Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?

Kalau kita mau jujur, kemampuan orang-orang kita dalam memberi apresiasi itu masih jauh dari harapan. Contoh paling nyata adalah usaha master of ceremony agar penonton bertepuk tangan. Susah, Om. Sa pengalam kalo soal itu, #eh? 

apresiasi dinikmati atau dilawan
Apresiasi | Foto: Frans Joseph, Courtesy of Drama Musikal Ombeng

Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?

Tetapi yang juga tidak kalah sulitnya adalah kemampuan bersikap atas apresiasi. Kita ini kalau dipuji, kadang terlalu melambung juga rasanya. Mendadak sombong, angkat muka, ta’in taung ata (bahasa Manggarai untuk menganggap orang tak ada apa-apanya). Sebaliknya kalau dikritik, kita blingsatan, marah-marah, mau makan orang. Baiknya bagaimana, Kakak?
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan: 

Salah satu pengertian apresiasi adalah penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; sedangkan pengertian lainnya adalah kesadaran terhadap nilai seni dan budaya. Itu berarti, apresiasi adalah sesuatu yang timbul setelah sebuah karya dimunculkan ke permukaan. 

Maka, beginilah kisah saya. 
Beberapa waktu terakhir, saya mendapat pesan-pesan singkat di handphone, via facebook dan twitter yang berisi komentar para sahabat setelah membaca buku pertama saya. Sebagian menceritakan tentang kesamaan kisah mereka dengan beberapa tokoh di dalam buku, yang lain bertutur tentang cerpen pilihan mereka dari 12 kisah yang saya tulis di sana, sementara sahabat mengakui mencintai puisi singkat berjudul Simply yang saya masukkan dalam antologi pertama tersebut. 
Saya terharu, senang dan selalu tersenyum sumringah kala mendapat komentar-komentar demikian. Telinga adalah buku yang diterbitkan dengan terburu-buru, modal nekat, dan tanpa kurasi.
Baca juga: Menyelesaikan Hambatan Public Speaking

Sesungguhnya, apresiasi atas karya atau apa yang saya buat bukan yang pertama kali saya dapat. Bekerja sebagai penyiar radio dan sering tampil sebagai MC pada beragam iven, membuat hari saya diwarnai dengan berbagai komentar.

“Eh, siarannya koq gitu? Jelek ah!” … “Kamu ngemsinya bagus hari ini!” … “Saya suka pilihan lagu waktu kamu siaran semalam!” … “Jangan egois dong klo ngemsi, couple-nya diajak rame juga” … dan lain-lain, adalah contoh komentar yang saya dapat setiap hari, sesuatu yang bahkan tidak pernah saya minta sebelumnya kecuali pada orang-orang tertentu -biasanya orang dekat, atau yang saya anggap lebih berpengalaman. 

Tetapi sebagai orang yang bekerja di ruang publik, apresiasi berupa komentar (pujian, sanjungan, kritik, saran, makian de es be) adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan lain yang mengikutinya adalah pengetahuan akan kenyataan bahwa tidak semua yang kita lakukan bisa mendapat komentar positif. Ini berarti, kita harus menyiapkan reaksi untuk dua model apresiasi yang akan muncul; positif dan negatif.
Jika positif, tentu saja ucapan terima kasih adalah kata paling wajar yang bisa diucapkan. Diikuti dengan kalimat sederhana seperti: Wah… saya senang karena bisa melakukannya dengan lumayan baik, terima kasih untuk dukungannya! Hal yang sangat mudah dilakukan. 
Tetapi bagaimana reaksi yang baik untuk komentar miring atau negatif, yang kerap kita sebut sebagai kritik? Kecenderungan pertama yang muncul adalah mekanisme pertahanan diri atau self defense mechanism.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kita lalu memberi alasan, mendebat komentar hingga kadang berujung pada sikap ’saling tidak enak’. Yang memberi komentar miring lalu dianggap sebagai orang yang berniat menjatuhkan kita. Pada tahap lanjutan, kita akan menutup pembelaan diri kita dengan: Itu yang bisa saya buat; kamu sendiri bisa apa? Jangan hanya bisa komentar! 

Baca juga: Public Speaking: Pidato, Pengertian, Skema, dan Lainnya

Kita marah, dan berharap orang yang memberikan komentar miring bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dari kita agar kita bisa menerima komentarnya sebagai sesuatu yang masuk akal. Padahal tidak harus demikian. Yang memberikan komentar tidak harus bisa berbuat lebih dari kita, karena dia sedang dalam posisi memberikan komentar atas apa yang kita buat.

Tidak adil rasanya meminta dia melakukan hal yang sama–menghasilkan karya seperti yang kita hasilkan– hanya sebagai pembuktian diri. Artinya tidak ada yang salah dengan komentar negatif, dari siapa pun munculnya komentar itu; tidak harus didebat. 
Saya akui ini sulit karena kita semua lahir dengan mekanisme pertahanan diri masing-masing. Tetapi agar situasi tidak semakin sulit, yang harus kita lakukan untuk setiap komentar miring adalah (juga) berterima kasih, sambil menambahkan dengan kalimat yang (juga) sederhana: Wah… saya sudah berusaha melakukannya dengan lumayan baik, semoga lain kali bisa lebih baik, terima kasih untuk dukungannya! Ya, kira-kira demikian. 
Kembali pada apresiasi atas buku pertama saya. Ada kesadaran lain yang timbul soal memberi tanggapan atas apresiasi, setelah buku pertama saya terbit. Kesadaran itu adalah bahwa tidak semua komentar harus dibalas komentar.

Baca juga: Public Speaking: Pengertian, Pelaku, Tujuan, dan Alur

Kadang, diam adalah sikap yang tepat untuk berbagai komentar yang diterima atas karya kita. Itu yang saya lakukan ketika mendapat komentar positif dari beberapa orang yang saya hormati setelah mereka membaca buku saya. Saya diam dan berpikir, benarkah karya saya sudah membuat mereka puas?

Tentu saja saya juga mendapat beragam komentar negatif. Beberapa teman menyebut karya tersebut sebagai ‘terlampau terburu-buru diterbitkan’. Ada juga yang menyarankan untuk segera direvisi. Dan macam-macam komentar yang bernada kritis. Saya tidak marah. Karena toh itu buku pertama dan di buku kedua saya akan berusaha lebih baik termasuk melibatkan banyak pembaca awal agar buku yang terbit lebih layak baca. Itu saja! 
Salam 
Armin Bell
Ruteng Flores
Bagikan ke:

2 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *