Selain vokal yang baik, verbal dengan mumpuni, dan visual yang ‘membuat betah’, ada tiga tahapan yang harus dipelajari oleh pelaku public speaking.
Menjadi pelaku public speaking itu tidak mudah. Sebagai sebuah keterampilan, kemampuan melakukannya hanya akan bertambah seiring keseringan mempraktikkannya. Bahkan jika Anda telah mengikuti kursus–apalagi jika hanya belajar teori saja, tanpa praktik, semua akan sia-sia.
Kita tentu ingat bagaimana terbata-batanya Arie Kriting saat pertama kali mengikuti audisi Indonesia Mencari Penyanyi, eh, maksudnya Stand Up Comedy. Sekarang? Pria bernama lengkap Satriaddin Maharinga Djongki itu dengan mudah membuat kita tertawa. Ada struktur yang telah dia kuasai dengan sangat baik, sekaligus menempatkannya sebagai salah satu stand up comedy-an terbaik di Indonesia. Set up, punch line, one liner, call back, rule of three, act out, gimmick, dan macam-macam lainnya, dia sudah jago.
Komik atau pelawak tunggal atau komik berdiri atau komik tunggal adalah satu dari ribuan profesi yang memerlukan kemampuan public speaking yang mumpuni. Influencer di berbagai media daring adalah contoh lainnya. Penyiar atau presenter seperti Najwa Shihab jelas memakainya sebagai baju sehari-hari.
(Tentang apa itu public speaking, siapa saja yang melakukannya, dan apa tujuannya, dapat dibaca di: Public Speaking: Pengertian, Pelaku, Tujuan dan Alur)
Soalnya adalah, setelah kita memiliki Tiga V (voice, verbal, visual) sebagai modal awal, sudah sanggupkah kita menjaga audiens agar tetap tabah, eh, tetap bertahan mendengarkan kita berbicara? Jika sanggup, yakinkah kita bahwa mereka akan tiba di rumah dengan selamat? Halaaah…
Idealnya, pendengar/khalayak harus pulang dengan kesamaan pemahaman. Pada titik inilah kegiatan tersebut akan dianggap berhasil. Tetapi jika selama seseorang berbicara para pendengarnya juga ikut bicara dengan teman di sampingnya dan pulang hanya dengan seminar kit, kegiatan itu adalah sebenar-benarnya kesia-siaan.
Bagaimana mengelola kegiatan public speaking agar tujuannya tercapai? Ada tiga tahapan penting yang harus dikuasai oleh pelakunya, yakni:
Pertama, Attractive Introduction. Perkenalan awal atau pembukaan yang menarik. Grande. Bukan yang Ariana, tetapi yang berarti besar. Dari grand. Mencengangkan, menimbulkan ketertarikan, membuat mata kita terbelalak karena ingin tahu. Pada karya dalam bentuk tulisan, judul biasanya dipakai sebagai gerbang masuk. Maka jangan heran jika seseorang mengklik tautan dengan judul yang bombastis meski isinya bikin hati dan paket data teriris-iris.
Dalam public speaking, attractive introduction ini dapat dilakukan dengan beberapa cara: bertanya, melempar lelucon, atau menciptakan keheningan (tidak melakukan apa-apa) selama 10 detik pertama.
Ada memang yang muncul secara atraktif dalam arti sebenar-benarnya; berlari ke podium atau melakukan salto. Ckckck… Itu butuh latihan yang serius. Semoga kita tidak diserang encok, pegal, linu. Saya jelas tidak sanggup melakukannya. Karena itulah saya sering memakai metode yang hemat energi. Saya sebut silence opening. Saya berdiri di panggung, tersenyum, melihat audiens, mendapat perhatian audiens, lalu mulai bicara. Keheningan awal tersebut dijaga selama 10 detik. Juga bermanfaat mengumpulkan kepercayaan diri sekaligus memetakan audiens. Saya percaya, in some ways, silence is also attractive. Wow!
Kedua, Maintain Interest Level. Ini merupakan bagian paling panjang. Sanggupkah pelaku public speaking menyerap perhatian selama tiga puluh menit? Kabarnya, hanya pada tujuh menit pertamalah orang-orang dapat memberi perhatian penuh. Selanjutnya dia bisa tergoda untuk melihat hal lain di sekitarnya, atau tidak melihat apa-apa. Dia tidur.
Maintain interest level berarti mempertahankan tingkat perhatian/ketertarikan audiens. Menjaga mereka tetap mendengar setelah tujuh menit awal itu.
Bukan pekerjaan yang mudah. Karena itulah, pelaku public speaking wajib membekali dirinya dengan joke, lelucon ringan (atau berat kalau Anda ingin dikenang sebagai komedian), atau materi permainan. Tentang joke, sangat tidak disarankan memainkan lelucon berbau seks atau serangan fisik meski itu adalah materi paling mudah menjaga kesegaran. Alasannya? Akan ada orang yang merasa tersinggung.
Lelucon terbaik adalah yang berisi tentang pengalaman konyol kita sendiri. Dapat disiasati dengan menjadikan kekonyolan orang lain sebagai milik kita. Dalam dunia di mana orang-orang membutuhkan orang-orang lain tampak lebih bodoh dari dirinya, pelaku public speaking wajib menyediakan dirinya sendiri. Harus begitu.
Tetapi sesungguhnya, cara terbaik untuk maintain interest level ini adalah dengan menyiapkan materi (diri) sebaik mungkin. Persiapan yang tidak matang akan membuat pendengar tidur pulas, atau pulang lebih awal setelah tanda tangan absen. Mereka akan muncul lagi ketika tiba waktunya menerima uang duduk. Sedih sekali.
Ketiga, Powerful Closing. Kita berhasil membukanya dengan atraktif dan audiens betah sepanjang kita bicara. Kini tiba saatnya pamit. Sebelum mengucapkan sekian dan terima kasih, pastikan bahwa Anda menutupnya dengan kuat. Jangan teriak. Kuat kontennya.
Bagian akhir sebuah kegiatan public speaking adalah bagian yang akan dibawa pulang oleh audiens. Para penyanyi, dalam sebuah konser, akan menutup pentasnya dengan lagu jagoan. Ivan Nestorman menutup pentasnya dengan lagu Mogi. Pastor menutup kotbahnya dengan pertanyaan retoris. Anda?
Tujuan utama komunikasi adalah terciptanya kesamaan makna. Maka pada penutup kegiatan public speaking, Anda harus memastikan bahwa audiens paham dengan seluruh materi. Bisa dilakukan dengan melempar pertanyaan, tetapi bisa juga dengan kalimat yang quoteable, enak dikutip-mudah diingat.
Mudah, bukan? Mmmm… Satu lagi. Dalam kegiatan public speaking, ketika melakukan tiga hal tadi, pelakunya tidak boleh ngantuk. Itu koentji!
—
18 Mei 2018
Salam dari Kedutul, Ruteng
Armin Bell
—