Menanam Bambu di Ruteng Flores 1

Bambu adalah tanaman multifungsi. Sebuah artikel bahkan menulis ada tiga belas manfaat bambu bagi kehidupan manusia. Mulai dari anaknya yang bernama rebung yang enak untuk sayur, sampai pada serat daunnya yang bisa jadi baju hangat. Luar biasa. 

menanam bambu di ruteng flores 1
Bambu Flores tumbuh di mana-mana | Foto: Armin Bell

Menanam Bambu di Ruteng 1

Entah karena pernah membaca artikel itu atau karena kurang kerjaan (#eh?), beberapa waktu lalu kami menanam bambu di Ruteng Flores. Apakah kami semua ingin menjahit baju hangat dari bambu? Entahlah. Tetapi rasanya, ketika melakukan kegiatan itu, kami sedang sangat mencintai tanaman bambu dan seluruh manfaatnya. 
Demikianlah saya merasa perlu menulis lebih dari satu tulisan tentang ini; tentang bambu; tentang menanam bambu di Ruteng Flores ini. Bagian pertama akan berisi ihwal virus cinta bambu ini mampir. Di bagian selanjutnya adalah tentang jenjang pernikahan, eh, maksudnya lanjutan pernyataan cinta bambu. Cie cieee…. 
Baiklah. Begini ceritanya… 
Beberapa bulan silam saya bertemu dengan seorang anak muda (lebih muda dari saya yang juga masih muda, tentu saja :-)). Kata bertemu dalam dunia serba digital sekarang ini tentu saja dapat dipakai tidak semata sebagai perbincangan muka ke muka. Dan sebenarnya itulah yang terjadi. 
Pertemuan kami dimulai di jejaring sosial twitter lalu saya pindahkan ke facebook karena di yang terakhir inilah saya lebih sering ‘tinggal’. Namanya Billy. Billy David. Bekerja di sebuah perusahaan besar dan menangani bagian CSR – Corporate Social Responsibility
Cerita cukup berbelit, mengapa saya bisa berjumpa Billy. Dimulai dari dia menyaksikan penampilan Ivan Nestorman, bersama Komodo Project di Java Jazz 2015 saat beberapa waktu sebelumnya dia sedang berencana ke Ruteng untuk ‘menggunakan’ dana CSR perusahaannya dalam rangka sosialisasi pentingnya bambu bagi kehidupan. 
Dia Java Jazz itu dia jatuh suka pada penampilan Komodo Project, lalu pulang dan googling tentang siapa Ivan. Dia diarahkan google ke beberapa blog termasuk blog ini tentu saja dan satu blog lain, dan tahu bahwa Ivan Nestorman itu dari Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Bunga ini.

BACA JUGA
Hitung Harga Otak Anda Sekarang

Pucuk dicinta ulam tiba. Setelah tahu bahwa blogger di narareba.com itu orang Ruteng, disampaikannyalah niat mereka untuk datang ke Ruteng dalam hubungannya dengan bambu itu. Tetapi blogger di narareba tinggal di Jakarta. Bagaimana ini 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Dalam skenario yang saya bayangkan, blogger asal Ruteng yang tinggal di Jakarta itu, menyarankan nama seorang blogger lainnya yang memang tinggal di Ruteng untuk dihubungi. Siapa bloger Ruteng itu?

Baca juga: Tentang Venus – Cerpen di Kumpulan Fiksi

Ta daa…. Saya. Tuan rumah di Mata Najwa, eh… maksudnya tuan rumah blog ini. Sampai di sini, masih mau baca? Semoga ya… Karena saya juga tidak akan memperpanjang cerita pertemuan awal ini. Singkat cerita, Billy menghubungi saya di twitter lalu saya pindahkan ke facebook karena di yang terakhir inilah saya lebih sering ‘tinggal’. Nah, lo… balik lagi ke awal kan cerita ini? 

Astaga… Ya, sudah! 
Kita ke babak selanjutnya saja ya… 
Billy bilang dia akan ke Ruteng. Billy tanya apakah saya mungkin bisa membantu. Saya setuju. Gayung bersambut, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga, bagai menegakkan benang basah… eh… apa-apaan ini? Kok malah berperibahasa? Harusnya kan berperikemanusiaan ya? 
Ya begitulah, saya memilih berperikemanusiaan saja daripada berperibahasa. Sebagai manusia yang percaya bahwa menolong manusia lain adalah salah satu tugas utama, saya siap membantu Billy. Dalam pertemuan pertama kami di jejaring sosial, dia belum bicara tentang bambu.

Jadi kuanggap dia hanya ingin bertamu. Kuterima saja seperti juga aku akan menerima kamu yang mau bertemu entah untuk berdiskusi atau sekedar mengusir jemu. 

“Bang Armin, saya sudah di Ruteng,” SMS Billy masuk lalu menyebut nama satu hotel di Ruteng. Hotel Sinda Ruteng. Sebelumnya ketika sudah di Labuan Bajo dia menelepon perihal kedatangannya ke kota kami ini. Sesuatu tentang bambu, katanya. Maka ketika SMS itu masuk, saya lantas mengontak Tommy Hikmat, seorang anak muda yang saya tahu dapat ‘mengurus’ bambu, terutama karena sebelumnya pernah mengikuti kegiatan serupa di Borong. 
Bersama Tommy saya tahu ada kak Andrew Winokan (saya pernah bercerita tentang tokoh ini di sini). Di belakang mereka ada LSM Tunas Jaya. Maka kami bertemu. Billy dan timnya, saya dan Tommy. Pertemuan kami di Restoran Chacha, rumah makan di Ruteng yang jadi favorit saya dan istri. Sampai di situ kisah saya dengan Billy. 
Selanjutnya kisah Billy dengan Tommy, Andrew dan LSM Tunas Jaya. Mereka sepakat akan menggelar workshop bambu. Billy dan perusahaannya mendatangkan Abah Jatnika seorang maestro bambu di Indonesia dan Tommy, Andrew dan LSM Tunas Jaya akan menjadi penyelenggara kegiatan di Ruteng. Terjadilah demikian. 
Sebuah workshop bambu digelar selama tiga hari, mulai dari filosofi bambu, cara menanam bambu, manfaat bambu untuk lingkungan dan ekonomi dan macam-macam lainnya. 
Workshop Bambu diikuti pegiat lingkungan, para tukang bangunan dan stakeholder lainnya. Hasilnya? Virus bambu menjangkiti kami semua. Bahwa bambu ternyata tidaklah identik dengan kemiskinan tetapi dengan kekayaan. Ya, kaya pesan berdasarkan kearifan lokal, sampai kaya uang karena bambu bisa diolah menjadi apa saja yang bernilai ekonomi tinggi.

BACA JUGA
Mengapa Kita Harus Bicara?

Abah Jatnika bahkan telah keliling dunia karena bambu. Maka berhentilah berpikir tentang: bambu hanya untuk masyarakat ‘kelas bawah’. Bambu itu untuk kita semua. Ya, semua. 

Sebelum diolah menjadi sesuatu saja, bambu dalam dirinya telah mampu membuat kita hidup. Rumpun bambu adalah rumah produksi oksigen yang baik, penyimpan air yang baik. Ckckckck… kami mendadak mencintai bambu setelah kisah panjang dari Billy David ke Ivan Nestorman ke Robert Bell Thundang ke Armin Bell ke Tomy Hikmat ke Yayasan Tuna Jaya. Ya, kami cinta bambu. 
Melihatnya dengan cara yang berbeda dan sadar, bambu kita tidak banyak sodara-sodari. Yuks, mari tanam bambu. Begitu simpulan beberapa kawan muda setelah mengikuti workshop tersebut. Billy dan kawan-kawannya bersama Abah Jatnika telah kembali ke Jakarta.

Baca juga: Menyelesaikan Hambatan Public Speaking

Tugas mereka memberi cara melihat yang baru telah selesai, tugas selanjutnya adalah kami ‘anak tana’ melakukan sesuatu. 

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Daripada jauh-jauh berpikir tentang produksi, mengapa tidak memulainya dari konservasi? Ya, konservasi. Menanam bambu. Tetapi di mana? Kami masing-masing tak punya lahan. Hening… Lalu beberapa orang dari antara kami yang selanjutnya paling rajin mencari bibit yakni Teddy Nahas dan Jefry Teping a.k.a Arka Dewa mengusulkan melakukan penghijauan di Wae Ces. 

Masih ingat hashtag #RutengKrisisAir kan? Sambil tetap pada hari-hari selanjutnya mengutak-atik kebijakan dan penambangan air yang kami curigai sebagai salah satu penyebab fenomena itu, kami yang sebelumnya berantem hebat dan berbeda pendapat tentang #RutengKrisisAir itu lalu bersama-sama bersepakat: Yes, Wae Ces it is

Hari Minggu, 10 Mei 2015 setelah Misa kedua di paroki masing-masing, kami menanam bambu di di Ruteng, di Ulu Wae Ces, sumber air yang dipakai oleh masyarakat Ruteng selama ini. Ada banyak jenis bibit bambu. Bambu kuning, bambu hitam, pering, betong, dan macam-macam lagi. Ada banyak orang. Orang muda, orang tua, anak-anak, PNS, pegiat lingkungan, mahasiswa, seniman, dokter, arsitek dan macam-macam yang lainnya. Kami bahagia. 
Ya, bahagia. Telah melakukan sesuatu yang menyenangkan. Kelak kepada anak cucu, semisal alam merestui bambu-bambu yang kami tanam itu tumbuh, kami akan bercerita kami pernah menanam bambu di Ruteng, menanam air. Air yang kita minum hari ini. (Bersambung) 

Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
BACA JUGA
Tuhan Menambal Ban Saya
Bagikan ke:

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *