Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak

Ketika akan menulis ini, saya sesungguhnya khawatir bahwa suatu saat saya akan menjadi seperti itu Om-om motivator dorang di tivi. Khotbah keren matipunya lalu tampak bodo tir tau diri skali karena untuk kepentingan tertentu, menjadi orang yang omong kosong banyak

mimpi-mimpi yang menepuk pundak
Mimpi-mimpi yang menepuk pundak | Foto: Armin Bell

Mimpi-mimpi yang Menepuk Pundak

Sambil para sahabat menduga-duga siapa yang saya maksudkan di prolog di atas, saya tetap memutuskan melanjutkan tulisan ini. Anggap saja saya penggemar Pilatus yang menolak keinginan menghapus tulisan di salib Yesus. Sekali kutulis, tetap kutulis. 
Bahwa nanti nasib tulisan ini berbanding terbalik dengan INRI: Iesus Nazarenus, Rex Iudaeorum, yang berarti Yesus dari Nasaret, Raja orang Yahudi, dan lantas menendang balik saya, itu nanti. Sekarang saya hanya ingin berbagi. Catat: Niat berbagi itu harus dihargai #eh.
Begini. Saya pernah menjadi guru di sekolah. Sampai sekarang juga senang berbagi dengan kelompok-kelompok keren di Ruteng. Sebagai guru, saya kerap memakai waktu-waktu akhir pelajaran untuk sharing ide dengan peserta didik.

Baca juga: Kita adalah Komentator Sepak Bola (Bagian Pertama)

Kalau tidak percaya, bisa tanya langsung ke mereka yang panggil saya Pa Armin di sekolah dan ketika keluar gerbang langsung panggil Kaka Min. Mereka mungkin akan bilang, “Iya e. Dulu dia biasa begitu supaya kami tir ngantuk.”

Salah satu hal yang saya ingat sampai saat ini adalah ketika saya merelakan diri menjadi penyeduh kopi untuk mereka jika mereka berhasil menjadi apa yang mereka inginkan. Ceritanya, saya menantang Wela Do, Kelvin Tatus, Edward Ileng, Oswald Kasman, dan teman-teman seangkatannya untuk menulis di kertas kecil: Apa yang kamu bayangkan tentang diri kamu sepuluh tahun dari sekarang? 
Saya minta mereka menyimpan kertas itu dengan baik, atau menyimpan apa yang telah mereka tulis itu di dalam kepala. Jika sepuluh tahun dari waktu mereka menulis itu mereka berhasil menjadi seperti apa yang mereka tuliskan, mereka berhak ke rumah saya, duduk ongkang kaki di dapur dan bilang ke saya: Bikin saya kopi dulu, Kaka Min. Segelas kopi yang enak. Dan saya akan bikin segelas kopi Manggarai paling nikmat lalu mendengar cerita mereka. 
Sebelum mereka mulai menulis, saya ingatkan agar mereka menulis tentang mimpi atau cita-cita terbaik yang mereka punya. Ini sedikit tricky barangkali untuk dua tujuan:
  1. Kalau mereka menulis sangat tinggi dan ternyata kesulitan mencapainya, saya bebas dari utang membuatkan kopi;
  2. Cita-cita, di mana-mana harus ditulis/digantungkan sangat tinggi. Dengan demikian kau bekerja keras mewujudkannya.

Lihat? Sekali merengkuh dayung, dayungnya tenggelam #eh?

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Saya sendiri sesungguhnya sampai saat ini masih berurusan dengan mimpi-mimpi. Beberapa waktu lalu, di akun facebook pribadi saya menulis status yang cukup panjang. Lebih panjang dari Kisah-kisah Om Rafael barangkali.

Ketika membacanya lagi malam ini, saya menganggap status tersebut saya tulis ketika sedang sentimentil. Saya kadang semelankolis itu. Begitu. Status itu saya paste saya ke sini dengan beberapa penyempurnaan. Cie cieee…

Ruteng, November 2016

Saya baru saja simpan gitar kecil kami di tempatnya. Ceritanya, malam ini saya belajar fingering sederhana– ini istilah ngeri matipunya dan semoga para musisi tidak baca ini status–dengan modal the magic youtube.

Tadi siang saya mulai membayangkan desain terbaru untuk produksi terbaru kaos keren dari Ruteng ‘Wengko Weki Dite’. Malam ini saya harus tidur dengan kualitas yang cukup karena besok harus berlaga di lanjutan fase grup Turnamen Futsal HUT KORPRI Kabupaten Manggarai

