Seniman dari Manggarai

Manggarai itu gudangnya seniman. Sebut saja begitu. Setiap zaman akan diwakili oleh beberapa seniman hebat, setiap jenis juga demikian. Saya ingin mulai bercerita dari mereka yang bergerak di bidang musik. 

seniman dari manggarai
Nestornation | Foto: FB Illo Djeer

Seniman dari Manggarai

Sebelum mulai bercerita saya ingin mengulang Leonardo da Vinci, seorang seniman hebat dengan karya-karya yang mencengangkan dan melahirkan ribuan tafsir dan duga. Di suatu masa, dia–yang pernah ingin terbang dan membuat sayap dan lalu dipasangkan pada badannya kemudian berusaha terbang–berkata: Art is never finished, only abandoned.

Saya dengan sesuka hati menerjemahkannya sebagai ini: Kalau ada yang tidak pernah selesai di muka bumi ini, maka salah satunya adalah seni/kesenian/karya seni.

Maka tentu saja kita tidak perlu terlampau heran ketika baru sadar bahwa lagu yang sekarang kita anggap sangat baik sebenarnya adalah lagu lama yang diaransemen ulang. Tak juga perlu heran ketika film-film tahun 50-an muncul lagi dalam wajah baru.

Seniman masa kini sepertinya melihat bahwa lagu atau film atau karya seni lainnya akan semakin hebat jika digarap lagi dengan sentuhan yang baru. Karena ya, itu tadi. Seni sesungguhnya tidak pernah selesai. 

Misalkan itu tentang lukisan yang peluang garap ulangnya sangat sedikit, juga sama sekali tidak berarti bahwa lukisan itu selesai. Apa yang tidak selesai? Cerita tentangnya. Berabad setelah membuat lukisan Perjamuan Terakhir, kisah tentang gambar Leonardo da Vinci itu tidak pernah berhenti dituturkan–untuk tidak menyebutnya diutak-atik. Marilah kita setuju saja dengan da Vinci; art is never finished, only abandoned

Dalam sastra kita mengenal hipogram: unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain), yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya). 

Terjemahan pribadi saya tentang ini kira-kira begini: ketika saya membaca novel Ayu Utami berjudul Bilangan Fu, saya terhubung dengan begitu banyak kisah dalam Alkitab; tentang Musa, tentang Yesus yang membebaskan Magdalena dan masih banyak lagi. 
Penting tentu saja untuk menegaskan bahwa yang dilakukan oleh seniman baru/kemudian adalah bukan menjiplak atau sekedar menerjemahkan tetapi menambahkan sesuatu yang sangat penting. Kisah lama, notasi asal, gambar lama, dipakai sebagai dasar melangkah menuju sesuatu yang baru. Dia berakar. Itu sah.

BACA JUGA
Telinga Tak Selalu Mendengar

Baca juga: Jika KPI Tidak Mampu Televisi Tidak Mau, Siapkan Sensor Pribadi

Dan sah pulalah hakekatnya ketika kita menjadi tidak sangat puas atau sebut saja kecewa ketika upaya daur ulang tidak berhasil mengalahkan pesona karya sebelumnya. Kita melihat banyak contoh untuk ini. 

Saya lebih suka lagu Firasat yang dinyanyikan Marsell daripada yang dinyanyikan Dee. Meski lagu itu ditulis oleh Dee, tetapi itu telanjur menjadi lagu Marsell. Kawan-kawan tentu punya contoh lain. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Lalu gerangan apa hubungan ini semua dengan seniman dari Manggarai? Ada empat orang hebat dari yang bergerak di bidang musik yang saya tahu memiliki kemampuan daur ulang dan interpretasi yang luar biasa pada karya yang telah lahir bertahun-tahun sebelum mereka. 

Ivan Nestorman 

Ivan Nestorman adalah orang pertama. Ketika mendengar album Embong belasan tahun silam, ada satu lagu di album itu yang membangkitkan memori kolektif orang Manggarai pada Makarius Arus, seniman hebat yang lahir jauh sebelum Ivan. Lagu Ce ce ce (Sanda Leok) pada intronya mengingatkan kita pada lagu Kata karya Makarius Arus.

