mengenal pekosamaraga orang manggarai yang sejahtera armin bell blog ranalino

Orang Manggarai Harus Tahu tentang Pekosamaraga

Pekosamaraga adalah ideal kesejahteraan orang Manggarai. Ungkapan itu populer di tahun 70-an sampai 90-an akhir.


Generasi baru Manggarai barangkali tidak banyak yang mengenal apa itu Pekosamaraga. Mereka yang tumbuh di lingkungan yang serba modern, menempuh pendidikan di lembaga pendidikan yang–entah karena modern atau karena tidak banyak guru yang berniat membagi–kurikulumnya sering berganti, dan hidup di zaman serba mudah, rata-rata tidak mengenal kata ini.

Pekosamaraga bisa dijelaskan dalam dua bagian besar, yakni sebagai kata, dan sebagai akronim atau singkatan. Meski demikian keduanya membawa arti yang sama. Bingung? Saya juga bingung. Tetapi mari lihat uraian singkatnya. Pekosamaraga sesungguhnya adalah kata yang dibentuk dari beberapa kata. Ketika dilisankan, dia akan diterima sebagai kata yang sah, dan juga dapat dianggap sebagai akronim atau usaha menyingkat.

Sebagai satu kata yang merdeka, berdiri sendiri, Pekosamaraga memiliki arti: hidup sejahtera. Maksudnya, orang-orang Manggarai yang sejahtera di era 70-an sampai 90-an dikenal sebagai orang yang memiliki Pekosamaraga. Kata ini bahkan menjadi ‘semacam’ tujuan utama seluruh karya manusia Manggarai. Sebagai akronim, pekosamaraga adalah gabungan dari kata: pesek, kopi, sawa, mesin ja’ik, radio, gas. Lalu apa hubungan kata-kata itu dengan hidup sejahtera? Mari kita lihat satu per satu.

Pesek

Pesek adalah kata Manggarai yang artinya sama dengan leseh dalam bahasa Indonesia; duduk di lantai dengan beralaskan tikar dan sebagainya. Pesek dibunyikan seperti tempe atau kere. Tetapi pesek dalam Pekosamaraga sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ada kata mbaru (berarti: rumah) di depannya, sehingga versi lengkapnya adalah Mbaru Pesek.

Apa itu Mbaru Pesek? Sama sekali tidak berarti rumah yang tidak mancung e. Hilangkan dulu pikiran bahwa pesek di sini adalah lawan dari kata mancung. Ini pesek yang lain. Mbaru pesek adalah rumah berlantai semen; bukan rumah panggung. Pada masa itu, sebagian besar orang Manggarai tinggal di rumah-rumah panggung dan hanya orang-orang yang tingkat kesejahteraannya baik sajalah yang mampu membangun mbaru pesek atau mbaru wa tana.

Baca juga: Apresiasi Dinikmati atau Dilawan?

BACA JUGA
Panduan Pedekate Terkini Berdasarkan Pengalaman Para Pendahulu, Bagian 1

Tinggal di rumah berlantai semen adalah salah satu ideal kesejahteraan pada zaman dulu. Dan seperti itulah kemudian, poin pertama dalam Pekosamaraga adalah mbaru pesek, rumah yang melambangkan kesejahteraan. Saat ini tentu saja beberapa situasi berubah. Misalnya untuk membangun rumah panggung, kadang biaya yang dibutuhkan lebih mahal, karena desain dan tujuan pembangunannya yang berbeda. Tetapi tentang mbaru pesek, yang sesungguhnya ingin dicapai adalah bahwa seseorang baru dapat dikatakan hidup baik kalau memiliki rumah yang layak huni.

Kopi

Kopi dalam bahasa Manggarai, sama dengan kopi dalam bahasa Indonesia. Dalam Pekosamaraga, ada kata uma (kebun) di depannya. Uma kopi atau kebun kopi, adalah penanda hidup sejahtera selanjutnya. Mereka yang memiliki uma kopi (sebutan lain: po’ong kopi) adalah mereka yang titik hidupnya lebih baik dibandingkan yang lain.

