Pernah lihat hashtag atau tagar yang sulit dimengerti? Saya sering. Sekali waktu ada hastag begini: #kwpiqirkwhbtpkwtidkhbat. Saya berjuang membacanya. O la la … Itu artinya: kau pikir kau hebat tapi kau tidak hebat. Entah untuk siapa tagar itu.
Tahukah Anda bahwa simbol ‘#’ pertama kali digunakan oleh Twitter pada tahun 2009? Ini berawal dari usulan seorang pengguna Twitter bernama Chris Messina pada tanggal 23 Agustus tahun 2007. Butuh dua tahun bagi Twitter untuk kemudian memakai tanda pagar itu sebagai hyperlink dan kemudian menjadi fitur resmi mereka dan diberi nama hashtag.
Di Indonesia sendiri, hashtag kemudian diterjemahkan sebagai tagar (dari tanda pagar). Lema ‘tagar’ itu telah resmi ada di KBBI V sebagai pengertian kedua; Inet label berupa suatu kata yang diberi awalan tanda pagar dalam pesan pada layanan mikroblog. Sebelum pengertian ini masuk, tagar dalam KBBI berarti guruh atau guntur.
Perjalanan hashtag atau tagar ini kira-kira begini. Hashtag diterjemahkan menjadi mempunyai tanda/label lalu ke tanda pagar (karena menggunakan simbol ‘#’) dan disingkat menjadi tagar, lalu menjadi kata baru. Bukti bahwa bahasa adalah salah satu produk kebudayaan yang dinamis. Ada peristiwa abreviasi pada pembentukan kata itu. Tahu abreviasi, to? Arti kamusnya adalah pemendekan bentuk sebagai pengganti bentuk yang lengkap.
Dari bahasa Latin, brevis yang berarti pendek, abreviasi merupakan proses morfologis berupa penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata.
Tentu saja kita tidak boleh bilang: “Sayang, sabarku telah brevis kini.” Jangan. Meski kekasihmu berulang kali mengkhianatimu. Brevis tidak tepat pada konteks itu. Katakan saja pendek. Atau habis. Lalu tinggalkan. Eh?
Lalu mengapa tagar kemudian ditulis hestek? Hmmm… Barangkali biar terdengar keren. Bunyinya seperti ketika membaca hashtag. Seperti ai lav yu. Atau nyu kids on de blok. Lema ‘hestek’ tidak ditemukan di dalam KBBI. Bahwa suatu saat akan masuk, bahasa itu dinamis, bukan? Seperti kata dureng dari bahasa Manggarai yang kini tercatat sebagai lema resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Baca juga: Kita dan Dewan Juri yang Selalu Salah Memberi Nilai
Di Twitter, hashtag atau tagar pertama kali ditujukan untuk mengumpulkan satu topik/percakapan agar mudah dicari. Sebagai pendanda kategori. Artinya, penggunaannya haruslah mendukung percakapan atau narasi besar. Misalnya #ruteng sebaiknya berisi tentang informasi yang berhubungan dengan Ruteng. Jangan sampai kita berkunjung ke Langa Bajawa, tetapi memakai tagar Ruteng. Misalnya: Wah, Langa indah sekali. Senang berkunjung ke sini. #ruteng. Itu membingungkan. Anda sedang ke Langa Bajawa atau ke Ruteng?
Oh, iya. Saat ini hampir semua platform media sosial menggunakan tagar sebagai fitur resmi mereka. Instagram mulai menggunakannya pada bulan Januari tahun 2011. Pada bulan September 2012, Google+ menggunakannya. Facebook meluncurkan fitur hashtag atau tagar ini pada bulan Juni tahun 2013.
Manfaat Hashtag atau Tagar di Media Sosial
Dalam perkembangannya, tagar dipakai sesuka hati oleh pengguna media sosial. Asal pakai. Kadang tidak merujuk pada percakapan besar lainnya, atau tidak diciptakan dalam kerangka berkesinambungan atau dengan tujuan tertentu. Pokoknya asal habok. Seperti tidak sengaja ditulis. Ckckckck…
Karena itulah, dalam tiap kesempatan berbagi tentang blog, media sosial, dan lain-lain yang berhubungan dengan perilaku warganet, saya selalu menciptakan kesempatan agar dapat bicara tentang hashtag atau tagar atau hestek atau tanda pagar itu. Seperti berikut ini.
