Peristiwa 22 Mei 2019 telah menghancurkan mimpi seorang pemuda. Ini adalah kisah sedih yang terjadi di satu sudut kota.
Ruteng, 23 Mei 2019
Pagi-pagi sekali, tanggal 22 Mei, seorang pemuda, namanya Ferdinandus Alamani Vitroz, mampir ke kios kecil tak jauh dari rumahnya. Membeli paket data mingguan. “Sudah, Kak,” kata penjaga kios setelah sekitar semenit. Buru-buru dihidupkannya ikon ‘data seluler’ di telepon pintar kesayangannya. Berharap bisa segera memeriksa story WA gebetannya. Kosong. Tak ada cerita yang dia harapkan di sana. “Sepertinya WA diblokir, Kak. Mungkin seminggu.” Penjaga kios yang cantik itu memberi informasi yang membuat mulut pemuda itu menganga; tentang peristiwa 22 Mei 2019—pemuda itu tidak tahu apa-apa.
Penjelasan panjang tentang kekhawatiran negara pada penyebaran hoax dan provokasi via WhatsApp, yang disampaikan gadis di depannya, tidak mampu membuat mulutnya katup. Telah lama dia menabung untuk hari ini. Agar bisa membeli paket data, hendak menghadiahi dirinya sendiri yang sedang berulang tahun; hadiah yang diinginkannya adalah WA Story gebetannya yang berisi gambar bunga matahari di belakang tulisan ‘selamat ulang tahun, masa depan’.
Pemuda itu tahu, gebetannya tahu hari ulang tahunnya, karena beberapa hari lalu dia menulis status ‘yes, ultah tinggal empat hari lagi’ dan gebetannya itu ikut mengintip status itu.
Pemuda itu mengumpulkan kembali jiwanya yang sempat menguap, memaksakan diri berjalan pulang, terhenti langkahnya setiap empat meter, berjalan lagi, dan hatinya menangis lara. Lara sekali. “Negara telah menghancurkan mimpiku yang paling sederhana,” rutuknya. Juga dalam hati. Bercampur tangis. Tak terdengar telinga biasa, tetapi gaduh sekali jiwanya.
Tibalah dia di rumah, tempat kertak gigi dan ratap tangis mendapat ruang terbaik. Pilu sekali. Seisi rumah mendengar tangis itu, tetapi tak segera ikut bersedih. Malah marah-marah. Dituduh sebagai manusia paling egois yang pernah ada karena menuding negara sebagai penghalang cintanya.
Dia lalu bercerita tentang janjinya yang dia tulis di buku hariannya. “Dear Diary… Kalau di hari ulang tahunku, dia tidak buat story gambar bunga matahari dan tulisan selamat ulang tahun, selesailah sudah.” Begitu tertulis di sana.
Sebelum menunjukkan buku hariannya itu kepada seisi rumah, dia sempat bilang: Aku haus! Seisi rumah ikut bersedih. Menangis bersama-sama, ikut merutuki negara yang telah menghancurkan mimpi seorang pemuda. Mimpi yang sederhana. Lebih sederhana dari kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu-nya Sapardi: sebuah Story WA berisi gambar bunga matahari dan ucapan selamat ulang tahun. Adakah yang dapat lebih sederhana lagi?
Hari sudah siang ketika pintu rumah diketuk. Gadis penjual korek api menggigil di tengah guyuran salju pulsa datang. Membawa uang kembalian yang tak sempat diambil pemuda itu pagi tadi. Tetapi dia tak bergegas pulang. “Ada yang bantu jaga kios,” katanya tanpa ditanya, lalu menyambung cerita ikhwal fitur gambar di WhatsApp yang dimatikan negara. Lengkap sekali ceritanya. Lebih lengkap dari lengkap itu sendiri. Barangkali akan begitu komentar seorang penunggang kuda kalau saja dia bisa mendengar tutur gadis itu dari balik kaca mata hitamnya. Eh?
Mendengar cerita itu, seisi rumah kembali marah-marah. Menuduh pemuda itu telah sangat egois karena menuduh negara merenggut kebahagiaannya di hari ulang tahunnya yang kedua puluh sekian. “Negara sedang dalam keadaan bahaya, dan kau menuduhnya tak berpihak padamu. Egois sekali kau ini,” kata seseorang.
Baca juga: Lomba Blog Exotic NTT dan Juri yang Mengabaikan Kriteria Panitia
Giliran pemuda itu marah-marah. Berkotbah panjang tentang sikap egois. Dipakainya dalil-dalil dari segala buku yang dibacanya, dijelaskannya berapi-api. Ditutupnya dengan pertanyaan:
“Siapakah yang egois? Sekelompok orang yang menyebar hoax dan provokasi demi kepentingan pribadi hanya karena kecewa dengan hasil pertandingan sehingga membuat negara membatasi fitur gambar WhatsApp, atau saya yang telah menabung sekian lama agar bisa membeli paket data yang ternyata tak bisa saya gunakan seminggu ke depan padahal saya harus melihat gambar bunga matahari di belakang ucapan selamat ulang tahun jika tak ingin masa depan saya berakhir suram karena hidup lara sendiri, atau negara yang terlampau khawatir?”
Diucapkannya khotbah itu dengan cepat seperti seorang rapper—kecuali bahwa yang disampaikannya tak berima sama sekali, membuat semua yang ada di sana terpaksa memintanya mengulangnya secara perlahan.
“Dipenggal-penggal saja, Kak,” usul gadis manis yang menatapnya dengan mata yang bening dan sayu. Pemuda itu melihat wajahnya sendiri di mata gadis itu, seperti terhipnotis, memenggal kotbahnya menjadi kalimat-kalimat pendek. Asal ikut trending topic gadis itu mengerti.
“Sekelompok orang yang menyebar hoax dan provokasi demi kepentingan pribadi.”
“Mereka lakukan itu karena kecewa.”
“Hasil pertandingan tidak sesuai dengan cita-cita mereka.”
“Negara khawatir, hoax dan provokasi yang mereka sebarkan via Whatsapp akan mengacaukan situasi bangsa.”
“Negara membatasi fitur gambar whatsapp.”
“Saya yang telah menabung sekian lama agar bisa membeli paket data.”
“Karena negara membatasi fitur gambar Whatsapp, paket data saya tidak berguna.”
“Seminggu ke depan.”
“Padahal hari ini saya ulang tahun.”
“Kepada buku harian saya telah berjanji.”
“Dia harus membuat status Whatsapp hari ini atau saya harus segera menghancurkan mimpi tentang masa depan kami berdua.”
“Gambar bunga matahari di belakang ucapan selamat ulang tahun.”
“Siapa yang egois?”
“Aku haus,” katanya kemudian.
Lalu bilang bahwa khotbahnya telah selesai.
Seisi rumah hening. Cukup lama. Sampai gadis penjual pulsa itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Kakak yang egois. Butuh berapa kali beli pulsa paket sampai Kakak sadar bahwa selama ini saya selalu mengisi paket 4 giga padahal Kakak hanya membeli 2 giga?” Kata gadis itu sambil menahan tangis dan berlari pulang. Menutup kiosnya.
Sebuah pengumuman kecil di kertas folio bergaris tertempel di pintu bangunan kecil itu. Kios ini tutup selama seminggu. Sampai kita semua di kota yang sekecil kampung ini sadar.
Baca juga: Soal Sandiaga Uno Diusir Pedagang Ikan dan Hal-hal di Sekitarnya
Di tempat lain, seorang gadis merutuki printer-nya yang tiba-tiba ngadat. Padahal dia sedang ingin mencetak gambar bunga matahari. Di belakang tulisan: Selamat ulang tahun, Kakak. Semoga kita tetap jadi teman diskusi selamanya. Ferdinandus Alamani Vitroz sama sekali tak menyadarinya.
Bisakah kalian bayangkan? Kalian jatuh cinta pada seseorang, tetapi orang itu jatuh cinta pada seorang yang lain, dan negara membatasi akses media sosial? Sedih sekali peristiwa 22 Mei 2019 ini.
Ketika sampai di bagian terakhir ini, saya tiba-tiba sadar, tulisan ini sama sekali tidak jelas. Tetapi mau bagaimana lagi? Hari ini saya sedih sekali. Betapa kita telah begitu ingat diri. Semuanya. Siapa saja. Kapan kita bisa baik-baik saja? Tak bisakah kau menungguku hingga nanti tetap menunggu kita menyatakan dukungan kita sesederhana Sapardi yang melihat awan yang tak sempat menyampaikan isyarat kepada hujan yang menjadikannya tiada?
–
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
–
Foto: Bukan Ferdinandus Alamani Vitroz.
Sedih sekali kan?
Oe Kae…����������������
Halooo hehehehe
😟🤔☕😂💘