Seperti diketahui, sebelum fanili, cengkeh, dan komoditi perdagangan lainnya populer di Manggarai, kopi ada di daftar tertinggi. Sampai saat ini, beberapa kawasan di Nuca Lale ini tetap menempatkan kopi sebagai komoditi andala. Yang memiliki kebun kopi berarti memiliki potensi ekonomi yang baik. Karena itulah, ada masa di Manggarai di mana orang-orang ramai-ramai membuka lahan baru untuk menanam kopi, meski tidak ada yang benar-benar menjadikan uma kopi sebagai sumber utama hidupnya.

Petani Manggarai sampai saat ini menanam hampir semua jenis tanaman perdagangan di ladangnya. Jangan heran kalau suatu saat kau pergi berkunjung ke kebunnya Guru Don, kau akan melihat kopi hidup berdampingan dengan kakao, kemiri, cengkeh, dan lain-lain, plus ubi jalar dan singkong, ckckck. Btw, kakaonya dulu saya yang tanam.

Dalam Pekosamaraga, orang Manggarai yang sejahtera adalah mereka yang memiliki potensi ekonomi unggulan berupa tanaman perdagangan.

Sawa

Sawa itu sawah. Sawah itu untuk menanam padi, karena kalau menanam cinta itu harus di hatimu, halaaah. Poin ini saya pikir sangat jelas. Yang punya sawah selalu lebih baik hidupnya daripada yang hanya menjadi buruh di musim panen. Semakin besar areal sawah yang dimiliki, akan semakin sejahteralah kita. Apalagi untuk yang berbakat berdagang dengan mencekik sesama melalui sistem ijon. Kaya. Juga berdosa, haisssh.

BACA JUGA
Dukungan di Media Sosial Tidak Selalu Benar

Mesin Ja’ik

Mesin ja’ik itu berarti mesin jahit. Mesin jahit fungsinya untuk menjahit pakaian. Pakaian itu untuk dipakai. Sandang. Salah satu kebutuhan pokok manusia. Hubungannya dengan kesejahteraan kira-kira begini. Yang punya mesin ja’ik memiliki peluang memenuhi kebutuhan sandangnya sendiri. Orang yang sejahtera adalah orang yang pakaiannya baik, tidak compang-camping-tambal-sana-sini. Get it? Satu dari 14 indikator kesejahteraan nasional adalah kemampuan membeli pakaian baru secara periodik. Kalau punya mesin jahit sendiri kan berarti kita bisa bikin baju baru kapan saja, iya to? Beli saja bahannya di toko kain, lalu jahit sendiri. Bagaimana membelinya? Setelah jual kopi ka.

Radio

Radio adalah indikator kesejahteraan selanjutnya. Generasi sekarang mungkin menganggap radio sudah old school. Tapi tolong jangan bilang itu di depan saya. Saya pernah jadi penyiar radio dan tetap percaya radio tidak akan pernah menjadi sekolah yang tua. Dia tetap up to date.

Hubungannya dengan hidup sejahtera adalah informasi dan hiburan. Ya! Orang-orang yang hidupnya baik adalah mereka yang memiliki waktu menikmati hiburan dalam hidupnya dan memiliki akses informasi seluas dunia. Mendengar musik, mendengar berita, mendengar iklan saya yang masih diputar di beberapa radio di Ruteng, hidup akan terasa lebih nikmat. Macam orang kaya, cie cieee.

Baca juga: Menyelesaikan Hambatan Public Speaking

Pada masa-sama sebelum sekarang, radio adalah sumber informasi dan hiburan terbaik yang bisa dimiliki oleh masyarakat Manggarai. Televisi masih terlampau mewah saat itu, dan membutuhkan puluhan batang bambu dirangkai tinggi dengan antena di pucuknya. Itu proses yang tidak saja sulit tetapi juga rawan kecelakaan. Maka orang-orang lebih memilih radio dan mendengarkan programa dari RRI Nusantara IV Ujung Pandang. Aseeeek. Oh, iya. Radio berhubungan dengan kebutuhan rekreasi. Rekreatif.

Gas

Gas itu sebenarnya lampu gas. Lampu gas adalah sarana penerangan di rumah orang-orang berada di Manggarai pada zaman beberapa tahun silam. Sebenarnya juga sampai sekarang ini. Ketika sebagian wilayah tana kuni agu kalo ini belum terjangkau arus listrik. Di tempat lain lampu jenis ini mungkin disebut petromaks. Yang memiliki lampu gas di rumahnya adalah mereka yang secara ekonomi telah baik. Rumah menjadi terang pada malam hari sehingga mereka bisa memanfaatkan mesin ja’ik dengan maksimal, halaaah.

BACA JUGA
Di Kampung Ada Satu Televisi: Pemirsa Nonton dari Balik Jendela, Ada yang Terlibat Cinta Lokasi

Pokoknya, akses penerangan yang baik adalah indikator kesejahteraan. Secara nasional, ini juga dipakai ketika mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kalo tir percaya, coba liat berita tentang 14 variabel kemiskinan di negeri ini. Lampu gas, eh, terpenuhinya kebutuhan akan listrik juga ada di dalamnya.

***

Ya, itu dia asal muasal dan arti kata Pekosamaraga itu. Pekosamaraga itu seperti visi dite’t Manggarai saat itu. Rasanya juga sampai sekarang. Kalau tidak harafiah, barangkali pada pemaknaan melalui simbol-simbol lain.

Generasi sekarang tentu saja menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah semestinya ada, karena tidak pernah mengalami sulitnya hidup di masa-masa itu. Sah-sah saja. Tetapi kalau mau dipikir dengan lebih serius, Pekosamaraga masih dapat ditarik sampai zaman sekarang ini. Ideal kesejahteraan sekarang berdasarkan pekosamaraga bisa jadi adalah: rumah bagus, pekerjaan yang hebat, makan tiga kali sehari plus snack dua kali sehari dengan menu yang variatif, pakaian yang trendyakses informasi dan hiburan yang luas dengan paket data unlimited dan paket liburan sekali setahun, listrik yang on terus tidak kembang-kempis. Saya kira begitu.

Akhirnya semoga tulisan ini membuat kita semua yang adalah orang Manggarai akhirnya mengetahui apa itu pekosamaraga, dan untuk yang dari luar Manggarai dan ingin berkunjung ke Ruteng bisa membawa oleh-oleh sebuah mesin jahit untuk saya dan saya bayar dengan segelas kopi Manggarai, aeh…

28 Februari 2017

Salam dari Kedutul, Ruteng

Armin Bell

Tulisan ini berutang pada Romo Ino Sutam dan Guru Don. Terima kasih telah berbagi cerita.

Bagikan ke:

10 Comments

  1. Terimakasih byk kae.Saya akhirnya tahu..Oo iya,soal pesek,untungnya saya terlahir agak sedikit mancung.hahaha….Mama sdh ada mesin ja'ik di rmh sejak dia gadis.hehe…

  2. Baru tahu dan dengar ni kata/akronim..ideal sebuah kemakmuran..dan terkadang karena idealisme seperti itu sya teringat krlga yg jual sebidang tanah dgn cara barter dgn radio tape..skrng tanah tsbut bnilai sangat mahal..menyesal kmudian si klrga tsbut, tapi apa mau dibilang?? Sebuah bntuk hedonis yg mdhan jgn ditiru oleh generasi sekrang..

  3. Hhehhe…Jadi tau apa itu pekosamaraga…Sebagian kecil masa kanak2ku mengalami apa yg diuraikan ttg pekosamaraga itu,tetapi baru sekarang akronim ini saya dengar dan pahami…Ma ksh utk informasinya…Tombo kole ata banad lite ttg manggarai ge,menarik utk diikuti…Salam kenal.,one mai Ata mbeot lau Surabaya

  4. Hahaha…Artikel ini tidak ingin menyinggung fisik e.Tapi kadang ada saja yang langsung pegang hidung tiap kali baca kata pesekNah, perempuan yang bisa menjahit zaman dahulu itu kelasnya beda e. Lebih tinggi.

  5. Terima kasih sudah mampir e.Senang bisa berbagi :-)Semoga saya bisa dapat ide untuk materi lain tentang Manggarai.Atau ada usul?Sukses one tana data e.Tabe

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *