Semua ayah adalah ayah yang beruntung. Kepada mereka, Tuhan menganugerahkan anak-anak yang hebat. Jika bukan hebat bagi dunia, setiap anak pasti hebat di mata orang tua mereka.
Ruteng, 3 Februari 2017
Sebulan terakhir saya menyibukkan diri dengan Blog Ranalino, anak baru di semesta internet. Mengurus kelahiran anak maya itu membuat saya kehilangan banyak waktu bermain dengan Rana dan Lino. Saya hanya sekali jalan-jalan dengan mereka ke taman kota. Untunglah Ruteng itu kota hujan dan hujan itu selalu ada di Januari. Minimal, di bagian jalan-jalan ini saya diselamatkan hujan.
Tetapi di rumah, saya tidak banyak juga bermain dengan mereka. Hanya satu atau dua jam sebelum mereka makan malam. Setelahnya saya ada di depan laptop, login ke dashboard blog dan terpaku di sana sampai dinihari. Tidak ada dongeng sebelum tidur karena saya selesai utak-atik konten blog ketika mereka sudah lelap.
Pagi hari adalah waktu yang pendek karena saya selalu bangun terlambat dan menggunakan lebih banyak waktu untuk mencari kaus kaki. Kaus kaki ketemu, langsung ke kantor dengan terburu-buru. Sepanjang Januari begitu.
Baca juga: Jatuh Cinta, Patah Hati, dan Move On Bersama The Carpenters
Sekarang Februari dan Blog Ranalino sudah mulai terindeks mesin pencari. Urusan selanjutnya hanya tinggal mengisinya dengan konsisten dan memeriksa lagi (berkali-kali) draf kumcer #PerjalananMencariAyam. Waktu di depan laptop sudah bisa dikurangi.
Malam ini adalah yang pertama saya mendongeng lagi, juga mendengar cerita Rana tentang harinya di sekolah. Dia cerita soal beberapa temannya yang suka mengganggunya yang susah minta maaf meski sudah diberitahu bahwa itu salah atau telah membuatnya sedih.
“Tapi saya sudah kasitau mereka bahwa saya tidak suka, Bapa,” tuturnya.
Saya bilang itu sikap yang baik.
Saya lalu bilang bahwa saya adalah orang paling beruntung di dunia karena memiliki Rana, Lino, dan Celestin. “Bukan hanya Bapa yang beruntung,” katanya, “semua ayah di dunia beruntung karena mereka juga ada anak, istri, rumah tinggal, keluarga, dan semua yang mereka perlukan.”
Rana lalu berdoa. Doa sebelum tidur, dan setelahnya siap mendengar dongeng. Saya tiba-tiba lupa mau cerita apa.
Bagaimana kalau kita bernyanyi saja? (*)
–
Salam dari Kedutul Ruteng
Armin Bell
Baca juga:
– Menabur Benih-benih Puisi di Halaman Pondok Baca Tapo Naga
– Kota Ruteng Dalam Koper, Catatan Perjalanan Dibuang Sayang Bagian Pertama