Lagu Kata itu adalah sebuah lagu balada tentang seorang perempuan bernama Katarina yang menderita sakit, meninggal dalam perjalanan ke tempat berobat. Ivan Nestorman meminjam notasinya dan ditempatkan pada lagu hebat yang sama sekali baru. Itu satu contoh. 

Hal lain tentangnya adalah: dia punya kemampuan luar biasa dalam mengaransir lagu-lagu tradisional menjadi lagu-lagu yang ‘ramah’ telinga penikmat musik generasi baru. No Doubt! Di Jakarta Ivan membentuk komunitas bernama Nestornation, berisi para musisi berbakat dari Indonesia Timur.

Illo Djeer

Illo Djeer adalah nama berikutnya. Dia adalah salah seorang personil Kerontjong Toegoe, juga sering bersama Ivan Nestorman Tropical Orchestra. Banyak lagu yang telah diaransemen ulang dan selalu baik.

Terakhir, dan saya dengar ratusan kali sepertinya, adalah instrumen Ya Hati Yesus Raja Cinta . Lagu ini diambil dari buku nyanyian Katolik: Madah Bakti No. 508. Begitu bagusnya aransemen itu sehingga setiap mendengarnya saya selalu ingat bahwa saya begitu berdosa telah menyakiti Yesus; ikutannya adalah memohon ampun. 

Sesungguhnya karya seni yang hebat adalah yang mampu membuat penikmatnya ‘merasa’, dan di karya ini kae Illo bahkan tidak perlu menyanyikan liriknya. Melodi telah melampaui kata. Dia melakukannya juga di lagu Capang Tana punyanya Lalong Liba.

BACA JUGA
Piala Dunia 2018 Bukan Persaingan Ronaldo dan Messi

Meski menurutnya dia mengambil notasi lama ketika mengaransemen lagu itu, sesungguhnya yang disajikannya pada lagu itu adalah sesuatu yang baru. Maka benarlah Leonardo da Vinci, seni hanya sejenak dilupakan. Dan tentu saja benar bahwa seniman yang mampu melihat apa yang dilupakan oleh seniman sebelumnya adalah orang hebat. 

Lipooz 

Nama lain adalah Lipooz. Kalau Hip-Hop adalah virus maka penyebar virus itu di Manggarai adalah orang ini dan saya adalah orang yang dengan rela divirusi dan membiarkannya hidup di dalam diri. Dia adalah cucu dari seniman dan pencipta lagu-lagu Dere Serani Philipus Manti. Bicara tentang karya, Lipooz itu hebat.

Yang lebih hebat lagi adalah kemampuannya membuat saya menikmati lagi lagu Doing Koe Ga (Dere Serani No. 1) dalam sajian yang berbeda. Ya, Lipooz memasukkan lagu itu dalam salah satu lagu ciptaannya. Sebut saja ini hipogram dalam musik. Sungguh perlu kemampuan hebat untuk melakukan hal-hal sedemikian. Dan Lipooz membuktikannya. 

Ramlan ‘Ponggo’ Djebatu 

Lalu, hari ini saya mendapat kiriman sebuah lagu dari Ramlan ‘Ponggo’ Djebatu. Dia pemain gitar di eNTeTe Voice. Lagu yang dikirimnya via WA adalah hasil daur ulang lagu dari Madah Bakti dengan penambahan lirik Mea Culpa (courtesy of Komunitas Seni Le Gejur Ruteng). 

Dengan sangat indah lagu itu dinyanyikan oleh istrinya sendiri, Vera Cangkung. Baik sekali lagu itu: Kasihanilah Kami Ya Tuhan, karena dikau Maha Rahim, Hapuskan salah dan dosa kami demi darah Putra-Mu. Jadikan hati kami suci dan sanubaripun berseri, agar bersorak-sorai lidah kami mewartakan kasih-Mu, Mea Culpa Mea Culpa, Ampong koe sala d’anak’m e..