1
Bahwa tagar #dikamarkuyangcepihcendiri itu tidak menunjang apa pun pada percakapan publik. Kecuali jika konsisten dipakai. Maksudnya, kalau tagar seperti itu sengaja dipakai untuk pengarsipan pribadi, bolehlah. Atau telah disepakati dengan seseorang. Umpamanya, kode berkunjung. Tetapi juga tidak efektif karena terlampau panjang.
2
Bahwa tagar tidak boleh berjarak (pakai spasi) dengan kata atau kalimat yang hendak di-highlihgt atau dipagari. Jika bertujuan agar kata per kata dibaca jelas, gunakan underscore. Misalnya, #aku_sedang_di_kamar_mandi. Tidak bisa ditulis dengan bentuk #aku sedang di kamar mandi. Tagar yang terbaca hanya “aku”. Apalagi jika ditulis # aku sedang dikamar mandi. Begitu banyak kesalahan, termasuk penulisan dikamar (seharusnya: di kamar).
3
Bahwa hashtag yang lagi ramai itu bisa jadi menggunakan mesin, memakai jasa influencer agar segera terdongkrak, membawa nuansa politis, atau disengaja untuk tujuan rahasia Misalnya #2019GantiBaju. Tetapi ada juga yang dicetus oleh satu orang dan lantas ramai karena menjadi kebutuhan bersama, seperti #kamitidaktakut atau #savehumanity.
4
Bahwa ada tagar yang dipakai pedagang agar digunakan banyak orang, sehingga dia bisa mengukur laju usahanya. Misalnya #perjalananmencariayam dipakai untuk mengukur/menilai seberapa baik buku cerpen Perjalanan Mencari Ayam atau telah berapa banyak orang melihat atau bercakap-cakap tentang tema itu.
5
Bahwa menulis hashtag atau tagar sebaiknya tidak ribet, harus provokatif (memancing penggunaan tagar yang sama), dan tidak menggunakan tulisan yang aneh. Tagar #aqudiqmarmndi itu membingungkan. Apalagi #cmoGaKwbhGiadGnx. Kenapa tidak pakai #akudikamarmandi dan #semogakaubahagiadengannya?
6
Bahwa hashtag atau tagar akan populer jika menyasar komunitas dalam jumlah besar, seperti #2019GantiPresiden atau #terlalulamasendiri atau #jomblobahagia.
7
Bahwa fungsi hashtag itu jauh lebih luas dari sekadar membirukan huruf. Pergerakan di Yaman dan beberapa tempat lain di dunia itu muncul dari tagar yang kemudian menjadi trending topic. Para pemerhati media sosial menggunakannya untuk mengukur tingkat popularitas seseorang atau sebuah produk. Bisa lihat contoh Pilpres 2015 populernya penggunaan tagar #JokowiJK.
Baca juga: Lomba Blog di NTT dan Para Juri yang Mengabaikan Kriteria Panitia
Artinya, fitur hashtag atau tagar di berbagai media sosial itu seharusnya digunakan on purpose, dengan sengaja, diniatkan untuk ditemukan. Manfaatnya? Banyak. Misalnya: memudahkan orang terlibat dalam percakapan, sebagai penanda tempat atau lokasi, ‘menyerang’ calon konsumen, memudahkan promosi, mendapat lebih banyak like, dan lain sebagainya.
Karenanya, meski tidak dilarang, berhentilah menggunakan tagar tanpa tujuan. #ruthengkuhujanterusajadech itu tagar apa? Mengapa tidak menulis #rutengkotahujan saja? #rasanyaakutakkuatlagihiduptanpapatjar bisa diganti dengan #carikekasih. #ciapacihyangbutuhpatjar adalah tagar yang boros untuk #jomblobahagia.
Di blog, hashtag bisa diatur dalam label atau kategori. Hashtag digunakan pada mikroblog. Meski demikian, menulis hashtag atau tagar pada posting-an blog dapat juga dibenarkan jika ditujukan untuk berperang di mesin pencari. Ada beberapa yang berhasil. Memunculkan blog post kita di SERP atau search engine result page. Boleh dicoba. Asal peluang populernya dapat diukur. Karena tagar #pialadunia itu lebih populer dari #akunontonsepakboladirusiadarirumahaja. Begitu.
—
23 Januari 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
Blogger Ruteng | #bloggerruteng
—
Gambar dari Biteship.com.
Tagar jg sukses dipake buat kampanye mba
Sepakat. Asal menggunakan tagar yang jelas dan mudah dibaca/diingat.
Nah, itu dia. Salam.
Betuuuulll Armin Bell. Lama-lama taggar atau hastag ini dipakai dengan seenaknya tanpa makna/faedah. Hihihihi. Salam.