Tadi, rumah kami kedatangan tamu tidak terlalu istimewa–*smile–yakni Eltind Damon dan kami bahas kemungkinan membuat pentas musikalisasi puisi. Etin adalah Daria di Drama Musikal Ombeng dan dia punya bakat yang baik dan banyak. 
Sampai di sini, kita semua bingung. Kawan sekalian mungkin bingung menebak arah tulisan ini akan ke mana, saya justru bingung apa sesungguhnya cita-cita saya. Jadi musisi, jadi pengusaha clothing, jadi pemain futsal profesional, jadi penulis dan sutradar, atau jadi teman yang baik? 
Saya pernah mendengar bahwa pada golongan umur seperti saya sekarang, cita-cita tidak lagi penting. “Jalani hidup apa adanya, jangan lebi-lebi.” Begitu kira-kira lanjutan komentarnya. Saya mendadak malu. Apakah memiliki cita-cita itu adalah milik manusia usia tertentu saja? 
Ketika masih mengajar Jurnalistik Dasar di SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng, kepada Monika Angeelin, Oliva Nagung, Rey Susilo dan 12 murid…eh, maksudnya para murid lainnya, saya sering minta agar mereka bercita-cita, menggantungnya sangat tinggi, karena realitas biasanya jatuh satu level lebih rendah.

Sangat tinggi menjadi penting sehingga realitasnya adalah tinggi. Saya sering ulang-ulang itu sebagai trik menghabiskan waktu karena materi sudah selesai. Ya, guru kadang begitu juga. Malam ini saya sadar pada dua hal dan itu belum sempat saya katakan dalam sesi joak dahulu. 

  • Bahwa cita-cita tidak pandang umur dan sungguh sulit memilih satu saja ketika kita tidak sepenuhnya yakin pada kemampuan sendiri. Akibatnya kita mau ambel semua. Olraun. Lalu menjadi tua. Hanya bisa bilang astaga.
  • Bahwa realita kadang lari jauh tunggang-langgang dari cita-cita. Tambahkan lintang-pukang juga, and, yes, sometimes we are that far and we can only fart or fat *oops, sorry

Saya pernah punya cita-cita jadi sopir angkutan perdesaan yang full musik lagu-lagu MLTR, dan lihatlah saya kini yang masih tida bisa bawa oto, bingung mana tuas persneling mana gagang pintu damtrek. Tetapi tidak berarti kita gagal, bukan? There always be an answer, like: harus berjuang, ayo fokus, belum waktunya, jangan menyerah, selalu ada jalan, and many more.

Tempat yang kita tinggali bernama Indonesia ini juga memiliki cita-cita luhur dan mulia. Apakah semua sudah terwujud? Belum, Bro. Dan bangsa ini sudah berusia lebih dua tahun dari standar usia Kitab Suci, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti jauh panggang dari api karena penghuninya adalah penggemar hoax dan meyakininya sebagai kebenaran. 
Lalu apa kita lantas harus membentuk negara baru atau bilang bubar Indonesia?. Nope! Tentu saja ketidakadilan ada di mana-mana, tetapi apakah itu secukup-cukupnya alasan untuk membuat bangsa ini bubar jalan, atau sebenarnya kita masih punya jalan putar ke Roma seperti speak out louder agar kita memilih orang yang benar untuk pimpin ini negara?
Saya selalu berjingkrak kalau di sebuah konser ada yang nyanyi Redemption Song dari Bob Marley. Saya berteriak sangat keras ketika sampai di bagian …emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our mind. Ketika pulang dari konser itu saya akan menata lagi mimpi-mimpi saya. Perlahan bekerja mewujudkannya. Bahwa nanti akan lari jauh dari kenyataan, minimal saya pernah bekerja untuknya; mimpi-mimpi saya.
Paling tidak, suatu saat ketika mimpi itu datang menepuk pundak dan bilang ‘Halo, masih ingat saya?’, saya bisa bilang: “Iya, saya ingat saya pernah berusaha tetapi kau begitu sulit!” Itu juga bisa kita katakan pada gebetan yang akhirnya menolak. Kita pernah berusaha, dan bangga. Itu!
Apakah suatu saat akan ada mimpi-mimpi yang menepuk pundak? 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Pada sebuah tayangan tentang Brasil di National Geographic, ada liputan tentang satu kota yang baik sekali di negeri sepak bola itu. Kota itu pernah memiliki Walikota yang hebat. Memimpin selama tiga periode dan kini pensiun. Pada masa dia memimpinlah, kota itu berkembang pesat dan sangat manusiawi. How cool is that, right?

Menurutnya, apa yang dia buat untuk kotanya adalah wujud mimpi-mimpinya ketika masih muda dan kuliah arsitektur. Tidak heran jika kota itu tumbuh menjadi keren.

Tetapi yang membuat saya ‘tenganga’ adalah peringatan dari mantan walikota itu. Kepada pewawancara dari Nat Geo dia bilang: “Suatu saat, pundakmu akan ditepuk dari belakang. Saat kau menoleh, di sana ada mimpi-mimpimu.

Mereka bilang: ‘Halo, ini kami. Masih ingat?’.” Man, that is the wildest possibility that will happen to everyone of us. Iya to? Disapa mimpi-mimpi sendiri. Ngeri ka tida? Kau akan jawab apa pada mimpi-mimpimu itu?


Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores

Ps: Kalau kau punya mimpi tentang Ruteng, mari wujudkan sekarang!