Tentang Ramlan, saya pernah bersamanya dalam proyek Album Natal: Rindo de Nai – Ponggo ge Hae, yang berisi enam lagu dari Dere Serani. Ini daur ulang terbaik untuk lagu Adven dan Natal dari Dere Serani saya pikir. Paling tidak sejauh ini, mengingat bahwa: Seni itu tidak pernah selesai. 
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
BACA JUGA
Naskah Drama Musikal "Ombeng" (Babak Tiga)

Saat itu bersama Ujack Demang, Umeckzki Rebarakaz, Romo Edy Menory, Otwin Wisang, Yodi Dharma, Deddy Sardin, Reynold Ambuk, Yoan Joni dan beberapa teman bergabung dalam Komunitas Seni Le Gejur.

Vera yang kini jadi istrinya juga menjadi salah seorang penyanyi di album itu. Sampai saat ini, itu adalah album Natal favorit saya selain Ally McBeal: A Very Ally Christmas. Terima kasih untuk kae Erwin Nono dan Fansy Dhada, orang hebat di balik suksesnya proyek ini. 

Ah, betapa hebat si Ramlan ini seperti juga nama-nama sebelumnya. Saya menghormati mereka bukan semata-mata karena mereka hebat bermusik tetapi karena sebetulnya mereka adalah orang-orang dengan tingkat apresiasi yang tinggi pada karya orang lain.

Baca juga: Gratitude Box: Mari Bergabung dalam 15 Langkah Mudah

Mereka menghargai penemu notasi awal dan sebagai wujud penghormatan tertinggi, mereka memberi tambahan pada karya lama sehingga menjadi sangat elok dan membuat kita tidak saja mendengarnya tetapi merasakannya. Mereka, empat seniman asal Manggarai ini sungguh paham bahwa seni memang kadang dilupakan, tetapi adalah tugas kita untuk membuatnya diingat kembali lalu berterimakasih. 

Melalui kae Ivan Nestorman, kae Illo Djeer, Lipooz dan Ramlan, saya menghargai komponis besar Manggarai seperti Makarius Arus, Felix Edon, Daniel Anduk, Paskalis Baut Lalong Liba, Edy Ngambut dan lainnya; dan tentu saja para pencipta lagu Madah Bakti dan Dere Serani. 
Sesungguhnya seniman yang hebat adalah yang mampu membuat seni itu tidak lantas selesai setelah diciptakan, tetapi hidup ribuan generasi setelahnya. Dia tidak selesai, hanya sejenak terlupa. Kalau misalnya nanti tidak teringat dalam bentuk karya, haruslah mereka dikenang dalam cerita. Ribuan tahun bahkan lebih. Semoga. Saya ingin menutup tulisan ini dengan bilang: “Saya senang mengenal mereka sebagai teman dan sebagai seniman hebat!” 
Salam
Armin Bell
Ruteng, Flores
15 November 2013
Bagikan ke:

4 Comments

  1. Lalu kita sampai pada orang kelima. Armin Bell… Seni itu tidak terbatas, tidak terbatas dengan nada satu sampai tujuh. Kata-kata yang berjubel dirangkai menjadi tulisan penuh tawa dan tangis. (Dipikiran saya, Pa Armin jadi panutan utama loh, btw)

  2. Hahahaha…. kalo saya bukan seniman Rey, tapi seiman. Ya, kita sama-sama seiman hahahaha. Sepakat bahwa seni itu tidak terbatas. Bahkan tujuh nada bisa menghasilkan jutaan notasi kan? Abjad boleh terbatas tetapi kata-kata tidak hehehehe. Dan JANGAN jadikan saya panutan, karena saya tidak panutan apalagi kurapan atau kudisan hahahaha

  3. Pa salah e… abjad itu lebih banyak.. 24. Tanda baca juga lebih bnyak dri tnda notasi… harusnya, tulisan lebih punya vriasi seni… Hahahahaha… ia deh ia deh… hahahahah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *