Belanja online belum seramai hari ini. Kalau buku ini ditulis di era ‘semua orang jadi pedagang’ seperti saat ini, Arin mungkin akan bercerita juga tentang pengalaman menarik seputar belanja online.
Belum lama ini, seorang teman saya membeli kebaya cantik ala Kate Middleton di sebuah lapak online. Dengan berdebar dia membuka kirimannya. Dia bersedih. Yang tampak di foto promo sungguh berbeda dengan kebaya di tangannya hari ini. Kebaya cita-citanya itu ternyata serupa dengan kain kelambu di rumah mereka. Betapa sedih.
—
12 Maret 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—
Tulisan ini pertama kali di-publish tahun 2011.
Ini buku seharusnya masuk kategori 'must read' meski sy sendiri blm baca. Waktu baca artikel ini sy lgs membayangkan Rebecca Bloomwood dalam novel Pengakuan Si Gila Belanja by Sophie Kinsella. Novel menarik (menurut saya). ' How can a girl goes crazy when they shop?' Saya sendiri pun sering masuk jebakan batman bernama diskon. Dan tersadar ketika semuanya sdh terlambat (seperti film india).
Saya belum baca novel itu tetapi pernah nonton film a confession of shopaholic. Yup. Itu cerita yang jujur saya pikir hehehe. Saya sering heran bagaimana diskon dan nafsu belanja bisa begitu dekat 😀 😀 😀